Minggu, 04 Juli 2010

Gross National Happines (Naskah Awal)

Bulan juni 2010 saya mengikuti Pertemuan Asia Pacific Forestry Commission (APFC) yang ke 23 di Bhutan, satu negara indah dilereng pegunungan Himalaya, bertetangga dengan Nepal. Pertemuan yang diselenggarakan oleh FAO bekerja sama dengan Pemerintah Bhutan sebagai tuan rumah pada dasarnya adalah pertemuan periodik yang membahas perkembangan kehutanan di kawasan Asia dan Pasifik. Penyelenggara pertemuan berinisiatif melaksanakan pra seminar sebelum pertemuan resmi APFC dimulai dimana negara tuan rumah menyampaikan konsep Gross National Happines (GNH) yang berbeda dengan Gross National Products (GNP) yang biasa kita kenal. Saya sendiri tidak mengikuti seminar tersebut, karena baru saja tiba di bandara Paro yang berjarak 2.5 jam perjalanan dari ibukota Bhutan, Thimpu.

Catatan ini hanya didasarkan pada obrolan santai dengan pak Chip Barber, rimbawan dari AS, serta penalaran saya dari istilah GNH yang dilontarkan, kondisi negara Butan sekilas yang saya rasakan dan obrolan dengan temen2 Bhutan, khususnya temen Bhutan yang menyupiri kami ke bandara Paro on the way home, yang ternyata manajer perusahaan wisata. Catatan ini akan saya perbaiki manakala ada bahan yang lebih baik yang saya miliki.

Pada dasarnya GNH adala indikator kondisi sosial ekonomi sebagai akternatif dari GNP yang saat ini banyak digunakan sebagai indikator tingkat kemajuan suatu negara dan bangsa. Indikator GNP menunjukkan tingkat kekayaan suatu negara, karena mengindikasikan berapa pendapatan kumulatif nasional suatu negara. Makin besar GNP makin kaya atau maju negara tersebut. Sementara GNP ini tidak membicarakan distribusi kekayaan tersebut diantara kelompok mayarakat tetapi hanya total kekayaan, artinya netral terhadapa pertanyaan siapa kemolpok miskin dan kaya. Selain itu juga sangat berdasarkan pafa fakta kuantitatif tetapi kurang pada fakta kualitatif seperti "perasaan", yaitu merasa kaya atau merasa miskin, merasa kekurangan dan atau merasa berkecukupan. Nah, GNH lebih meng-"address" hal-hal yang kualitatif, khas nilai-nilai atau cara pandang orang Timur daripada cara pandang orang Barat.

Barangkali pernyataan ustadz Yusuf Mansur dalam suatu ceramah pagi di TPI yang mengatakan adalah suatu "kehinaan" mengakui sebagai orang miskin relevan dalam memahami GNH. Sekarang ini malahan banyak yang berlomba-lomba untuk mengakui sebagai orang miskin ketika pemerintah memberi bantuan pada kelompok ini. Misalnya beras miskin (raskin) dan seterusnya. Ini berkaitan dengan istilah dan definisi miskin, misalnya orang yang buat besok tidak memiliki apa2 untuk dimakan mungkin termasuk orang miskin. Atau orang yang memiliki cukup pakaian 2 atau 3 pasang mungkin belum termasuk miskin relatif terhadap yang hanya punya sepasang pakaian. Secara sederhana mungkin bisa dikatakan bahwa kepemilikan kita sebenarnya tidak perlu berlebihan asal cukup untuk hidup yang bahagia sesuai dengan kriteria yang sederhana tersebut. Gaya hidup Timur pada umumnya didasarkan pada nilai kesederhanaan, berbeda dengan nilai barat yang berkecenderungan "hedonisme". Nah, barangkali masalahnya, pertama orang cebderung suka saling melihat, dimana rumput tetangga selalu nampak lebih hijau. Kedua, orang lebih suka melihat ke atas dan jarang membandingkan ke bawah, akibatnya selalu merasa kekurangan.

Bhutan adalah negara kecil penduduknya tidak lebih atau bahkan kurang dari sejuta orang. tingkat kaya dan miskin tidak menyolok bahkan nampaknya merata kekayaan antar penduduknya. Kota Thimpu nampak sederhana dengan rumah atau gedung bertingkat dua dan tiga dengan kusen jendela yang khas, bersih dan nyaman dengan masyarakat yang mayoritasnya beragama Budha, sangat ramah, komunikatif dan umumnya mampu berbahasa Inggris. Semua berpakaian tradisional manakala keluar rumah dari anak kecil sampai orang dewasa. Kendaraan rata-rata bagus tapi tidak pernah menjumpai mobil mewah yang seringkali nampak di jalan-jalan di jakarta kita. Tingkat kriminal nihil dan aman untuk ebjalan-jalan walau tengah malam. Ketika dalam perjalanan pulang di pagi hari nampak banyak terlihat kelompok anak sekolah setingkat SD dan SMP berseragam pakaian nasional berdiri menunggu jemputan, bus sekolah, yang disediakan pemerintah. Konon menurut ceritera supir yang mengantar kami, raja dan putera mahkota kerajaan Bhutan sangat peduli terhadap masyarakatnya, sering berkeliling ke seantero negeri, berdiskusi dengan masyarakatnya mengenai permalahan yang dihadapi, bahkan seringkali tidur dirumah penduduk, memasak dan makan bersama rakyatnya. Barangkali dari situlah kita dapat memaknai dan memahami mengapa Bhutan berisnisiasi bahkan sudah mengimplementasikan GNH dalam kehidupannya sehari-hari.

Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar