Kamis, 30 Desember 2010

HIJAUKAN JAWA BARAT SELATAN

Kalau kita ke Tasik atau Garut dari Bandung, maka kita akan melihat perbukitan di daerah Cicalengka kondisinya gundul tidak bervegetasi pohon yang cukup. Demikian juga kalau kita lihat perbukitan di daerah Nagrek kondisinya juga tidak terlalu ideal untuk suatu wilayah yang dari segi topografinya adalah kawasan lindung. Apalagi kalau kita dari Tasik atau Garut ke arah Bandung dengan menggunakan jalan alternatif Cijapati, kondisinya lebih buruk, bukit-bukit dengan kondisi lahan sangat terbuka dengan tanaman sayuran yang dibudidayakan tanpa mengindahkan kaidah konservasi tanah. Kondisi lahan di Jawa Barat Selatan, seperti di wilayah Bandung, Garut Tasik sangatlah mengkawatirkan atau berdasarkan klasifikasi temen-temen pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS), wilayah ini umumnya termasuk kedalam wilayah DAS Kritis.

Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi tutupan vegetasi di Jateng dan Jatim bagian Selatan terutama wilayah Selatan Jogya, Solo dan Pacitan, yang tutupan vegetasi pepohonannya sangat baik. Bukit menghijau penuh dengan hutan milik rakyat dapat kita lihat sepanjang jalan dari daerah Wonosari, Jogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah sampai ke Pacitan di Jawa Timur. Bahkan pak Presiden SBY menyatakan kekagumannya ketika berkunjung ke Pacitan, melihat hutannya yang bagus sempat terlontar bahwa beliau tidak percaya bahwa ini adalah daerah Pacitan yang dulunya sangat gersang dan hanya berupa bukit-bukit berbatu.

Beberapa faktor penyebab kondisi yang kritis di Jawa Barat Selatan antara lain karena, pertama, kebanyakan lahan tersebut adalah lahan masyarakat. Seringkali kawasan hutan justru berada di bagian bawah, sementara perbukitan adalah lahan milik. Padahal rakyat cenderung memanfaatkannya untuk menanam cash-crop dan tanaman bukan pohon yang umurnya pendek. Ketiga, dibanding daerah Wonosari, Wonogiri dan Pacitan, lapisan solum tanah di daerah Jawa Barat Selatan ini relatif tebal dan subur, sehingga rakyat cenderung menanam sayur-sayuran dan tanaman berumur pendek lainnya seperti kentang, singkong, ketela rambat karena sudah merupakan kebiasaan turun temurun. Mereka juga tidak melakukan upaya konservasi tanah, karena dianggap mahal. Untuk jenis tertentu seperti kentang memerlukan kondisi tanah yang tidak basah sehingga cenderung penanamannya dilakukan dengan memotong kontur. Keempat banyaknya perambahan kawasan hutan, karena ketergantungan pada kegiatan pertanian dan tingginya keinginan untuk mengokupasi lahan apalagi perambahan tersebut seringkali juga merupakan perambahan yang terorganisir.

Untuk memulihkan kondisi Jawa Barat Selatan tentu pemerintah, baik pusat terutama Kementerian terkait seperti Kehutanan, Pertanian, Pekerjaan Umum perlu menjadikan wilayah ini sebagai prioritas. Kementerian Kehutanan melalui kegiatan Gerhan atau gerakan menanam satu miliar pohon, kebun bibit dan sebagainya perlu lebih memperhatikan wilayah ini. Ada satu yang krusial di daerah ini yaitu perilaku pemanfaatan lahan yang cenderung eksploitatif, oleh karena itu kegiatan penyuluhan menjadi sangat penting yang dapat memastikan keberlanjutan kegiatan penanam pohon di wilayah ini. Hal-hal lain yang bersifat teknis seperti pemilihan jenis dan seterusnya merupakan bagian rutin yang tetap harus menjadi komponen penting dari kegiatan menghijaukan wilayah Jawa Barat Selatan tersebut.

Rabu, 29 Desember 2010

STRATEGI DIPLOMASI KEHUTANAN INDONESIA: peluang kerjasama dengan negara-negara Pasific

Indonesia adalah negara berhutan ke tiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Congo (dulu Zaire) dilihat dari luas maupun kekayaan keragaman hayati yang sering disebut salah satu negara Megabiodiversity. Pengalaman pengelolaan hutan tertama hutan tanaman di Jawa telah berlangsung ratusan tahun sejak zaman kolonial Belanda. Pengalaman pengelolaan hutan alam di luar Jawa melalui sistem HPH walaupun tidak seluruhnya berhasil, juga menunjukkan adanya modal pengetahuan (knowledge capital) yang luar biasa. Kita kenal sistem tebang jalur pada hutan alam yang dikembangkan oleh rimbawan yang mengelola areal HPH Saribumi Kusuma di Kalimantan Barat telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, karena ternyata kita bisa mengelola hutan alam tropis dengan baik. Saat ini program yang sering disebut dengan Silin (Sistem Silvikultur Intensif) tersebut sudah dikembangkan di beberapa HPH lainnya.

Pengetahuan teknis praktis mulai dari perbenihan, penanaman, pemeliharaan, penebangan, pengolahan hasil hutan juga merupakan modal pengetahuan yang saat ini menjadi salah satu kurikulum penting di sekolah kehutanan baik tingkat menengah maupun perguruan tinggi. Pengetahuan praktis semacam ini juga disebarluaskan melalui program pendidikan dan latihan yang sifatnya vocational dan jangka pendek. Demikian pula pengetahuan tentang penyuluhan yang efektif dalam melibatkan masyarakat merupakan pengetahuan praktis yang telah terakumulasi dalam jangka waktu yang panjang. Akumulasi pengetahuan praktis ini sesungguhnya merupakan modal yang dapat dijual dalam rangka kerjasama antar bangsa dan negara terutama diantara negara selatan.

Indonesia dengan kekayaan hutan tropisnya dan permasalahan sosial ekonominya yang rumit dan menantang banyak menarik minat luar negeri untuk ikut berkecimpung membantu kegiatan pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Bagi negara maju, Indonesia menjadi wahana untuk melakukan penelitian dan praktek dan tempat kerja bagi tenaga mudanya yang kelak menjadi ahli-ahli kehutanan. Untuk itulah kerja sama bilateral dengan negara maju banyak dilakukan. Pada sisi yang lain, Indonesia dengan banyak pengetahuan praktis dan applicable serta murah juga merupakan daya tarik yang bisa dikapitalisasikan untuk membangun kerja sama dengan negara-negara selatan misalnya dengan negara-negara kepulauan di wilayah Pacific.

Saat ini Kementerian Kehutanan melakukan kerjasama dengan Timor Leste dengan mengundang tenaga kehutanan mereka untuk dididik selama satu bulan di Indonesia tentang pengetahuan praktis kehutanan. Kerjasama tersebut merupakan buah hasil sinergi antara Kementerian Kehutanan dalam hal ini Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (Pusdiklat) dengan Dirjen Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Indonesia. Berdasarkan umpan balik dari peserta, mereka merasa bahwa pelatihan di Indonesia sangat bermanfaat dan langsung bisa diterapkan di negaranya, dibandingkan apabila mereka dididik atau ikut pelatihan dinegara-negara maju. Oleh karena itu mereka lebih berminat untuk mengikuti berbagai pelatihan di Indonesia. Dan pandangan serupa juga kami temui saat kami berbicara denganwarga PNG yang pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk mengikuti latihan di Bandung dan Jogyakarta.

Dengan latar belakang seperti itu tentunya upaya memanfaatkan modal pengetahuan kehutanan tersebut dalam menunjang diplomasi internasional menjadi sangat relevan dan strategis. Apalagi kita pun telah menjadi penggagas terbentuknya forum negara-negara pemelik hutan tropis atau yang biasa kita kenal dengan Forest Eleven Countries(F-11). Salah satu sasaran kerjasama yang bisa kita garap adalah negara-negara pulau di lautan Pacific seperti PNG, Fiji, Palau, Vanuatu, Tonga, Marshall islands, Samoa, Palau, St. Lucia, Barbados dan Kiribati. Selain itu juga kerjasama dengan negara Asean seperti Kamboja, Vietnam, Myanmar perlu pula dijajagi.


Beberapa hal positif yang dapat kita peroleh dari kerjasama dengan negara-negara tersebut antara lain:
1. Memperkuat kemampuan negara-negara tersebut khususnya dalam pengelolaan hutan yang akan bermanfaat dalam mengatasi perubahan iklim.
2. Memberi kesempatan pada pakar Indonesia untuk mengembangkan ilmunya dan memberi pengalaman internasional yang akan bermanfaat ketika berminat untuk berkecimpung dalam organisasi internasional yang sampai saat ini Indonesia masih tergolong under represented.
3. Memberi peluang pertukaran pakar antara negara-negara selatan khususnya negara-negara di wilayah Pacific.
4. Membangun kesetiakawanan global yang akan banyak membantu posisi Indonesia dalam negosiasi internasional. Kita mengerti sekecil apapun suatu negara, dalam forum PBB memiliki satu suara sama seperti negara-negara besar dan negara-negara kaya.
5. Ikut menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, mudah dipelajari dan cukup efektif untuk berkomunikasi baik untuk komunikasi informal maupun komunikasi formal termasuk komunikasi ilmiah.

Selasa, 28 Desember 2010

TERJEBAK DI XIAN MEN

Pengalaman perjalanan ini terjadi di negara Cina ketika mengikuti pertemuan Megaflorestais pada bulan Juni 2010 di kota kecil bernama Wuyishan di propinsi Fujian, RRC. Ceriteranya saya harus pulang duluan karena ada rapat penting di tanah air, oleh karena itu saya percepat perjalanan ini.

Dari tempat pertemuan di Wuyishan saya berangkat ke bandara diantar seorang anggota panitia lokal dengan kemampuan bahasa Inggris yang minimal. Setelah sekitar 30 menit samoailah saya di bandara dan langsung cek ini. Semua sepertinya berjalan lancar, gadis di konter cek ini sudah memberi bording. Namun saya tiba-tiba dipanggil oleh petugas konter dan bording pesawat diminta kembali. Ceriteranya dalam bahasa cina yang diterjemahkan secara terbata-bata, mengatakan bahwa e-tiket saya tidak muncul di layar monitor konter cek in. Nah mulai lah saya di lempar ke meja duty manager yang alhamdulillah tidak bisa berbahasa Inggris. Diapun tidak bisa memberi solusi apapun, selain terus ngoceh tanpa saya mengerti. Bagaimana itu bisa terjadi tidaklah jelas, akan tetapi pada detik-detik terakhir akhirnya saya mendapat juga bording pesawat. Namun begitu sayapun tidak mendapat kartu bording untuk pesawat terusannya. Artinya saya harus ngurus sendiri di Xian Men.

Bandara Xian Men lumayan besar dan dengan hanya waktu tersisa dari keluar pesawat untuk mengejar pesawat berikutnya yang kurang dari 1 jam. Plus mencari-cari konter cek-in yang memusingkan ketika tidak seorangpun yang bisa berbahasa Inggris. Nah, ketika saya temukan konter nya ternyata saya sudah tidak bisa lagi ikut pesawat tersebut, kecuali bila tanpa bagasi. Akhirnya terpaksa saya harus menginap semalam di Xian Men untuk meneruskan perjalanan pada keesokan harinya. Saya segera minta alamat hotel pada konter airlines setelah merubah jadual tiket. Dengan baik hati dia menuliskan dua alamat hotel di bandara dalam huruf cina. Dengan berbekal secarik kertas, saya berkomunikasi dengan supir taksi untuk mengantarkan saya ke salah satu hotel yang tertera pada tulisan itu. Tidak terlalu jauh hanya 10 menit saja dari bandara.

Nah kesulitan mulai muncul lagi ketika resepsionis hotelpun tidak bisa berbahasa inggris. Dengan bahasa tubuh yang sederhana, saya katakan perlu satu kamar untuk menginap. Resepsionis hanya senyum dan berbicara bahasa cina yang tentu saya tidak mengeri, akhirnya saya minta dia telpon ke bosnya. Lalu telpon itu diberikan pada saya. Ternyata orang itu menganjurkan saya datang ke hotelnya, karena tidak begitu jelas juga inggrisnya yang terjadi salah komunikasi juga. Karena saya bilang saya sebenarnya sudah dimuka resepsionis. Adu argumen di telpon ternyata melelahkan untuk suatu masalah yang sepele tapi saling tidak mengerti apa yang dimaksud lawan bicara. Karena lebih dari 20 menit berdiri di depan resepsionis, akhirnya saya putuskan menuju hotel yang satunya. Alhamdulillah di hotel kedua ini, yang jauh lebih baik, resepsionisnya juga lebih bisa berbahasa Inggris sehingga lancarlah urusan menginap tersebut. Namun demikian, dengan segala kerumitan soal bahasa, selera untuk melihat-lihat kota pupuslah sudah.

so what? Jangan berjalan sendiri di negara-negara yang hurufnya bukan latin dan tidak ada-kata dalam bahasa Inggris yang terpampang, menjadikan perjalanan kurang menyenangkan apalagi hanya transit semalam. Perlu ada teman, dalam hal mengikuti rapat internasional, pastikan pengantarnya bisa berbahasa Inggris. Pastikan soal tiket sebelum berangkat ke bandara, diskusi sama orang yang tidak mengerti bahasa yang kita pakai sangatlah melelahkan dan bisa membuat kita frustasi. Belajarlah percakapan dasar bahasa setempat yang mungkin akan berguna.

ANTARA BOS DAN NGEBOSI

Bos adalah pimpinan di suatu unit atau lembaga atau organisasi. Bos biasanya sebelum mencapai kedudukannya sebagai bos pada umumnya merangkak dari bawah, jadi calon pegawai, lalu menjadi staf dulu dan seterusnya. Ada jalan panjang yang harus dilalui, kadang-kadang berhasil tapi bisa juga gagal. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari sepertinya mudah menjadi bos itu. Lihat saja, Pak ogah yang membantu (merepotkan?)kita di persimpangan jalan sering bilang: makasih Bos!, ketika kita beri uang. Demikian juga tukang parkir akan bilang yang sama juga: makasih Bos. Fenomena ini menyiratkan bahwa orang dengan mudah memanggil bos pada orang yang pemurah. Tapi tentunya itu bukan bos yang kita maksudkan.


Nah, sedangkan ngebosi itu perilaku sikap dari seseorang. Bisa saja dia itu Bos asli atau bisa juga orang yang hanya belagak bak seorang bos. Bos sebagai pimpinan secara alami tentu memiliki wibawa, dia akan disegani dengan sendirinya karena memiliki kewenangan dan kekuasaan. Tanpa harus pasang wajah angker dan sikap menjaga jarak pun, orang sebenarnya secara otomatis akan respek sama bos. Tipe Bos ada yang memang jaga jarak tapi ada juga yang bersikap egaliter, tidak berjarak tapi tetap berwibawa.

Kedepan nampaknya Bos yang kompeten, visioner dan lebih egaliter yang diperlukan oleh organisasi modern. Karena tipe Bos seperti ini memiliki kemampuannya untuk beradaptasi dengan situasi lingkungan yang sangat dinamis.

Senin, 27 Desember 2010

MENDENGAR DAN MENGKAPITALISASI IDE DARI BAWAH

Bagi rimbawan, Pulau Jawa merupakan contoh pengelolaan hutan yang telah dipraktekkan sejak lama. Belanda lah yang memulai pengelolaan hutan jati di Jawa yang kemudian terus berlangsung sampai saat ini. Banyak orang berkesan bahwa pengelolaan hutan di Jawa tidak semakin maju malah justru mengalami kemunduran. Saat ini kawasan hutan di pulau Jawa pengelolaannya dipercayakan kepada BUMN yaitu Perum Perhutani berdasarkan PP No. 30 yang diperbaharui dengan PP No. 72 Tahun 2010.

Tegakan jati sebagai andalah utama perusahaan milik negara, saat ini memiliki struktur yang timpang dimana umur muda lebih mendominasi kelas perusahaan jati. Kalau pada tahun 1960an, masih ada daur jati yang sampai 100 tahun. Pada saat ini rata-rata daur hanya mencapai 40 sampai 60 tahun saja. Dari struktur tegakan yang ada kita bisa memperkirakan bahwa sulit menjadikan jati sebagai produk unggulan, karena memerlukan pembenahan. Dan jangka benahnya pun akan memerlukan waktu yang lama.

Dari kondisi tersebut tentu harus ada rencana alternatif yang tetap memungkinkan perusahaan memelihara arus kas nya dan memperoleh keuntungan dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Upaya mendongkrak komoditi selain kayu, yaitu komoditi non kayu dan jasa lingkungan bukanlah hal yang baru dipikirkan sekarang, tetapi sudah cukup lama menjadi wacana dikalangan internal perusahaan. Hasil hutan bukan kayu yang menonjol saat ini adalah produk gondorukem dan terpentin. Namun demikian keberhasilannya belum nyata, karena pendapatan perusahaan masih tetap didominasi oleh kayu jati dan produk olahannya.

Dari pembicaraan di lapangan ternyata banyak ide yang cemerlang yang bisa mendorong upaya memacu komoditi non kayu untuk secara bertahap mengurangi dominasi jati. Masalahnya banyak ide tersebut mengendap lalu perlahan-lahan menguap karena tidak tersalurkan. Sementara pegawai setingkat kepala wilayah atau administratur dan juga general manager lebih bersikap sebagai pelaksana dari semua kebijakan dari atas. Dan ini semuanya nampaknya memang by design dan diwarnai pula oleh kultur Perhutani yang masih lebih berorientasi atas-bawah daripada sebaliknya. Tanpa dibangunnya mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan ide dari bawah didiskusikan, perusahaan akan kehilangan peluang memperoleh pikiran bernas yang mungkin bisa muncul dalam mencari terobosan-terobosan untuk mendongkrak penerimaan dari produk non-kayu dan non-jati. Keyakinan ini didasarkan pada beberapa kesempatan berdiskusi dengan teman-teman di lapangan yang ternyata memiliki energi, semangat dan ide yang sering tidak terkapitalisasi karena terjebak dalam struktur (structural trapped) yang notabene kita bangun sendiri.

Bilamana mekanisme tersebut terbangun, selain produktivitas SDM akan semakin meningkat karena hal tersebut juga akan merupakan insentif non-tangible bagi para pekerja pemikir, akan tetapi juga akan meningkatkan rasa memiliki "ownership", sehingga semua jajaran akan bekerja dengan sungguh-sungguh karena keberhasilan perusahaan merupakan hasil kerja bersama yang juga akan berdampak positif pada setiap SDM perusahaan tersebut.

JANGAN MATIKAN KESEMPATAN ITU

Kadang-kadang kita sebagai bos, agak merah kuping ketika seorang anak buah mengkritik kita dalam suatu rapat terbuka. Apakah kita akan bereaksi negatif seperti marah atau positif dengan berterima kasih, maka akan tergantung pada beberapa hal antara lain tingkat kematangan pribadi, gaya kepemimpinan, kondisi psikologi dan seterusnya.

jadi bos seringkali membuat orang merasa berkuasa, karena pada dasarnya anak buah pasti akan segan. Seringkali rasa segan ini kemudian berubah menjadi rasa takut, ketika bos mulai menggunakan kekuasaannya untuk menekan anak buah. Membuat staf menjadi seperti bodoh adalah hal yang dengan mudah dilakukan antara lain dengan selalu memarahi staf atas segala hasil pekerjaannya. Marah, menyalah kan dan tidak memberi apresiasi pada staf yang dilakukan secara konsisten dan sistematis pada akhirnya akan menyebabkan hilangnya motivasi dan munculnya perasaan tidak mampu.

kalau kita memiliki gaya kepemimpinan seperti itu kita akan banyak kehilangan kesempatan yang baik, karena anak buah akan segan memberi masukan, karena takut dimarahi dan tentu menghindari hal itu terjadi, karena malu dengan kawan sejawat atau bahkan anak buahnya, apalagi bila bos suka sekali memarahi orang di muka umum. Staf menjadi takut dan bukan segan dan mereka akan bahagia dan senang sekali kalau bos tidak ditempat. Sementara bos juga tidak bisa belajar dari anak buah yang seringkali memiliki kemampuan praktis yang tidak kita miliki. Hubungan kerja menjadi kurang nyaman dan yang juga penting diingat, jangan-jangan kita malah menjadi rentan terhadap serangan stroke.

Buat bos atau calon bos, perlu diingat beberapa hal seperti: perlukah marah-marah? Jikalau tanpa marah kita malah sudah bisa menyampaikan pesan atau memotivasi dengan efektif. Perlu malu kah untuk mengakui bahwa kita pun perlu belajar dari staf? Apakah kita termotivasi hanya untuk sekadar menunjukkan bahwa sebagai bos bisa menyulitkan staf atau kita perlu membangun sinergi dengan memotivasi mereka untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan memberi apresiasi kepada mereka manakala mereka melakukan hal yang positip atau membesarkan hati kalau mereka melakukan kesalahan karena ketidak tahuan mereka? Atau memang kita termasuk dalam kelompok yang suka mematikan kesempatan?

Sabtu, 23 Oktober 2010

NONTON BARENG YUK...

Kekawatiran akan hilangnya budaya tradisional nampaknya semakin tinggi, terutama akibat derasnya pengaruh budaya asing di negeri ini. Lihat sampai istilah ayam gorengpun sudah tergeser dengan fried chicken. Penjaja ayam goreng dorongan juga lebih suka memasang nama fried chicken karena katanya terkesan lebih komersial dan modern. Dan itu terjadi diseantero negeri, mulai dari kota sampai ke pelosok gunung sekalipun.

Animo generasi muda untuk menonton pertunjukkan budaya tradisionalpun semakin menyusut. Semakin berkurang jumlah penonton muda yang menonton wayang kulit yang durasinya semalam suntuk (lek-lekan). Jumlahnya bahkan semakin menyusut di daerah perkotaan. Kekecualian tentu ada seperti beberapa dalang terkenal masih mampu menyedot penonton, seperti Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono. Contoh lain, lihat saja matinya pertunjukkan Wayang orang Ngesti Pandowo di Semarang, Tjipto Kawedar di Malang atau ketoprak Srimulat di Surabaya. Wayang orang Barata di Jakarta dan Sriwedari di Solo termasuk yang bisa bertahan, walaupun dalam status memprihatinkan, "mati segan hidup tak mau".

INISIATIF BARU?
Di tengah lesunya apresiasi budaya, muncul inisiatif yang dilakukan para petinggi di ibukota untuk main ketoprak, ludruk atau wayang orang. Pemain profesional bergabung dengan pemain amatir, yang terdiri dari para pejabat pemerintah, manggung bersama dalam satu panggung pertunjukkan. Satu ide yang segar. Namun apakah bentuk apresiasi semacam ini yang kita perlu dorong?

Untuk memberi dukungan moril bahwa para petinggi dangat konsern terhadap budaya tradisional, barangkali cukup memadai. Tapi dalam pembicaraan santai saat reuni SMA 4 Solo 16 oktober lalu di Solo, mbak Ira -seorang penari handal dan pemerhati seni dari Solo yang masih belia- menilai itu bukan cara yang tepat, karena kegiatan tersebut justru meminggirkan (excluded) pemain profesionalnya. Padahal merekalah yang justru harus disemangati dan didukung.

TERUS BAGAIMANA?
Lalu apa yang harus dilakukan? kalau budaya tradisional ini, untuk mudahnya kita asumsikan sebagai "komoditas", maka kita harus menanganinya dari dua sisi. Sisi supply dan sisi demandnya sekaligus. Dari sisi supply adalah menyiapkan pertunjukkan berkualitas yang memperhatikan dinamika perubahan preferensi. Profesionalisme tentu harus senantiasa ditingkatkan. Peranan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan para budayawan sangat fundamental.

Dari sisi demand, pembentukan manusia Indonesia yang apresiatif terhadap budaya bangsa melalui pendidikan dan penyuluhan jangka panjang perlu menjadi program pemerintah. Dalam jangka pendek, kata mbak Ira, hal praktis yang bisa dilakukan adalah membudayakan nonton bareng. Ide ini sangat menarik setidak-tidaknya secara konkrit dapat menghidupkan kegiatan berkesenian dan dapat menjadi solusi jangka pendek yang bisa direalisasikan. Bagaimana mewujudkannya tentunya banyak cara yang bisa dilakukan. Saya lihat ada beberapa cara antara lain, pertama mendorong kelompok masyarakat untuk menonton, baik pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat umum. Pemerintah termasuk pemerintah daerah melalui dana pembinaan budaya, generasi muda dan dana pariwisata mungkin bisa mewujudkan kegiatan ini. Kedua, mendorong pula sektor swasta, BUMN dan BUMD dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility)-nya berpartisipasi dalam kegiatan berkebudayaa. Tidak kalah pentingnya adalah menghimbau para philantropis untuk juga ikut mendukung program peningkatan apresiasi budaya ini.

Jumat, 22 Oktober 2010

PASANG SURUT ENERGI TERBARUKAN

Tahun 80an, ada Skenario Hari Kiamat atau "Doomsday Scenario" yang disusun oleh Pak Wiharso dari Departemen Pertambangan saat itu, yang memperkirakan terjadinya krisis energi akibat habisnya minyak bumi. oleh karena itu munculah ide perlunya mengembangkan energi alternatif yang berasal dari energi terbarukan (renewable energy)terutama energi biomassa atau energi kayu (wood energy). Saat itu direktorat Jenderal kehutanan sebagai anggota aktif dalam Komite Nasional Indonesia-World Energy Committee (KNI-WEC) segera memfokuskan penelitiannya pada masalah energi biomasa dan mendorong pengembangan penanaman jenis kayu bakar antara lain jenis tanaman Kaliandra (Calliandra spp). Saat itu, lokasi penanaman yang relatif besar terdapat di daerah Toyomarto, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Setelah itu program energi alternatif tersebut lenyap begitu saja, bak hilang ditelan bumi. Tanaman kaliandra di daerah Malang pun sudah berganti menjadi tanaman pertanian pangan, juga tanaman kaliandra ditempat lainpun berangsur hilang. Jenis kaliandra saat ini hanya dikenang sebagai tanaman kayu bakar dan di beberapa tempat masih bertahan sebagai tanaman inang dalam kegiatan perlebahan.

Tahun 2000an ketika minyak bumi mencapai harga sekitar 100 USD per barrel, timbul lagi kerinduan akan perlunya energi akternatif. Pemerintah mulai mengintroduksi tanaman jarak pagar (jathropa) ramailah wacana pengembangan tanaman jarak berskala besar. Tapi akhir-akhir ini tanaman jarak mulai hilang dari perbincangan nasional, kemudian muncul jenis nyamplung (Callophyllum inophylum) yang dianggap sebagai alternatif energi yang menjanjikan. Bahkan TNI telah memanfaatkan ymapkung sebagai pengganti dan kmplemen minyak diesel untuk peralatan tempurnya, walaupun masih dalam skala terbatas. Upaya penelitian untuk penyempurnaannya masih terus dilakukan. Namun demikian, animonyapun nampak menyurut.

Sementara Korea Selatan dan Jepang yang nampaknya memproklamasikan negaranya sebagai negara yang menggunakan energi hijau (Green Energy) akan menjadi negara yang memiliki energi alternatif yang berasal dari biomassa (bioenergy). Untuk mewujudkan cita-citanya mereka menggandeng beberapa negara berkembang termasuk Indonesia untuk menyediakan kayu sebagai bahan baku energi biomas tersebut. Saat ini Korea Selatan saat ini memiliki kilang pelet kayu di Wonosobo sebagai bahan baku energi terbarukan yang produk peletnya diekspor ke negaranya.

Nah, Indonesia walaupun memiliki lahan yang luas dan punya berbagai jenis tanaman yang menghasilkan energi, nampaknya akan segera ketinggalan oleh negara-negara lain yang justru bekerjasama dengan kita. Ini dikarenakan tidak adanya konsistensi yang ditunjukkan oleh ketiadaan komitmen jangka panjang yang dituangkan dalam bentuk program Energi Terbarukan Nasional yang solid dengan tahapan yang jelas serta komitmen pendanaan yang pasti, baik untuk penelitian maupun untuk pengembangannya.

Rabu, 20 Oktober 2010

Terbanglah Garuda ku (2): SARAN:

Pengalaman terbang dengan berbagai maskapai penerbangan khususnya maskapai asing telah memberikan pengalaman dan kesan tentang kenyamanan yang diinginkan penumpang. Terlebih lagi kalo harus terbang dalam waktu lama, misal lima jam atau lebih di udara. Terakhir terbang dengan Garuda ke Incheon Korea Selatan, merupakan pengalaman yang menyenangkan dengan pesawat baru dan pendekatan baru nampaknya Garuda sudah siap bersaing dengan maskapai lain. Namun demikian pengalaman soal pelayanan yang ditemui sepanjang perjalanan baik di udara dan di darat memberikan kesan juga bahwa kita masih bisa memperbaiki kualitas pelayanan demi kenyamanan pelanggan.

Flight attendant atau stewardess memegang peranan yang penting mulai dari penampilan maupun cara melayani. Saat ini pramugari dan pramugara memberi penghormatan kepada penumpang pada saat awal keberangkatan dan ketika akhir perjalanan. Ini hal baru yang positif, yang biasanya ditemui pada penerbangan dengan pesawat JAL. Dalam hal ini sepertinya kita perlu melirik pelayanan maskapai yang berbasis di Asia, seperti SIA, JAL, MAS, China Airlines dan Cathay Pacific. Dalam hal melayani penumpang untuk menaruh barang atau mencarikan tempat barang yang masih kosong, nampaknya SIA bisa ditiru kecekatannya. Pendekatan yang nampak lebih natural manakala berbicara atau menolong penumpang, Cathay sepertinya menawarkan keramahan yang menyenangkan. Ketulusan yang terpancar dari wajah manakala sedang berinteraksi dengan orang atau pelanggan sudah baik, namun masih bisa ditingkatkan.

Makanan terutama kualitas dan kelazatan makanan nampaknya perlu diperbaiki, untuk jalur luar negeri kualitasnya sudah baik mungkin soal rasa perlu ditingkatkan. Soal waktu dan kecukupan nampaknya Garuda sudah OK banget. Pengalaman menggunakan Qatar yang farenya relatif rendah ternyata menyajikan makan yang selain lengkap juga sesuai dengan selera Indonesia menjadi pembanding yang menarik juga. Dalam hal food and beverages, Garuda mampu bersaing, saya yakin banget.

Hiburan seperti film, musik, game dan seterusnya sudah bisa bersaing dengan maskapai penerbangan asing lainnya, apalagi dengan kursi yang lebih nyaman yang bisa diatur menjadikan penerbangan dengan Garuda sebagai sesuatu pengalaman yang menyenangkan. Yang perlu dlengkapkan adalah video mengenai olahraga ringan untuk menghilangkan kejenuhan dan rasa pegal bagi penerbangan yang berjangka waktu lama.

Ketepatan waktu atau punctuality Garuda sudah cukup baik, tentunya keterlambatan yang lama perlu terus dihindari, karena akan membuat penumpang sewot dan kahirnya tidak nyaman. Informasi leih awal dan transparan mengenai keterlambatan sangat dipujikan.

Bagaimanapun Garuda adalah Garuda kita juga, jadi manakala masih ada kekurangan ya kewajiban kita bersama untuk mengingatkannya, sehingga bisa menjadi maskapai yang membanggakan, jangan justru kita tinggalkan. Terbanglah wahai Garuda ku.......

RUMITNYA LINGKUNGAN: ECO-FRIENDLY?

Masalah pencemaran lingkungan telah sejak lama menjadi perhatian banyak orang, baik para ahli, politikus maupun masyarakat dunia. Mungkin masalah tersebut semakin menjadi masalah bersama, diawali ketika dilakukan pertemuan puncak tentang lingkungan di Rio de Janiero tahun 1992 yang lebih dikenal sebagai KTT Bumi. Pencemaran yang diakibatkan oleh pembakaran energi fosil yang meningkat sejalan dengan meningkatnya pembangunan terutama di negara-negara maju telah mengakibatkan semakin menumpuknya gas rumah kaca di atmosfir yang pada gilirannya menyebabkan memanasnya rata-rata temperature di bumi.
Upaya perbaikan kondisi tersebut kemudian menjadi perbincangan para pimpinan Negara dan semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap masalah lingkungan. Berbagai konvensi yang diigagas oleh Perserikatan Bangsa Bangsa seperti UNFF, UNFCCC, UNCBD dan UNCCD semua bertujuan memperbaiki kondisi satu bumi yang didiami oleh lebih dari 2 trilyun manusia.

PRODUK HIJAU
Kepedulian soal lingkungan tersebut ternayata telah mendorong perubahan perilaku konsumen yang menuntut agar setiap produk diproses melalui teknik yang ramah lingkungan. Di bidang kehutanan, khususnya perdagangan kayu di pasar internasional, menuntu agar kayu yang diekspor dihasilkan dari hutan yang dikelola secara lestari. Pengelolaan hutan lestari tersebut kemudian dicerminkan dalam bentuk sertifikat pengelolaan hutan lestari, sertifikat ekolabel. Sertifikat ini dikeluarkan oleh lembaga independen yang kredibel seperti FSC, SmartWoods pada level dunia atau Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tataran nasional.
Hal serupa terjadi juga pada sector lain, misalnya produk pertanian cenderung beralih dengan tidak menggunakan pupuk kimia tetapi lebih menggunakan pupuk organic. Dengan demikian produknya dikenal sebagai produk organik, kita kenal beras organic, sayuran organic dan buah organik.
Karena perubahan preferensi pasar yang menuntut produk yang lebih berwawasan lingungan, produsen barang-barang manufakturpun berusaha untuk membuat produknya sebagai produk hijau yang lebih ramah lingkungan. Beberapa tahun lalu, ramai kasus mainan dari china yang menggunakan cat yang memakai bahan yang berbahaya. Juga produk olahan susu yang diklaim menggunakan bahan-bahan beracun. Akibatnya produk tersebut harus ditarik dari peredaran. Kekuatan pasar telah mendorong munculnya produk yang lebih ramah lingkungan.

RUMITNYA PEMBUKTIAN
Apakah produk-produk yang mengkalim sebagai produk hijau sudah benar-benar ramah lingkungan dan tidak malah ikut mencemari lingkungan? Ternyata pembuktian itu bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk dibuktikan dan dibenarkan secara serta merta.
Misalnya Goleman (2009) mengatakan bahwa untuk membuat stoples diperlukan bermacam-macam bahan yang dalam prosesnya masing-masing juga memberikan pengaruh terhadap lingkungan, bukan hanya produk akhirnya saja. Lebih dari ratusan bahan yang dibuang ke air dan lebih dari 50 unsur yang dibuang ke tanah selama proses pembuatan produk akhir yang bernama stoples tersebut. Lebih dari 200 bahan diemisikan ke udara. Soda kaustik misalnya menyumbang 3% bahan yang berbahaya bagi kesehatan dan 6% berbahaya buat ekosistem. Artinya pada dasarnya tidak ada industri yang menghasilkan produk yang mutlak hijau tapi hanya relatif hijau. Ini barangkali yang lebih tepat, oleh karena itu kata Goleman penggunaan istilah eco-friendly tidaklah tepat.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

PROLOG
Perubahan iklim merupakan fakta dan fenomena yang kita rasakan saat ini. Kecenderungannya memprihatinkan bahkan menakutkan. Bagaimana mungkin? Kenaikan suhu 2 O C akan meningkatkan permukaan air laut karena salju di kutub yang mencair dan ini menenggelamkan Negara pulau, air laut juga akan masuk daratan pulau besar maupun benua. Sekitar 30% dataran rendah di Jakarta akan digenangi air laut. Perubahan iklim akan menyebabkan berubahnya pola iklim, hujan yang sangat panjang atau musim kering yang spertinya tidak mau berakhir dan seterusnya. Dan ini akan mempengaruhi produksi pertanian, pola tanam, pola serangan hama penyakit, termasuk juga pola serangan malaria dan seterusnya.
Artinya perubahan iklim akan mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia dan mahluk hidup di atas bumi ini. Oleh karena itu harus ada upaya agar kecenderungan perubahan iklim yang disebabkan banyaknya gas buangan yang ternyata semakin menyesaki atmosfir kita. Gas buangan atau gas rumah kaca (GRK) antara lain yang menyebabkan terjadinya pemanasan global yang mengarah pada perubahan iklim yang menjadikan iklim semakin sulit untuk diprediksi. Dua upaya yang banyak dibicarakan adalah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut.
Adaptasi dan Mitigasi
Kyoto Protokol dimana ada kewajiban Negara maju yang masuk dalam Annex 1 untuk menurunkan tingkat konsumsi energinya guna mengurangi emisi karbon yang tinggi dari sector industry, transportasi, dan rumah tangga. Kyoto protocol ini juga memunculkan skim CDM atau Mekanisme Pertembuhan yang Bersih. Dalam skim ini ada mekanisme dimana Negara maju mengalihkan kewajibannya menurunkan emisi karbon dengan melakukan penanaman hutan di negara-negara berkembang untuk mengoffset emisi karbon di negara maju. Mekanisme ini sendiri tidak berjalan memuaskan dah bahkan Kyoto Protokol akan berakhir tahun 2012 yad. Mekanisme tersebut akan digantikan dengan mekanisme REDD yaitu program pengurangan emisi dari upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. REDD bahkan REDD Plus, saat ini masih terus dinegosiasikan dalam kerangka UNFCCC.
Adaptasi adalah respon terhadap perubahan iklim yang merupakan upaya bagaimana manusia membiasakan diri dengan perubahan tersebut. Dari sisi individu kita misalnya mengatasi suhu udara yang semakin panas dengan memasang pendingin udara (AC) atau menjadikan lingkungan disekitarnya menjadi lebih teduh atau rimbun dengan menanam pepohonan. Mitigasi, berbeda dengan adaptasi, adalah upaya kita untuk ikut mencegah pemanasan global dengan mengatasi sumber penyebabnya. Misalnya mengurangi emisi dari penggunaan bahan bakar fosil terutama di negara-negara industri. Sementara hutan yang memiliki kemampuan menyerap karbon tentunya juga dapat berperan dalam upaya mengurangi emisi karbon tersebut.

LINGKUNGAN vs EKONOMI
Dari sisi peran hutan dalam perubahan iklim, ternyata untuk mengurangi emisi karbon kita memerlukan strategi yang berbeda dalam mengurus hutan. Tingkat deforestasi dan kerusakan hutan harus diturunkan agar hutan berperan dalam mereduksi emisi karbon tersebut. Skim yang disebut REDD ini tidak serta merta dapat disepakati karena cenderung mendorong agar hutan dibiarkan hutan dan tanpa melakukan kegiatan pemanfaatannya. Skim ini lebih menekankan pada upaya menjaga dan mengamankan hutan saja. Untuk itu perlu diberikan kompensasi akibat tidak dilakukannya pemanfaatan atas sumberdaya hutan tersebut.
Dalam perkembangannya skim REDD tersebut dianggap tidak adil oleh banyak Negara berkembang, mengingat banyak upaya konservasi dan penanaman hutan yang bermanfaat bagi upaya penurunan dan pengurangan emisi karbon, tetapi tidak dimasukan kedalam skim tersebut. Sebagai respon atas pandangan tersebut, kemudian dikembangkanlah skim yang disebut REDD Plus, dimana upaya konservasi dan penanaman hutan juga dihargai sebagai upaya mengatasi perubahan iklim tersebut.
Membiarkan hutan seperti apa adanya kemudian diberikan kompensasi nampaknya seperti sesuatu yang sangat sederhana. Akan tetapi kenyataannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Pertama, penetapan kompensasinya bukan hal yang sederhana, karena perlu perhitungan tentang karbon yang dapat diserap. Disini diperlukan metodologi dan baseline data sebagai basis penghitungan karbon. Makin rumit metodologinya makin runyam dan sulit bagi operator untuk mengaplikasikannya, apalagi bila hal tersebut harus dilakukan pada hutan milik, dimana masyarakat pemilik rata-rata mempunyai cara berpikir yang tidak secanggih para ahli yang memang sehari-harinya memikirkan metoda dan teknik tentang skim kompensasi yang tepat untuk kondisi hutan yang sangat beragam tersebut.
Kedua, pihak yang akan mengkompensasinya juga akan menetapkan persyaratan yang seringkali tidak mudah untuk dapat dipenuhi. Apalagi kalau penetapan syarat tersebut dilakukan secara unilateral. Komplikasi tersebut dapat mengaca pada skim CDM sebagai contoh yang sangat rumit, yang bahkan dapat dikatakan gagal. Ada kesan bahwa komitmen untuk memberi bantuan terkesan sangat tidak tulus ketika persyaratan menjadi begitu rumit dan sulit dicapai bahkan hal tersebut dapat dirasakan ketika program baru akan dimulai. Negara yang akan membantu pendanaan, walaupun akhirnya dana juga tidak dikucurkan, tetapi secara politis telah mendapat nama. Sementara Negara yang akan mendapat bantuan malah terkesan negative karena ketidak mampuannya memenuhi komitmen.
Yang terpenting justru pertanyaan apakah skim tersebut tidak menyebabkan terganggunya pembangunan? Tidak dilakukannya pemanfaatan yang secara konvensional telah menggerakan ekonomi dengan segala manfaat gandanya (multiplier effects) akankah dapat tergantikan dengan adanya dana kompensasi tersebut? Bagaimana dana kompensasi tersebut akan mampu menciptakan kegiatan ekonomi yang juga memiliki dampak ganda, masih merupakan tanda tanya besar. Oleh karena itulah langkah pemerintah dengan mendorong pendekatan incremental melalui proyek percontohan atau Demonstration Activities (DA) menjadi sangat penting dan strategis. Melalui DA tersebut dapat dipelajari banyak hal termasuk bagaimana mendistribusikan manfaat pada semua pemangku kepentingan, baik pada pemerintah pusat dan daerah maupun pada masyarakat yang langsung terkena dampak.

TANGGUNG JAWAB INTERNASIONAL
Upaya mengatasi perubahan iklim tentunya merupakan tanggung jawab semua negara di dunia bukan hanya tanggung jawab negara berkembang saja atau negara maju saja, tapi semua Negara memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Istilahnya adalah equal but different responsibility.
Hanya saja fenomena yang menggejala dengan akan berakhirnya era Protokol Kyoto, dimana upaya negara maju yang termasuk dalam Annex 1 yang memiliki kewajiban menurunkan tingkat konsumsi energinya menjadi semakin tidak terdengar, sementara peran negara negara berkembang yang sebenarnya bersifat sukarela yaitu melalui skim REDD dan REDD Plus nampaknya semakin mengemuka. Bahkan seakan-akan upaya mengatasi perubahan iklim ditimpakan sepenuhnya pada negera-negara berkembang melalui konvensi-konvensi yang diinisiatifi oleh badan-badan dibawah PBB.
Padahal upaya mengatasi perubahan iklim tersebut merupakan kerjabersama (collective action) seluruh bangsa di dunia ini. Oleh karena itu kewajiban dari negara Annex 1 harus juga dipenuhi, demikian pula kewajiban negera berkembang perlu juga dipenuhi. Negara-negara berkembang pada umumnya menghadapi masalah pendanaan, oleh karena itu perlulah ada semacam dana untuk melaksanakan REDD Plus. Masalah pendanaan untuk kegiatan REDD Plus sampai saat ini masih terus dibahas, dan diharapkan kelak pada waktu yang tidak terlalu lama dapat ditemukan mekanisme pendanaan yang akuntabel dan efektif serta efisien.
Pertumbuhan Ekonomi (economic growth)
Sejarah panjang negara maju menjukkan pada bahwa mereka memulai pembangunan ekomominya dengan memanfaatkan sumberdaya alamnya, baikhutan maupun kekayaan mineralnya. Membuka hutan untuk pertanian, menggali tambang untuk menggerakan industri mereka dan meninggalkan kerusakan lingkungan dan hilangnya hutan mereka secara signifikan. Barulah setelah mereka menjadi kaya, terjadi akumluasi kekayaan (wealth accumulation) mereka memikirkan bagaimana memperbaiki lingkungan. Barulah setelah itu kesadaran muncul mengenai perlunya lingkungan yang baik, termasuk perlunya hutan yang terpelihara dengan baik dan semakin banyaknya pembangunan hutan-hutan di daerah perkotaan. Sementara lahan di daerah perdesaannya, yang semula terbiarkan kemudian menjadi hutan-hutan baru.
Secara alamiah sebenarnya negara-negara berkembang pada dasarnya mengikuti tahapan tersebut, namun hal itu terjadi justru ketika kesadaran lingkungan di Negara-negara maju sudah sedemikian tinggi, sehingga praktek di negara-negara berkembang yang notabene meniru pola Negara maju, dianggap salah. Karena dianggap bukan cara yang baik didalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka miliki. Bahkan pandangan tersebut jelas terlefeksikan secara baik dalam skim REDD. Apa yang dilakukan negara berkembang adalah tindakan yang normal pada waktu yang salah. Pertanyaannya bolehkah negara-negara berkembang membangun dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk mengejar ketertinggalan dari Negara maju? Hak untuk membangun bagi mensejahterakan rakyatnya adalah masalah hak manusia (human right) pada tingkat negara atau nasional.
Suatu Negara tentu dibangun untuk tujuan mensejahterakan kehidupan masyarakatnya. Untuk itu pemerintah yang mendapat mandat untuk menyelenggarakan pemerintahan sudahbarang tentu akan melakukan berbagai usaha untuk member kehidupan yang layak bagi rakyatnya, cukup sandang, pangan, tempat tinggal yang baik, pekerjaan yang layak, pendidikan, layanan kesehatan dan seterusnya. Pemerintahan yang efektif tentu pula memerlukan kelembagaan yang meliputi organisasi, peraturan dan perangkat hukum baik kebijakan, aturan operasional dan pengawasan serta penegakan hukum agar segala sesuatunya dapat berjalan secara sistematis, teratur dan disiplin.
Salah satu caranya adalah memanfaatkan sumberdaya yang ada terutama sumberdaya alamnya dengan kemampuan sumberdaya manusia yang ada. Sumberdaya alam seperti hutan, tambang merupakan salah satu modal yang biasanya digunakan untuk menggerakan roda pembangunan yang diperlukan. Ekses atau dampak negative selalu ada baik berupa rusaknya lingkungan, pencemaran udara dan air yang menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Dengan demikian memang diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dimana kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan dapat terwujud secara berdampingan tanpa saling mendominasi satu dengan lainnya. Pengelolaan hutan secara lestari, penambangan yang ramah lingkungan, pembangunan pertanian yang memperhatikan aspek lingkungan seperti konservasi tanah yang baik adalah keharusan.
Banyaknya praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak lestari yang banyak terjadi berakibat pada rusaknya lingkungan, tercemarnnya sumber air, hilangnya keragaman hayati, pencemaran udara dan seterusnya turut membentuk sikap yang anti pembangunan walaupun merekapun mencita-citakan kehidupan yang lebih baik, tingkat kesejahteraan yang kira-kira menyamai mereka yang hidup di negara maju.
Tingginya tingkat deforestasi dibanyak negara berkembang sangat mengkhawatirkan karena akan berdampak pada hilangnya stok karbon pada hutan tersebut dan hilangnya kemampuan menyerap karbon di atmosfir. Sementara kebutuhan untuk membangun areal pertanian baru seperti pencetakan sawah baru, perluasan kebun kelapa sawit, kelapa, kopi dan karet, membangun daerah industri, membangun hutan tanaman adalah sesuatu yang wajar untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk yang notabene akan meningkatkan permintaan pangan, kayu untuk perumahan, kertas, barang-barang manufakturing dan berbagai sarana dan prasarana termasuk kebutuhan energi bagi kehidupan yang lebih baik.
Banyak contoh adanya suku atau kelompok masyarakat yang mampu hidup berharmoni dengan alam dan mempraktekan hidup sederhanan, seperti masayarakat Badui di Banten, suku Anak Dalam di Jambi. Mereka menerapkan kearifan lokal (local wisdom) dan mampu bertahan hidup dari waktu ke waktu dari satuke generasi berikutnya. Kelompok masyarakat atau suku-suku tersebut melakukan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut pada level subsisten, secukupnya dan cenderung tidak ekstraktif (non-extractive use). Pada tingkat nasional, adalah Negara Bhutan yang telah mengintroduksi konsep Gross National Happines (GNH) sebagai substitusi dan komplemen terhadap konsep Gross National Products (GNP). Konsep GHN tersebut lebih memperhitungkan hal yang bersifat kualitatif seperti perasaan bahagia (happiness) yang pada umumnya lebih merupakan konsep masayarakat timur.
Apakah kehidupan seperti mereka yang harus diikuti sehingga permintaan yang banyak ragamnya menjadi berkurang dan tekanan terhadap alam menjadi berkurang pula? Cara hidup suku atau kelompok masyarakat tersebut sepertinya bukan standar hidup atau kehidupan yang dibayangkan atau yang dicita-citakan banyak orang Indonesia ataupun oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

EPILOGUE: Lalu apa?
Dari uraian tersebut nampak banyak hal yang terpengaruh oleh perubahan iklim, banyak pula yang harus dilakukan di dunia yang penuh dengan kesenjangan baik antar negara (country gap) maupun kesenjangan antar individu (individual gap) dalam pelbagai aspek. Beberapa langkah yang harus diambil adalah:
1. Adaptasi dan mitigasi merupakan dua hal yang harus berjalan bersama, demikian juga negara maju dan negara berkembang masing-masing harus melakukan kewajibannya tidak menimpakan beban yang berat pada satu pihak, khususnya pada negara berkembang.
2. Harus ada transfer dana dari Negara maju ke Negara berkembang untuk melaksanakan REDD Plus mengingat keterbatasan sumberdaya domestiknya.
3. Penyiapan sumberdaya manusia dan kelembagaan yang mampu menghadapi perubahan iklim dengan melakukan baik adaptasi maupun mitigasi pada semua tingkatan baik, internasional, nasional maupun sub-nasional.
4. Perlu dikembangkan aksi bersama (collective action) baik pada tingkat global, nasional maupun pada tingkat sub-nasional. Tidak mungkin satu Negara saja atau satu sector saja memecahkan masalah yang sarat barang publiknya.
5. Perlu ada keseimbangan konsumsi energi dan level pembangunan yang harus dicapai oleh semua Negara. Perlu dikembangkan arah pertumbuhan ekonomi baru (a new economic growth path) dengan memanfaatkan kearifan dalam berharmoni dengan alam yang disesuaikan dengan kondisi dan target riil masa kini.

BISA EFEKTIFKAH REDD+?

Pemerintah sudah mencanangkan menuurunkan emisi karbon sebesar 26% dari tingkat bisnis seperti biasa (BAU) pada tahun 2020, bahkan dengan bantuan eksternal dapat dicapai penurunan sebesar 41% pada tahun yang sama. Presiden mencanangkan hal tersebut pada pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat.

REDD+ adalah upaya menurunkan emisi dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan serta upaya peningkatan karbon stok melalui penanaman hutan baru dan pemeliharaan kawasan konservasi. Kedua kegiatan terakhir yaitu penanaman dan konservasi masih terus diperbincangkan di forum UNFCCC.

Dalam kaitannya dengan REDD+< pada saat ini Indonesia sudah dalam tahap Readiness yang kegiatannya antara lain:
1. membangun prakondisi seperti menyusun peraturan sebagai dasar hukum melalui PP, Perpres, Permen dst. Termasuk memperkuat kelembagaan dan penguatan kapasitas melalui pelatihan dan pendampingan.
2. Membangun Demonstartion Activities (DA) yang saat ini dilakukan melalui kerjasama bilateral antara lain dengan Australia, Jerman, dan UN-REDD.

Mengingat REDD+ ini barang baru, pertanyaannya adalah akankah pelaksanaannya di lapangan berjalan efektif? Tentu beberapa hal perlu dibenahi. Pertama, koordinasi dan pemahaman yang sama antara pemerintah pusat dan daerah srta para stakehoders sangat perlu. Kedua, ekspektasi mengenai pembagian manfaat perlu didiskusikan secara terbuka dan disepakati sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Ketiga, karena menyangkut site yang berada di lapangan, maka kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah mutlak diperlukan. Masalah tenurial juga akaj bisa menghambat bila tidak diselesaikan diawal, mengingat banyaknya tumpang tindih penguasaan dan perijinan atas lahan yang dijadikan lokasi REDD+, bahkan termasuk juga kemungkinan adanya klaim masyarakat. Kerumitan ini tentu perlu diselesaikan di depan.

Biaya tentu perlu dikeluarkan untuk mempersiapkan prakondisi tersebut. Dan ini mungkin kegiatan yang harus didanai dan dikerjakan terlebih dulu secara serius bila REDD+ ingin berhasil.

Selasa, 19 Oktober 2010

HILANGNYA RASA EMPATI

Ada pepatah yang berbunyi: sudah jatuh tertimpa tangga. Artinya musibah yang datang beruntun yang menimpa seseorang. Banyak kejadian pada saat dimana seseorang terkena musibah,tidak dibantu oleh temannya malah disukurin. Misal, ada orang tertabrak motor, alih-alih dibantu malah diomelin. "Sukurin lu, itu sih gak patuhi aturan lalu lintas". Tentu tak ada yang salah dengan statemen tersebut. tapi dalam konteks terjadinya kecelakaan, yang sepatutnya perlu dilakukan adalah menolong korban dan bukan menyalahkan korban.

Dalam hal tersebut yang diperlukan adalah 'empati', yaitu perlunya ada kepekaan untuk merasakan masalah orang lain. Menurut Kamus Amerika, empati atau memahami perasaan orang lain adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami perasaan dan kesulitan yang dihadapi orang lain. Ternyata rasa itu umumnya sudah mulai luntur, artinya rasa empati tersebut cenderung makin menurun.

Mengapa rasa empati tersebut bisa menurun atau bahkan hilang? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, pertama,orang tersebut memang tidak peka, terlalu individualistis, selfish atau memiliki sikap yang acuh tak acuh. Tentu saja tipe orang ini memang bisa digolongkan menjadi manusia yang asosial. Kemungkinan yang kedua,orang tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk menolong atau bahkan menduga bahwa pasti sudah ada orang lain yang akan menolong korban. Ketiga, orang tidak berempati mungkin memiliki kaitan kepentingan dengan seseorang yang sedang terkena musibah. Misalnya ketika pesaing mengalami musibah, orang yang merasa disaingi malah cenderung senang bahkan kalau perlu ikut membuat pesaingnya lebih menderita. bukan empati yang muncul. Seringkali orang berkenderungan berpendapat bahwa posisi atau kedudukan adalah kekuasaan yang harus direbut at all costs.

Alangkah indahnya hidup ini apabila seseorang justru ikut berempati ketika pesaing mengalami musibah. Dia berusaha keras untuk meringankan beban yang sedang dihadapi pesaingnya, bukan justru menambah kesulitannya. Inilah model persaingan yang bermartabat yang lebih didasarkan kapasitas dan kemampuan. Dan model inilah yang harus kita kembangkan dimasa mendatang.

Rabu, 13 Oktober 2010

Menarik lebih banyak turis

Upaya pemerintah meningkatkan pendapatan atau devisa dari turisme nampaknya menunjukkan peningkatan, walaupun masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Kunjungan turis ke Indonesia masih jauh dari angka 5 juta turis per tahun, bandingkan dengan negara Itali yang mencapai lebih dari 50 juta turis dalam setahunnya. Program Visit Indonesia Year misalnya telah dirancang dengan baik, namun nampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras lagi.

Mengapa begitu sulit mendatangkan lebih banyak turis ke negeri ini yang memiliki banyak potensi atraksi turisme, baik budaya, keindahan alam,peninggalan purbakalanya maupun keramah-tamahan Indonesia. Banyak memang yang masih perlu dibenahi, mulai dari kebersihan dan kenyamanan bandara internasional sebagai pintu gerbang Indonesia sampai ke masalah sarana dan prasarana turisme.

Sampai saat ini, kalau kita di LN mengaku berasal dari Indonesia, pasti mereka otomatis bereaksi: Bali? Begitu terkenalnya Bali, sampai kitapun terpengaruh dan lupa mempromosikan daerah lain. Bali memang memiliki keunikan yang luar biasa, budayanya, keindaham alamnya, ramah tamahnya, ritual agama dan tradisinya yang sangat kaya, sara dan prasarana yang memadai merupakan daya tarik yang kuat bagi turis untuk berkunjung dan berkunjung lagi ke pulau yang dikenal sebagai pulau Dewata itu. Sebagai aset nasional Bali perlu terus dipelihara dan dikembangkan, namun demikian daerah lainpun harus didorong menjadi destinasi turis baru.

Pemerintah harus membuat kebijakan untuk misalnya membangun lebih banyak daerah sebagai tujuan wisata bisnis dan konperensi. Kegiatan konperensi segitiga tentang terumbu karang (Coral Reef Triangle Conference) di Menado adalah upaya yang perlu ditingkatkan frekuensinya. Atau rencana penyelenggaraan Sea Games di Palembang adalah hal yang sangat positif. Begitu banyak tujuan wisata yang bisa kita tawarkan, Banda Aceh dengan pulau Sabangnya, Medan dengan danau Tobanya,Sumatera Barat dengan jam gadangnya dan seterusnya di pulau Sumatera. Pulau Derawan, hutan Meranti, pusat rehabilitasi orang utan di Kalimantan; TN Bunaken, Tanah Toraja di Sulawesi; Kebun cengkeh dan gn Gamalama di Maluku; Puncak Salju, Raja Ampat dan budaya Asmat di Papua; peninggalan berupa candi-candi peninggalan kerajaan mataram kuno di Jawa; atau perburuan paus secara tradisional di Nusa Tenggara dan seterusnya.

Yang penting adalah adanya upaya serius dari pemerintah untuk mendiversifikasikan daerah tujuan wisata dan mulai membuat prioritas daerah mana yang akan dikembangkan terlebih dulu mengingat keterbatasan dana. Dalam hal ini peran dan kesamaan visi dan langkah pemerintah pusat dan daerah mutlak diperlukan, mengundang pihak swasta nasional juga tidak kalah pentingnya untuk digarap dalam kerangka kebijakan pengembangan turisme. Dengan demikian insya Allah target 5 juta wisatawan per tahun akan mudah terlampaui.

Selasa, 12 Oktober 2010

Terbanglah Garuda ku

Sempat kita terhenyak mendengar berita bahwa perusahaan penerbangan Inonesia, termasuk Garuda, tidak boleh memasuki udara Eropa. Alasannya adalah faktor keselamatan dari pesawat-pesawat yang diragukan, mungkin karena safety standard yang sangat ketat yang diterapkan EU tidak bisa kita penuhi. tetapi seingat saya, juga dipicu banyaknya kecelakaan pesawat yang terjadi di tanah air, walaupun tidak melibatkan Garuda. Sedih dan malu, segitunya kita dimata Eropa. Tapi hikmahnya adalah adanya waktu jeda yang memberi kesempatan pada kita untuk bebenah agar lebih baik.

Sekarang Garuda sudah kembali mengepakan sayapnya di udara Eropa, dan mungkin segera disusul oleh maskapai penerbangan swasta nasional lainnya. Garuda adalah "the national carrier" yang menjadi salah satu icon Indonesia yang cukup dikenal di dunia. Ada kebanggaan ketika kita mendarat di bandara-bandara internasional manapun, dan kita melihat ada pesawat berlogo Garuda.

Maskapai Garuda tentu paling bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pelayanan mulai dari darat sampai diatas pesawat, keamanan dan kenyamanan termasuk ketepatan waktu, harga tiket yang kompetitif, sistem tiketing, kemudahan dalam check-in dan seterusnya. Pengalaman terakhir ke Korea Selatan dengan menggunakan Garuda memberi kesan kuat bahwa Garuda sudah bisa disejajarkan dengan maskapai internasional lainnya. Pesawat baru, reclining seat, kualitas makanan yang mantap dan pelayanan yang ramah. Pokoknya berani bersaing lah.

Seringkali kita masih mendengar teman mengeluhkan pelayanan Garuda, dan cenderung lebih memilih maskapai asing seperti SIA, Cathay, Lufthansa, MAS, KLM, Quantas, JAL dan seterusnya. Tentu tidak salah, karena itu merupakan preferensi pribadi. Tetapi ketika tanggung jawab moral kita sebagai bangsa dipertanyakan, saya pikir kita juga yang harus secara bersama-sama membesarkannya. Di kalangan pegawai negeri sudah ada aturan untuk menggunakan penerbangan nasional ketika bepergian ke Luar Negeri, sepanjang maskapai kita menyediakan pelayanan pada rute tersebut. Kepada semua pihak tentu perlu kita himbau untuki menggunakan maskapai nasional. Kalaupun ada keluhan, bukan berarti kiita harus meninggalkannya, akan tetapi lebih baik kita langsung memberi saran dan masukan untuk perbaikannya ke depan.

Lihatlah bagaimana China dan India menghargai produk nasionalnya, betapa mereka bangga menggunakan produk nasionalnya. Karena ternyata hanya dengan cara itu antara lain, mereka bisa menumbuhkan ekonomi melalui dukungan terhadap produk-produk yang dihasilkan bangsanya sendiri. Pembentukan permintaan oleh manusia Indonesia akan mampu memperkuat basis ekonomi dan kemampuan teknis dari maskapai pernerbangan nasional tersebut. Banggalah ikut membantu usaha bangsa kita sendiri. Dengan saling bergandengan tangan, yakinlah kita bahwa bangsa Indonesia mampu duduk sama tinggi dengan negara-negara lain di dunia ini. Kitapun bisa melakukan itu untuk Garuda.

Terbanglah selalu wahai Garuda ku.

Senin, 09 Agustus 2010

KEBIJAKAN DAN KEBAJIKAN: renungan Ramadhan

Sebagai birokrat kita sering harus membuat kebijakan (policy) dan karena bekerja di bidang kehutanan, ya tentunya kebijakan tentang kehutanan yang dibuat. Misalnya kebijakan tentang industri kehutanan atau kebijakan tentang perbenihan atau kebijakan tentang pemanfaatan hutan dan seterusnya. Kebijakan tersebut ada yang betul-betul mengatur kegiatan kehutanan yang cakupan pengaruhnya secara langsung hanya di bidang kehutanan. Namun demikian banyak juga kebijakan kehutanan yang berdampak pada bidang lain, misalnya kebijakan penggunaan kawasan hutan tentu akan mempengaruhi bidang atau sektor lain yang menggunakan kawasan atau lahan. Misal kegiatan pertambangan atau kegiatan perkebunan.

Seringkali kebijakan satu sektor dianggap merugikan sektor lain, atau merugikan karena tidak berdampak positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kita sering mendengar banyaknya peraturan yang bertentangan, tidak konsisten dan atau tumpang tindih. Akibatnya seringkali bukan saja menyebabkan laju kegiatan pembangunan terhambat, akan tetapi sering berkonsekuensi hukum pula. Nah dalam hal ini kebijakan yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan ternyata tidak mendatangkan kebajikan. Padahal kebijakan yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi bijak atau wise tentunya diharapkan akan menghasilkan kebajikan-kebajikan bagi seluruh manusia dan alam lingkungan.

Lalu mengapa sering terjadi ketidakbijakan yang berakibat tidak memberikan kebajikan? Ada beberapa kemungkinan faktor penyebabnya, yaitu pertama, keterbatasan informasi (limited information dan seringkali juga karena information asymetri). Informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan juga informasi yang ada bisa juga tidak akurat, akibatnya tentu dapat diduga. Informasi juga seringkali hanya dikuasai oleh satu pihak dan sulit diakses oleh yang lain, selain masalah transparansi informasi yang asimetri bisa juga disebabkan karena calon pengguna tidak tahu cara mengakses data dan informasi yang diperlukan.

Kedua, penyusunannya yang terfragmentasi dan sektoral. Ego sektoral sering kali dianggap sebagai penyebab keruwetan ini, betapa tidak? Satu sektor menyusun kebijakan yang akan mempengaruhi sektor lain, tetapi sektor yang akan terpengaruh tidak diajak berembug. Padahal sektor lain tersebut justru telah memiliki kebijakan. Jadilah kebijakan-kebijakan tersebut sering berbenturan. Yang lebih repot lagi bila di dalam sektor pun terjadi fragmentasi pengambilan kebijakan dan keputusan. Kejadian tersebut seringkali pula terjadi karena kita sendiri yang menyusun struktur seperti itu. Penyusunan kebiajakan dalam bentuk Undang Undang (UU) dibuat di parlemen tapi masing-masing sektor memiliki mitra komisi di DPR. Kehutanan dengan Komisi IV bersama Kementrian Pertanian, Kementrian DKP dan Kementrian BUMN. UU Kehutanan disusun oleh Komisi IV, padahal undang-undang tersebut akan berdampak terhadap masalah lingkungan hidup, misalnya Kementrian LH dan juga dengan Kementrian ESDM (keduanya pada Komisi VII), demikian pula sebaliknya. Tapi hal seperti ini tidak merupakan hak eksklusif Indonesia. Di lembaga seperti Bank Dunia pun terjadi hal ketidaksinkronan. Misalnya divisi yang menangani kehutanan dan lingkungan berupaya untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, sementara Divisi yang menangani ekonomi justru mendorong dibukanya kawasan hutan untuk perkebunan, energi dan pemukiman dan seterusnya.

Ketiga, seringkali bersifat ad-Hoc dan perlu segera, sehingga terlupa hal-hal yang penting. Dalam kondisi perubahan yang sangat dinamis dan serba cepat sering kebijakan berubah pula dengan cepat. Nah, perubahan yang serba cepat itu seringkali mengabaikan hal-hal seharusnya dipertimbangkan. Kita acapkali mendengar adagium "yang penting ada dulu, nanti perbaikannya dilakukan sambil jalan". Yang menjadi konsern adalah ketika akan diluruskan, ternyata kebijakan yang dibuat secara tergesa-gesa tersebut telah menimbulkan dampak berganda, akibatnya upaya revisinyapun menjadi tidak sederhana lagi. Apalagi ketika ada unsur legalitas yang terlanggar.

Ramadhan adalah bulan melatih orang untuk lebih bijak. Mudah-mudahan dengan sering mengasah rasa bijak ini akan dapat dihasilkan kebijakan yang mendatangkan kebajikan-kebajikan. Insya Allah.

Minggu, 01 Agustus 2010

SELAMAT BUAT WANADRI

Ini kali kedua saya mengikuti upacara penutupan pelatihan dalam rangka penerimaaan anggota baru kelompok pencinta alam Wanadri yang terkenal itu. Peristiwa itu terjadi di Kawah Upas Gunung Tangkuban Perahu, Bandung. Hari minggu, tepat tanggal 1 Agustus 2010 peristiwa itu terjadi. Penutupan pelatihan calon anggota pencinta alam dan sekaligus pelantikan 87 orang anggota baru yang berhasil mengikuti dengan baik. Dua angkatan baru tahun 2010 dengan nama Asoka Rimba untuk kelompok perempuan dan Tapak Rawa untuk kelompok lelakinya terbentuk sudah.

Ada yang menarik dari peristiwa tersebut. Pertama, ada sekelompok anak negeri ini yang masih berjiwa idealis yang terus memupuk idealisme tersebut dan benar-benar berkhidmat pada tujuan organisasi untuk menjadi pelopor lingkungan.
Kedua, masih banyak anak muda yang tertarik dan penuh tekad mengikuti pelatihan yang tidak ringan demi meraih kehausan akan kegiatan yang positif yang bermanfaat bagi bangsanya dan umat manusia pada umumnya.
Ketiga, rasa bangga yang luar biasa yang ditunjukkan oleh para anggota baru yang tetap bertahan untuk tidak rubuh karena kelelahan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang berat itu. Ada tiga orang yang rubuh ketika upacara resmi selesai, ketiganya masih berusaha berdiri tegak. Sungguh pemandangan yang luar biasa, betapa kebanggaan menjadi anggota Wanadri mampu mengatasi keletihan yang amat sangat. Itu saya rasakan ketika ikut menjabat tangan para anggota baru, banyak yang wajahnya lelah kuyu dengan tangan dingin karena panas tubuh terkuras saat latihan, mereka tetap berteriak WANADRI !! sambil beberapa anggota baru berlinang air matanya rasa haru dan sekaligus bangga. Dalam lubuk hatinya yang terdalam mereka pasti berkata: Ya saya WANADRI sekarang.
Keempat, dukungan yang luar biasa dari orang tua dan saudara-saudara dari para peserta yang berduyun-duyun datang ke kawah Upas untuk menyaksikan dengan segala kebanggaan dan keharuan bahwa anaknya berhasil menjadi anggota kelompok pencinta alam yang terkenal tersebut. Dukungan ini tidak terlihat ketika kita menyikapi kegiatan orientasi dalam rangka penerimaan mahasiswa baru.
Kelima, penyelenggara pelatihan sudah membuat efek dramatis dari acara penutupan pelatihan dan pelantikan anggota baru ini. Ya tempatnya yang mendukung, atraksi asap yang menarik, ledakan dinamit maupun suara tembakan serta teriakan pembawa acara yang bergema disekeliling kawah yang dikelilingi tebing yang curam nampaknya akan membawa kesan tersendiri yang mungkin akan diingat dalam jangka waktu yang cukup lama kedepan.
Sekali lagi, selamat buat WANADRI.

Senin, 26 Juli 2010

KOMPOR GAS MELEDAK:MENGAPA?

Pemerintah berhasil melakukan program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas, terutama untuk keperluan rumah tangga. Sekarang pemakaian gas untuk memasak sudah menjadi hal yang biasa. Namun demikian berita yang kita dengar akhir-akhir ini adalah banyaknya kompor gas. terutama tabug gas 3 kiloan, yang meledak. Akibatnya rumah hancur, terbakar dan banyak memakan korban manusia terutama ibu rumah tangga yang memang dalam kesehariannya bergaul dengan kompor gas.

Sebagian orang mulai berpikir untuk kembali memakai minyak tanah karena lebih aman. Bahkan masyarakat suatu desa di Cipayung, Jakarta mengadakan pemilu kompor. Tujuannya adalah melihat preferensi masyarakatnya untuk menggunakan gas atau minyak tanah. Pemenangnya adalah kompor minyak tanah secara mutlak (80%) dibanding kompor gas (20%). Pasti lasana dibalik pemilu ini adalah karena banyaknya kompor gas yang meledak. Masyarakat nampaknya berbalik ingin atau lebih memilih minyak tanah.

Menurut para ahli beberapa penyebab meledaknya kompor, antara lain karena regulatornya rusak atau tidak pas, selangnya bekualitas rendah demikian juga tabung gasnya sseringkali dibawah standar karena tidak bersertifikat SNI. Karena bocor tadi maka gas terakulmulasi diruang yang sempit, seperti dapur, yang seringkali juga tidak berventilasi udara cukup. Nah secercah api dari pemantik sudah cukup untuk membakar gas tersebut dan akibatnya ya terjadilah ledakan.

Gas elpiji tersebut tidak berwarna dan tidak berbau, oleh karena itu untuk mendeteksi kebocoran tabung gas, maka gas tersebut diberi bau yang menyengat agar orang tahu manakala tercium bau menyengat, berarti gas bocor. Dengan demikian orang harus waspada. Dan ingat, jangan menyalakan kompor.

Untuk menggunakan kompor gas, nampaknya memerlukan pengetahuan tentang cara pemakaian yang aman. Itu berbeda dengan minyak tanah, walaupun berceceran tidak gampang tersambar api. Tapi tidak demikian dengan gas yang mudah terbakar (flammable). Dari kasus-kasus meledaknya kompor gas, selaian karena peralatan yang tidak standar, nampaknya sosialisasi atau penjelasan cara pemakaian yang aman mutlka diperlukan. Barangkali ini juga yang ikut menjelaskan mengapa kompor gas gampang meledak.

Sabtu, 24 Juli 2010

KETIKA DIAM TAK LAGI EMAS

Silent is golden itu peribahasa yang sering kita dengar. Bahkan grup Simon and Garnfunkel dalam salah satu lagunya juga bersenandung diam itu emas. Benarkah diam itu emas? Ternyata tidak selalu.

Ada satu saat dimana diam tidak diapresiasi. Sering kita diundang rapat baik di dalam organisasi maupun diundang oleh organisasi lain. Undangan itu harus kita apresiasi sebagai suatu kehormatan, karena faktanya tidak semua orang diundang. Pihak pengundang tentu berharap bahwa kehadiran kita akan bermanfaat dalam pembahasan agenda rapat tersebut. Undangan tersebut merupakan peluang emas untuk dimanfaatkan.

Bicaralah pada kesempatan, setiap kita diundang, secara jelas ringkas dan santun. Dan ingat, kita jangan berusaha mendominasi, karena banyak tentu peserta yang juga ingin berkontribusi. Ekspresikan pendapat kita, sekalipun ketika pandangan kita barangkali tidak pas atau berbeda dengan arus utama yang ada. Ingat, perbedaan seringkali menginspirasi munculnya ide yang lebih cemerlang dan bahkan mungkin menghasilkan solusi yang jitu.

Seringkali kita diam, karena menganggap pengetahuan atau pendapat yang akan kita lontarkan sudah diketahui oleh semua orang. Sadarlah itu tidak benar. Atau kita diam, karena malu. Sifat malu ini jelas harus ditinggalkan segera dan simpan di bagasi mobil anda atau di lemari pakaian anda. Bayangkan ketika kita selalu diam ketika mengikuti berbagai rapat atau diskusi, maka dapat dipastikan pihak pengundang akan kapok untuk mengundang kita lagi. Setinggi apapun ilmu kita, sedalam apapun pemahaman kita atas ilmu dan pengetahuan, hal itu menjadi tidak bermakna ketika kita tidak pernah berbagi. Ketika kita selalu berprinsip diam itu emas, karena orang akan mencari emas. Ingatlah tidak semua orang suka menambang emas. Dan kita akan menjadi buku tertutup yang tidak ada seorangpun berminat membacanya.

Oleh karena itu, datanglah ketika diundang, usahakan hadir dengan segala cara bahkan ketika kesulitan fisik kita hadapi. Berbicaralah dan lontarkan pendapat kita, dan jangan pernah diam dan jangan pernah takut salah.

PERLUKAH PEMBAHARUAN INTERPRETASI PERIBAHASA?

Ketika berkesempatan ke Washington DC, saya kunjungi beberapa museum dan gedung pemerintah yang umumnya berarsitektur klasik model jaman renaisans. Yang menarik adalah banyaknya kata-kata mutiara dan peribahasa yang diukirkan pada bangunan maupun lantainya. Peribahasa dan kata-kata mutiara banyak terpampang disana. Mulai dari Abraham Lincoln, George Washington, James Watt, bahkan kata-kata mutiara dari Socrates, Galileo, dan seterusnya. Juga kata-kata dari JF Kennedy yang sangat terkenal terpampang di dinding. Semua sangat menggugah. Barangkali itu cara mereka menghargai pahlawan sekaligus memotivasi generasi mudanya.

Di Indonesia, kata-kata penyemangat seperti semboyan banyak dijumpai di pabrik-pabrik yang juga sekaligus sebagai nilai atau semangat yang dikembangkan di perusahaan atau pabrik-pabrik tersebut dan seringkali juga merupakan pedoman tentang apa yang harus karyawan lakukan. Misalnya, kalau ada masalah harus LAPOR, KAJI, PUTUSKAN cara penyelesaiannya. Tapi di Indonesia belumlah merupakan kelaziman dibangunan pemerintah atau institusi lain untuk mengukir peribahasa, kata-kata mutiara dan semboyan pada dinding bangunan lembaga tersebut.

Dalam era globalisasi dimana orang harus cenderung mengekspresikan jati dirinya, harus pamer tanpa bermaksud menyombongkan diri. Kalau tidak, mitra kita menganggap kita tidak tahu apa-apa. Sifat rendah hati perlu diinterpretasikan secara berbeda, ia bukan berarti harus tidak menonjolkan diri karena takut dianggap sombong, tetapi harus proporsional. Seorang ahli manajemen misalnya ya harus sering tampil sehingga semua orang tahu nahwa ia memang ahli, demikian juga untuk keahlian-keahlian lain.

Nah, disinilah saya lihat perlunya peribahasa diberi jiwa baru yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, teknologi dan kadang-kadang juga tata nilai. Misal, Habis Manis Sepah dibuang seringkali dikonotasikan negatif, karena bisa diartikan melupakan kawan lama yang sudah tidak berpotensi karena ada yang lebih moncer. Padahal secara ilmiah, peribahasa itu bisa diartikan sebagai Wajar. Lha wong sudah jadi sepah yang dibuang saja to?. Hanya saja dengan teknologi, limbah bisa di daur ulang.

Atau peribahasa ilmu padi, Makin Berisi Makin Merunduk. Artinya tong berisi tidak berbunyi atau kalau tong yang kosong malah nyaring bunyinya. Saat ini orang berilmu justru harus banyak tampil, menyebarluaskan ilmunya tanpa harus merasa menyombongkan diri. Barangkali, bukan ilmu padi tapi ilmu jagung yang harus dikembangkan. Makin berisi Makin mendongak dan berkilat. Dan banyak peribahasa yang lainnya. Intinya bagaimana kita membangun semangat dan memotivasi melalui peribahasam kata-kata mutiara dan semboyan. Itu saja.

TERIMA KASIH GUSDUR

Sebagai pegawai negeri, kenaikan pangkat mungkin merupakan insentif yang paling besar ditengah keterbatasan insentif yang sifatnya moneter. Betapa tidak? Kepangkatan mengindikasikan salah satunya, lamanya seseorang telah mengabdi melalui jalur birokrasi. Karena ada kenaikan pangkat secara reguler. Tapi kadang-kadang atau seringkali hal tersebut tidak terjadi otomatis, antara lain karena yg berdsangkutan diperbantukan atau tugas belajar. Ada tapi yang lain, yaitu ada juga orang yang selalu sibuk mengurus kenaikan pangkatnya sendiri dan berhasil.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa, walau itu tugas temen-temen kepegawaian, tapi mengingat besarnya volume pekerjaan kepegawaian yang harus mereka kelola, maka sekali-kali ikut mengecek nasib sendiri perlu juga. Alhamdulillah sekarang hal tersebut tidak perlu terjadi lagi. Lha lalu apa hubungannya dengan Gus Dur?

Nah ceriteranya, ketika pangkat saya berhenti agak lama pada golongan IV-A, lalu temen-temen membantu agar bisa naik golongan menjadi IV-B. Dan berhasil! Saat itu bertepatan dengan Gus Dur menjadi presiden dan mengeluarkan peraturan yang memungkinan penyesuaian golongan dengan jabatan dan juga kenaikan golongan bagi pejabat setelah enam bulan pada posisinya. Saat itu, golongan saya sertamerta disesuaikan menjadi IV-C dan enam bulan kemudian menjadi IV-D. Bersyukur pada Allah SWT atas semua ini, karena dengan demikian saya bisa menyusul teman-teman seangkatan yang sudah memiliki golongan tersebut sesuai denga prosedur biasa. Tentunya terima kasih juga untuk pak Presiden, Gus Dur. Karena melalui aturan yang dikeluarkan banyak teman birokrat yang terselamatkan. Aturan tersebut, kemudian memang direvisi kembali. Anyway, terima kasih Gus Dur.

Sabtu, 17 Juli 2010

KETAHANAN PANGAN:SIAPA YANG TAHAN?

Masalah pangan memang penting. Buktinya sering dibicarakan dan diperdebatkan banyak lembaga, banyak orang, baik pemerintah ataupun bukan. Dan kesimpulannya, kita perlu mengembangkan apa yang disebut ketahanan pangan.Ini kemudian jadi wacana politik yang menarik manakala kita membicarakan kemiskinan dan kebutuhan dasar manusia.

Masalah ketahanan pangan selalu dikaitkan ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan. Pada dasarnya kita tahan pangan kalau pangan tersedia kapan dan dimanapun dibutuhkan serta terjangkau, sehingga tidak ada yang kelaparan. Masalahnya seringkali pangan, atau kebutuhan pokok direduksi menjadi ketersediaan beras sebagai makanan pokok. Padahal kalau kita berbicara karbohidrat, maka sumber karbohidrat kita bukan hanya beras. Tapi apa hendak dikata, orang begitu jatuh cinta sama beras.Sampai-sampai, walaupun sudah menyantap macam-macam, tetap saja belum merasa makan kalau belum makan nasi. Nah lho!

KITA TAHAN SECARA ALAMI
Sebenarnya kalau kita secara nasional benar-benar melakukan upaya diversifikasi pangan dan kita secara individu merubah pola makan yang tidak terlalu tergantung pada beras atau nasi, ketahanan pangan tersebut sesungguhnya konsep yang sederhamam dan mudah dilakukan. Betapa tidak sumber karbohidrat kita luar biasanya banyaknya. Singkong, ubi jalar, jagung, sagu, talas, bentul, ganyong, uwi, porang, iles-iles, gadung dan seterusnya. Selain itu Tuhan, bukan tanpa maksud menyediakan umbi-umbian yang tumbuh dan berproduksi pada musim kering saat padi yang nota bene senang minum tidak bisa tumbuh. Kita saja yang tidak mengerti maksud Sang Pencipta tersebut, atau terbutakan karena gengsi yang kita buat sendiri dengan mengkategorisasikan jenis karbohidrat dengan status sosial ekonomi. Tidak perlu berwacana dalam hal ini, just do it.

DAYA ADAPTASI DAN SIFAT MANJA
Rasanya dulu, masyarakat sangat lentur dan dan lebih memiliki daya adaptasi yang tinggi. Tidak ada beras, tidak perlu berteriak-teriak, cari saja alternatif. Kan ada ubi, singkong dan seterusnya. Minyak goreng goreng sulit, ya buat pepes ikan, pepes ayam, pepes tahu, pepes oncom atau bakar ayam, bakat tempe dan seterusnya. Gampang kan? Masalah-masalah sederhana tersebut sekarang malah bisa dibuat menjadi "sepertinya" ruwet, bahkan kalau perlu dipolitisir.

Ada lagi fenomena "manja" yang semakin nampak. Misalnya ada daerah-daerah yang selama musim hujan atau musim gelombang besar tidak dapat didatangi atau mendadak terisolir. Padahal kearifan lokalnya mengajarkan untuk bersiap pada musim panen untuk mengahadapi musim sulit, artinya tahu betul sesuatu bakal rutin terjadi. artinya yang secara alami berdasarkan pengalaman empirisnya, mereka - ya rakyatnya ya pemimpinnya- membuat mereka tegar dan tidak manja serta sudah tahu cara mengatasi hal tersebut. daya adaptasi mereka teruji.

Teriakan minta tolong hanya dilakukan pada situasi ekstrim, dalam hal ini pemerintah sudah selayaknya tanggap dan segera turun tangan. Tidak seharusnya kita sedikit-sedikit teriak. Dan pemerintah juga perlu segera bertindak manakala kondisi darurat terjadi.

IKLIM YANG BERUBAH

Dunia makin panas persis seperti judul filem Indonesia di tahun 80an. Saat ini hal tersebut bukanlagi sekedar judul film, tetapi fakta yang menunjukkan bahwa memang rata-rata suhu udara damana-mana, dimuka bumi ini, memang meningkat. Bogor yang tahun 70an sejuk dan berkabut, saat ini panas dan tidak pernah disentuh kabut. Bahkan di daerah Puncak Pas pun saat ini jarang dijumpai kabut tebal yang tempo lalu, mengharuskan kendaraan memasang lampu halogen atau lampu kabut. Ceritera daerah Puncak yang dingin yang selalu berkabut sudah hampir menjadi sebuah sejarah saja.

Biang penyebabnya adalah pemanasan global yang diakibatkan efek gas rumah kaca (GRK) yang semakin bertambah akibat meningkatnya konsumsi energi sejalan dengan pembangunan yang pesat di negara-negara maju. Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang, khususnya negara yang berhutan tropis, juga berkontribusi terhadap memanasnya suhu dunia ini. Emisi GRK, terutama karbon, inilah yang menyumbang terjadinya perubahan iklim.

(to be continued)

ORANGUTANKU SAYANG-ORANGUTANKU MALANG,

Tahukan anda bahwa Indonesia sering disebut sebagai negara megabiodiversitas? Megabiodiversitas artinya kekayaan keragaman hayati yang ruarr biasa. Alasannya? Ya karena Indonesia memiliki banyak keanekaragaan hayati (biodiversities). Baik berupa kekayaan tumbuh-tumbuhan (flora) maupun berupa kekayaan satwanya (fauna). Salah satu fauna terkenal yang kita miliki adalah orangutan nama latinnya Pongo pygmaeus, itu yang di Kalimantan. yang di Sumatera tergolong kedalam keluarga Pongo abelii. Sayangnya, satwa lucu tersebut saat ini sudah tergolong kedalam kelompok jenis satwa yang terancam punah (endengered species) yang harus dilindungi.

Padahal di dunia ini hanya dua negara di dunia yang memilikinya, yaitu Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, orangutan hidup secara alami di pulau Sumatera dan Kalimantan. Sayang, jumlah populasinya cenderung menurun. Menurut Pak Herry Djoko, Ketua Forina, pada tahun 2008, di Kalimantan, termasuk di Sabah dan Serawak, diperkirakan ada 54.567. Sementara di Sumatera populasinya sangat minim, hanya sekitar 6.800 saja.

Mengapa populasi orangutan menurun? Banyak sebabnya, antara lain karena diburu dan ditangkap sebagai sumber protein hewani. Terbayangkah anda betapa teganya menyantap mahluk yang lucu dan mirip orang itu? Mereka seringkali juga diperdagangkan sebagai hewan peliharaan bahkan diselundupkan ke luar negeri. Penyebab lain adalah karena rusaknya atau berkurangnya habitat orangutan. Berkurangnya habitat antara lain karena kebakaran atau konversi lahan hutan menjadi kota, pemukiman, atau menjadi kebun kelapa sawit atau hutan tanaman. Rusaknya atau menurunnya kualitas habitat dapat disebabkan karena perambahan, pencurian kayu dan kebakaran hutan dan lahan.

Masalahnya, kalau habitat rusak atau berkurang ya akibatnya dukung hutan untuk menghidupi orangutan jadi berkurang dan artinya semakin sedikit jumlah orangutan yang dapat hidup secara layak di habitatnya. Sumber makanan berkurang, mereka harus bersaing diantara mereka, bahkan seringkali bersaing juga dengan manusia. Kalau kecenderungan kerusakan habitat terus berlangsung seperti saat ini, maka bukan mustahil orangutan pun akan musnah dari muka bumi ini.


SO WHAT GITU LHO?
Kitalah yang bertanggung jawab mempertahankan keberadaan orangutan sebagai bagian dari upaya memelihara rantai kehidupan, sehingga semua unsur ekosistem bisa berdampingan secara harmonis. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk orangutan? Pertama yang mensejahterakan hidup mereka sehingga mereka bahagia lahir bathin. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Kita harus angkat topi karena banyak organisasi non pemerintah (ornop) yang bergerak dalam upaya menyelamatkan orangutan tersebut. Pada dasarnya upaya ini bertujuan mengembalikan orangutan ke habitat aslinya yaitu di hutan tropis dataran rendah, dalam keadaan sehat wal afiat. Dalam kaitan dengan upaya tersebut, kita bisa melihat banyaknya sekolah orangutan yang dibangun pihak ornop, seperti di Nyarumenteng dan Tanjung Puting di Kalimantan Tengah. Atau di Samboja, Kalimantan Timur.

Upaya pelepas liaran orangutan pernah dilakukan beberapa kali seperti di pegunungan Meratus. Namun demikian, fakta menunjukkan pada kita bahwa habitat hutan tropis yang masih baik dan sesuai untuk tempat tinggal orangutan tidak banyak lagi. Oleh karena itu pemerintah saat ini merespon dan juga mendorong masyarakat pencinta orangutan untuk bersama-sama mengembangkan kawasan restorasi untuk dijadikan habitat orangutan. Inisiatif Restorasi Ekosistem untuk habitat satwa langka ini adalah sesuatu yang baru yang perlu terus dikembangkan.

Biarlah orangutanku sayang tersebut memiliki kembali rumahnya, habitatnya yang telah lama mereka rindukan.

Minggu, 11 Juli 2010

KEMANA APRESIASI BUDAYA KITA?

Banyak budaya kita, khususnya budaya tradisional yang diam-diam menghilang dari persada nusantara karena tidak ada yang peduli, tidak ada yang mengapresiasi bahkan ada yang menilai ketinggalan zaman dan kurang modern. Lihatlah panggung Srimulat di Surabaya akhirnya bubar, walaupun personilnya secara individu terus berkarya. Demikian juga wayang orang Bharata di Jakarta atau wayang orang Sriwedari di Solo, walau masih ada tapi berada pada kondisi mati segan hidup tak mau. Wayang orang Ngesti Pandowo hanya tinggal kenangan. Banyak contoh budaya tradisional lainnya yang saat ini sulit ditemukan karena kurangnya peminat.

Kita semua tahu bahwa budaya tradisional adalah bahan baku terbentuknya budaya nasional Indonesia. Bisa dibayangkan kalau akar budaya itu hilang, akan hilang pula budaya Indonesia atau budaya kita beralih orientasinya pada budaya lain dari luar, terutama budaya barat yang nampak lebih moderen. Apalagi media barat lebih mendominasi dunia pertevean, kecenderungan tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Lihatlah media TV kita hampir semua acaranya adalah "franchise", kalau di AS ada American Idol di Indonesia kita juga punya Indonesian Idol, atau acara Take Me Out atau acara Price is Right a la Indonesia. Juga pengaruh gaya opera sabun dari Amerika Latin dan seterusnya.

Bandingkan bagaimana opera di Broadway, New York yang menawarkan ceritera lama maupun baru selalu dipadati penonton yang rela antri dan membayar harga tiket yang aduhai 100 sampai 150 US$dollar per sekali pertunjukkan. Bagaimana industri seni tersebut menghidupi para senimannya bahkan menghasilan efek ganda (multiplier effects) terhadap kegiatan ekonomi di New York atau bahkan di AS. Sementara penonton pertunjukkan wayang orang di Jakarta atau Solo bisa dihitung dengan jari, kosong melompomg bagai tak berjiwa. Untung senimannya tetap bertahan untuk berkesenian karena kecintaannya terhadap seni dan hobi. Tapi bagaimana mutu berkesenian dapat meningkat kalau semua hidup dalam ketidakberkecukupan, baik personilnya maupun organisasinya. Masalahnya adalah bagimana pemerintah harus ikut bertanggung jawab dan bagaimana pula peran swasta dan masyarakat?

Bagaimana mengembalikan gairah budaya tradisonal melalui peningkatan apresiasi bisa kita lakukan? Sebagai teladan, kita gunakan contoh wayang orang Sriwedari Solo. Menurut hemat saya upaya tersebut harus kita tangani dengan memperhatikan kedua sisi, baik supply maupun sisi permintaannya. Dari sisi supply khususnya produk yang diwarkan antara lain kemasan pertunjukkannya, mulai dari ceritera, penari dan segala asesorinya, panggung dengan tatalampu dan tata suara yang handal, gedung pertunjukkan yang memperhatikan masalah akustik, kursi yang nyaman, ruang berpendingin udara serta organisasi yang solid. Pertunjukkan yang lama tentu membosankan apalagi buat generasi muda, oleh karena itu perlu dikemas ceritera ringkas, misalnya 2 jam, tanpa menghilangkan makna dan keindahan budayanya. Peranan pemerintah dapat dilakukan melalui program Tahun Kunjungan Wisata.

Dari sisi permintaan, perlu dikembangkan apresiasi masyarakat terhadap budaya tradisional. Ini harus dilakukan sejak dini, misalnya menghidupkan kembali pelajaran menari dan karawitan untuk murid-murid SD dan SMP. Lokakarya budaya yang dirancang dengan target yang jelas dan berkelanjutan. Mengadakan kegiatan festival budaya seperti festval dan kompetisi dalang cilik yang dimasukkan sebagai event tahunan. Pemerintah perlu memperhatikan dan mendorong pelajaran budaya ini untuk dimasukkan kedalam kurikulum sekolah. Dunia pendidikan, khususnya SMK dan perguruan tinggi yang memfokuskan pada bidang budaya seperti Sekolah Koservatori Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) akan mampu berperan sebagai smber ide dan kreativitas budaya serta tempat menghasilkan SDM berkessenian dan seniman yang berkualitas yang bisa lebih meningkatkan apresiasi mayarakat terhadap budaya tradisonal dan budaya nasional.

Peranan media cetak elektronik sangatlah penting dalam mebangun kedua sisi tersebut. Perlu ada konsern TV Swasta ikut menggalakkan budaya tradisional yang dikemas menarik sehingga bisa bersaing dengan paket tayangan yang kebanyakan mengadopsi dari negara-negara barat atau berupa waralaba seperti Indonesia Idol, AFI, Mamamia, Take Me Out, Family 100, the Price is Right dsn seterusnya. Dalam hal ini, nampaknya perlu lebih banyak filantropis yang mau mendanani upaya-upaya tersebut. Dari uraian diatas jelas upaya ini memerlukan dukungan semua pihak, pemerintah, swasta dan masyarakat, karena kegiatan tersebut merupakan "gawe bareng" bangsa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Sabtu, 10 Juli 2010

KISAH SEORANG PENDOA

Ketika kumohon pada Allah kekuatan
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat

Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan

Ketika kumohon pada Allah kesejahteraan
Allah memberiku akal untuk berpikir

Ketika kumohon pada Allah keberanian
Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi

Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong

Ketika kumohon pada Allah bantuan
Allah memberiku kesempatan

Aku tak pernah menerima apa yang kupinta
Tapi aku menerima segala yang kubutuhkan

.... do'a ku terjawab sudah


(Dari sahabatku kang Dadang Mishal)

BELAJAR SEJARAH: HARUS BAGAIMANA?

Siapa yang tak pernah belajar sejarah? Nampaknya semua pasti pernah mengikuti pelajaran sejarah, apalagi bagi yang pernah mengenyam bangku sekolah. Ada pula orang yang belajar sendiri (otodidak)karena memang menyukai. Tapi yang ingin saya ulas adalah pelajaran sejarah di sekolah formal, seperti di SD dan sekolah menengah seperti SLTP dan SLTA.

Sejarah itu penting,semua orang pasti setuju. Bahkan mendiang presiden RI pertama, Bung Karno, memberi judul salah satu pidatonya:"Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan "Jas Merah". Ada juga tokoh yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Kalau memang penting, mengapa pelajaran sejarah tidak menjadi pelajaran yang disukai dan tidak menarik, bahkan kalau tidak tertidur murid lebih suka meninggalkan kelas alias bolos saat jam pelajaran sejarah?

Pelajaran sejarah seringkali terasa kering, karena fokusnya adalah menghafal nama, peristiwa dan tahun kejadiannya. Satu-satunya fakta sejarah yang masih saya ingat adalah Perang Diponegoro yang terjadi dari tahun 1825 sampai 1830. Selain tahun, tdak ada lagi yang saya ingat. Padahal sejarah perlawanan pahlawan kita ini yang berlangsung sampai lima tahun, tentunya memiliki berbagai dimensi yang kaya dan menarik seandainya diungkap dan dibahas di kelas.

Mengapa pelajaran sejarah seringkali (kebo) kering dan 'boring'? Berikut beberapa permasalahannya: Pertama, menurut sejarawan Taufik Abdullah pelajaran sejarah terlalu chronicle, artinya murid disuruh menghapal peristiwa. Kedua, sejarah yang diajarkan nampak seperti ceritera yang berdiri sendiri seakan tidak terkait dengan peristiwa lainnya (Antariksa, penggagas proyek sejarah komunitas di Jogyakarta). Ketiga, menurut Hamid Hasan, guru besar di UPI Bandung, pendidikan sejarah di sekolah nyaris tanpa nilai. Misalnya tidak ada ceritera mengapa Soekarno yang insinyur lulusan sekolah teknik tinggi tidak mencari saja pekerjaan dengan gaji tinggi dan hidup nyaman, tetapi lebih memilih masuk ke dalam organisasi pergerakan serta mengalami beberapa kali ditangkap dan diasingkan. Ini tidak dijelaskan, tidak diungkap bahkan tidak dibahas di ruang kelas.

Menurut hemat saya ada beberapa hal yang perlu dibenahi antara lain, (1). materi pelajaran sendiri perlu disempurnakan dan diperkaya, (2). pengajar juga harus memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu membangun interes anak didik, (3). anak didik perlu dibiasakan untuk comprehension yaitu membaca, memahami dan menceriterakan kembali dengan versinya. (4). Last but not least, mengunjungi musium dan atau lokasi terjadinya peristiwa akan lebih meningkatkan apresiasi murid terhadap sejarah yang pada hakekatnya merupakan keterpautan dimensi waktu dulu, sekarang dan yang akan datang.(Boen)

Sumber:
1. Pengalaman bersekolah
2. Sejarah, Guru Kehidupan. Harian Kompas, Jumat 9 Juli 2010, hal 33.

Jumat, 09 Juli 2010

ANAK EMAS

Saya yakin semua paham maksudnya apa itu anak emas, yaitu anak yang paling disayang dan diperhatikan sama guru. Saking disayangnya seringkali menimbulkan kecemburuan dan kejengkelan murid-murid lainnya. Malah kadang-kadang sering menjadi bulan-bulanan anak lain, apalagi kalau anak emas diperlakukan sangat istimewa. Ketika sekolah dulu sayapun tidak terlalu menyukai ide anak emas tersebut, karena pada pikiran saya seharusnya guru memperlakukan murid-muridnya sama dan tidak pilih kasih. Sayapun berpikir, kenapa sih guru koq diskriminatif? Bukankan semua murid harus jadi tanggung jawabnya? Semua harus mendapat perhatian yang sama.

Ada ceritera seorang guru ideal, beliau sudah almarhum ketika itu mengajar dan menjadi kepala sekolah di Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) di Komplek Kebon Sereh, Gunung Batu Bogor. Beliau adalah pak Djioen. Yang istimewa dari beliau adalah mengenal semua murid-muridnya dengan baik, kenal nama, kenal angkatannya dan kenal perilakunya. Konon, menurut teman-teman lulusan SKMA, kalau beliau ke daerah ketemu mantan murid-muridnya beliau akan menyapa mantan murid-muridnya dengan memanggil namanya dan angkatannya. Guru pada umumnya hanya mengenal dan memiliki ingata yang kuat terhadap dua kategori mrid, yaitu murid yang pintar dan mrid yang nakal. Murid yang tidak masuk dalam kedua kalompok itu umumnya tidak diingat, karena tidak terlalu istimewa untuk ditaruh difile otak kecil yang kapasitasnya relatif terbatas juga.

Nah, ternyata pandangan saya berubah ketika pada saat mahasiswa sayapun ikut mengajar di SMA Leuwiliang dan Madrasah Aliyah Darut Tafsir, Cinangneng Bogor(kalau tidak salah ingat) atau menjadi asisten dosen di Instutut Pertanian Bogor (IPB). Juga ketika setelah lulus S3, ikut mengajar di IPB, Universitas Nusa Bangsa (UNB) selain menjadi dosen pembimbing S1, S2 dan S3. Ingat betul ketika mengajar dan menguji, ada rasa bangga dan bahagia ketika murid bisa menguasai apa yang diberikan dan juga timbul rasa kesal, kadang-kadang-kadang jengkel kalau ada murid yang sama sekali tidak memahami konten pelajaran. Jangan-jangan gurunya yang bodoh karena kagak bisa atau gak menguasai cara mengajar. Maklum karena tidak mengikuti pendidikan khusus mengenai teknik mengajar.

Yang jelas pengalaman mengajar tersebut telah membuka mata dan membuka hati dan kemudian memahami kenapa seorang guru kemudian menganak emaskan muridnya. Karena ia bisa dijadikan ukuran keberhasilan, ketika seorang guru bersyukur bahwa ada juga anak yang bisa saya buat pandai. Kalau semua murid pandai dan baik, selalu saja ada yang paling menonjol. Oleh karena itu anak emas menjadi fenomena yang wajar saja sepanjang ukurannya adalah kepandaian mengunyah substansi pelajaran. Salam (Boen)

GROSS NATIONAL HAPPINES: BHUTAN

Bulan Juni 2010, tanggal 9-11 saya bersama beberapa rekan berkesempatan mengikuti pertemuan ke 23 Asia Pasific Forestry Commission (APFC) di kota Thimpu yang tak lain adalah ibukota negara Bhutan. Pertemuan ini diselenggarakan oleh Food and Agricultural Organizatuion (FAO) dan pemerintah Bhutan yang bertindak sebagai tuan rumah. Pertemuan ini diselenggarakan secara periodik dengan tujuan untuk membahas perkembangan serta kecenderungan pembangunan kehutanan di wilayah Asia dan Pasifik. sehari sebelumnya yaitu tanggal 8 Juni 2010 atas inisiatif pemerintah Bhutan dan FAO diselenggarakan seminar mengenai Gross National Happines (GNH) atau secara bebas bisa diterjemahkan sebagai Kebahagiaan Nasional Kotor. Sayangnya teman-teman dan saya tidak nisa mengikuti seminar tersebut, karena baru datang di Thimpu dan masih berusaha beraklimatisasi dengan kondisi Thumpu yang tereletak pada ketinggian 2.300 m dpl.

Berikut catatan yang sifatnya sementara karena hanya didasarkan atas obrolan informal dengan pak Chip Barber, dari AS yang mengikuti seminar GHN, pemahaman saya mengenai istilah GHN, pengetahuan dan kesan tentang Thimpu dan sekitarnya, serta obrolan sepanjang dengan pengemudi bus mini yang membawa kami dari Thimpu ke bandara di Paro. Pengemudi yang ternyata adalah manager suatu perusahaan jasa ekowisata cukup memberikan pemahaman awak mengenai Bhutan dan masyarakatnya.

GHN merupakan akternatif dari konsep penghitungan kekayaan negara yang lebih kita kenal yaitu Gross National Products (GNP). Angka GNP merupakan indikator kemajuan suatu negara atau bangsa. Nakin besar GNP yang dihitung dengan ukuran uang, makin maju negaranya dan makin kaya juga artinya. Kendati demikian, GNP tidak dapat mencerminkan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Bisa saja GNP yang tinggi tersebut dibangun oleh sebagian kecil kelompok masyarakat yang kaya dan super kaya. Artinya sekelompok kecil masyarakat menguasai sebagian besar kue GNP, artinya juga walaupun GNP nya tinggi ternyata masih banayak masyarakatnya yang masih miskin. GNP lebih didasarkan pada ukuran-ukuran yang kuantitatif dan menghindarkan ukuran yang kualitatif karena dianggap sulit dan subyektif. GNP bukan ukuran perasaan, seperti rasa bahagia, rasa berkecukupan, rasa mensyukuri dan seterusnya.

Dalam konteks ini ceramah ustadz Yusuf Mansur di salah satu stasiun TV sepertinya bisa menjelaskan apa yang dimaksud kebahagiaan (happiness) dalam terminologi GHN tersebut. Beliau mengatakan saat ini banyak orang kehilangan rasa bangga diri, ketika orang atau kelompok masyarakat atau negara menyatakan diri sebagai miskin. orang miskin, kelompok miskin dan negara miskin. orang tiba-tiba rela disebut mikin karena ada bantuan dari pemerintah untuk orang miskin misalnya bantuan langsung tunai (BLT) dan beras miskin (raskin) dan seterusnya. Padahal Islam yang mengajarkan kesederhanaan tidak mengajarkan pemeluknya mengeluh, tapi lebih mensyukuri pemberian Tuhan sekecil apapun. Bahkan orang miskin menurut ukuran barat, bukan mustahil dia sangat ringan tangan membantu saudaranya atau tetangganya yang kekurangan dan juga mengeluarkan sedekah sekecil apapun sedekahnya karena keihlasan itu lebih penting. Itu adalah nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ukuran GNP samasekali tidak menyentuh hal tersebut. Itulah kemudian mengapa alternatif ukuran yang disebut GHN dimunculkan.

Nah sekarang bagaimana Bhutan yang sudah menerapkan GHN tersebut. Thimpu sebagai ibukota nampaknya bisa menunjukkan kebahagiaan 'happiness' tersebut. Kota ini tidak besar untuk ukuran suatu ibukota negara, tapi harap dimaklumi bahwa negara Bhutan berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa. Bangunan di kota umumnya bertingkat dua dan tiga dengan arsitektur sederhana dan unik. Kusen jendelanya berukiran khas. Kotanya bersih dan tenang, jalan-jalan cukup rapih dan tidak ada kemacetan seperti di kota-kota besar di negara lain. Karena itu juga, menurut temen Bhutan, jalan-jalan di Thimpu tidak memerlukan "traffic light". Tingkat kriminalitas nihil, itulah juga mengapa berjalan malam di Thimpu terasa sangat nyaman dan aman. Tidak ada kekawatiran sama sekali akan didatangi oleh orang usil. Tidak dijunpai peminta-minta dijalanan di Thimpu, berbeda dengan kota-kota di Indonesia.

Lingkungan yang beriklim moonson nampaknya cukup terjaga. Sebagai contoh, masyarakat dilarang mengambil ikan di sungai yang membelah kota Thimpu yang berair jernih, padahal banyak ikannya seperti bass dan trout. Kebutuhan ikan didatangkan dari India. Daerahnya bergunung-gunung dengan solum tanah yang tipis, praktis berbatu, pepohonan yang umumnya jenis konifer tumbuh menyebar dalam kelompok. Disekitar Thimpu hutannya nampak lebih tebal, dalam hamparan yang lebih luas dan nampak subur.

Penduduknya ramah dan senantia memakai pakaian tradisional Bhutan yang mirip jubah dengan kaos kaki tinggi untuk kaum prianya. Anak sekolah mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi memakai pakaian tradisonal sebagai seragamnya. Menurut keterangan memang ada kewajiban bagi siapapun untuk menggunakan pakaian tradisonal manakala keluar rumah, terlebih lagi kalau pergi ke kantor atau ke tempat-tempat resmi. Semua orang sepertinya "happy" melakukan itu semua. Ketika dalam perjalanan balik ke bandara Paro, 2.5 jam dari Thimpu, ada hal yang menarik yaitu anak-anak SD dan SMP yang berelompok dipinggir jalan menunggu Bus Sekolah artinya pepemerintah menyediaan kebutuhan transport buat anak-anak sekolah. Selain itu juga di kanan jalan nampaknya pemrintah sedang membangun banyak apartemen untuk rakyatnya.

Ada ceritera menarik dari pengemudi yang mengantar kita, bahwa raja dan putera mahkota sangat rajin turun ke desa. seringkali mereka tidur di rumah penduduk, memasak dam mekan bersama sambil mencari masukan dan keluhan masayarakat. Konon kabarnya respek yang tinggi terhadap rajanya juga dikarenakan sikap raja yang sangat merakyat, bahkan raja Bhutan adalah inisiator demokratisasi Bhutan. Negara ini walaupun tidak kaya menurut ukuran GNP, tapi pancaran kebahagiaan dari wajah-wajah masyarakat yang berpapasan cukup menunjukkan inilah ukuran kesejahteraan yang lebih tepat di Bhutan, yaitu GHN.

(Boen)

Minggu, 04 Juli 2010

Gross National Happines (Naskah Awal)

Bulan juni 2010 saya mengikuti Pertemuan Asia Pacific Forestry Commission (APFC) yang ke 23 di Bhutan, satu negara indah dilereng pegunungan Himalaya, bertetangga dengan Nepal. Pertemuan yang diselenggarakan oleh FAO bekerja sama dengan Pemerintah Bhutan sebagai tuan rumah pada dasarnya adalah pertemuan periodik yang membahas perkembangan kehutanan di kawasan Asia dan Pasifik. Penyelenggara pertemuan berinisiatif melaksanakan pra seminar sebelum pertemuan resmi APFC dimulai dimana negara tuan rumah menyampaikan konsep Gross National Happines (GNH) yang berbeda dengan Gross National Products (GNP) yang biasa kita kenal. Saya sendiri tidak mengikuti seminar tersebut, karena baru saja tiba di bandara Paro yang berjarak 2.5 jam perjalanan dari ibukota Bhutan, Thimpu.

Catatan ini hanya didasarkan pada obrolan santai dengan pak Chip Barber, rimbawan dari AS, serta penalaran saya dari istilah GNH yang dilontarkan, kondisi negara Butan sekilas yang saya rasakan dan obrolan dengan temen2 Bhutan, khususnya temen Bhutan yang menyupiri kami ke bandara Paro on the way home, yang ternyata manajer perusahaan wisata. Catatan ini akan saya perbaiki manakala ada bahan yang lebih baik yang saya miliki.

Pada dasarnya GNH adala indikator kondisi sosial ekonomi sebagai akternatif dari GNP yang saat ini banyak digunakan sebagai indikator tingkat kemajuan suatu negara dan bangsa. Indikator GNP menunjukkan tingkat kekayaan suatu negara, karena mengindikasikan berapa pendapatan kumulatif nasional suatu negara. Makin besar GNP makin kaya atau maju negara tersebut. Sementara GNP ini tidak membicarakan distribusi kekayaan tersebut diantara kelompok mayarakat tetapi hanya total kekayaan, artinya netral terhadapa pertanyaan siapa kemolpok miskin dan kaya. Selain itu juga sangat berdasarkan pafa fakta kuantitatif tetapi kurang pada fakta kualitatif seperti "perasaan", yaitu merasa kaya atau merasa miskin, merasa kekurangan dan atau merasa berkecukupan. Nah, GNH lebih meng-"address" hal-hal yang kualitatif, khas nilai-nilai atau cara pandang orang Timur daripada cara pandang orang Barat.

Barangkali pernyataan ustadz Yusuf Mansur dalam suatu ceramah pagi di TPI yang mengatakan adalah suatu "kehinaan" mengakui sebagai orang miskin relevan dalam memahami GNH. Sekarang ini malahan banyak yang berlomba-lomba untuk mengakui sebagai orang miskin ketika pemerintah memberi bantuan pada kelompok ini. Misalnya beras miskin (raskin) dan seterusnya. Ini berkaitan dengan istilah dan definisi miskin, misalnya orang yang buat besok tidak memiliki apa2 untuk dimakan mungkin termasuk orang miskin. Atau orang yang memiliki cukup pakaian 2 atau 3 pasang mungkin belum termasuk miskin relatif terhadap yang hanya punya sepasang pakaian. Secara sederhana mungkin bisa dikatakan bahwa kepemilikan kita sebenarnya tidak perlu berlebihan asal cukup untuk hidup yang bahagia sesuai dengan kriteria yang sederhana tersebut. Gaya hidup Timur pada umumnya didasarkan pada nilai kesederhanaan, berbeda dengan nilai barat yang berkecenderungan "hedonisme". Nah, barangkali masalahnya, pertama orang cebderung suka saling melihat, dimana rumput tetangga selalu nampak lebih hijau. Kedua, orang lebih suka melihat ke atas dan jarang membandingkan ke bawah, akibatnya selalu merasa kekurangan.

Bhutan adalah negara kecil penduduknya tidak lebih atau bahkan kurang dari sejuta orang. tingkat kaya dan miskin tidak menyolok bahkan nampaknya merata kekayaan antar penduduknya. Kota Thimpu nampak sederhana dengan rumah atau gedung bertingkat dua dan tiga dengan kusen jendela yang khas, bersih dan nyaman dengan masyarakat yang mayoritasnya beragama Budha, sangat ramah, komunikatif dan umumnya mampu berbahasa Inggris. Semua berpakaian tradisional manakala keluar rumah dari anak kecil sampai orang dewasa. Kendaraan rata-rata bagus tapi tidak pernah menjumpai mobil mewah yang seringkali nampak di jalan-jalan di jakarta kita. Tingkat kriminal nihil dan aman untuk ebjalan-jalan walau tengah malam. Ketika dalam perjalanan pulang di pagi hari nampak banyak terlihat kelompok anak sekolah setingkat SD dan SMP berseragam pakaian nasional berdiri menunggu jemputan, bus sekolah, yang disediakan pemerintah. Konon menurut ceritera supir yang mengantar kami, raja dan putera mahkota kerajaan Bhutan sangat peduli terhadap masyarakatnya, sering berkeliling ke seantero negeri, berdiskusi dengan masyarakatnya mengenai permalahan yang dihadapi, bahkan seringkali tidur dirumah penduduk, memasak dan makan bersama rakyatnya. Barangkali dari situlah kita dapat memaknai dan memahami mengapa Bhutan berisnisiasi bahkan sudah mengimplementasikan GNH dalam kehidupannya sehari-hari.

Wassalam.