Sabtu, 17 Juli 2010

KETAHANAN PANGAN:SIAPA YANG TAHAN?

Masalah pangan memang penting. Buktinya sering dibicarakan dan diperdebatkan banyak lembaga, banyak orang, baik pemerintah ataupun bukan. Dan kesimpulannya, kita perlu mengembangkan apa yang disebut ketahanan pangan.Ini kemudian jadi wacana politik yang menarik manakala kita membicarakan kemiskinan dan kebutuhan dasar manusia.

Masalah ketahanan pangan selalu dikaitkan ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan. Pada dasarnya kita tahan pangan kalau pangan tersedia kapan dan dimanapun dibutuhkan serta terjangkau, sehingga tidak ada yang kelaparan. Masalahnya seringkali pangan, atau kebutuhan pokok direduksi menjadi ketersediaan beras sebagai makanan pokok. Padahal kalau kita berbicara karbohidrat, maka sumber karbohidrat kita bukan hanya beras. Tapi apa hendak dikata, orang begitu jatuh cinta sama beras.Sampai-sampai, walaupun sudah menyantap macam-macam, tetap saja belum merasa makan kalau belum makan nasi. Nah lho!

KITA TAHAN SECARA ALAMI
Sebenarnya kalau kita secara nasional benar-benar melakukan upaya diversifikasi pangan dan kita secara individu merubah pola makan yang tidak terlalu tergantung pada beras atau nasi, ketahanan pangan tersebut sesungguhnya konsep yang sederhamam dan mudah dilakukan. Betapa tidak sumber karbohidrat kita luar biasanya banyaknya. Singkong, ubi jalar, jagung, sagu, talas, bentul, ganyong, uwi, porang, iles-iles, gadung dan seterusnya. Selain itu Tuhan, bukan tanpa maksud menyediakan umbi-umbian yang tumbuh dan berproduksi pada musim kering saat padi yang nota bene senang minum tidak bisa tumbuh. Kita saja yang tidak mengerti maksud Sang Pencipta tersebut, atau terbutakan karena gengsi yang kita buat sendiri dengan mengkategorisasikan jenis karbohidrat dengan status sosial ekonomi. Tidak perlu berwacana dalam hal ini, just do it.

DAYA ADAPTASI DAN SIFAT MANJA
Rasanya dulu, masyarakat sangat lentur dan dan lebih memiliki daya adaptasi yang tinggi. Tidak ada beras, tidak perlu berteriak-teriak, cari saja alternatif. Kan ada ubi, singkong dan seterusnya. Minyak goreng goreng sulit, ya buat pepes ikan, pepes ayam, pepes tahu, pepes oncom atau bakar ayam, bakat tempe dan seterusnya. Gampang kan? Masalah-masalah sederhana tersebut sekarang malah bisa dibuat menjadi "sepertinya" ruwet, bahkan kalau perlu dipolitisir.

Ada lagi fenomena "manja" yang semakin nampak. Misalnya ada daerah-daerah yang selama musim hujan atau musim gelombang besar tidak dapat didatangi atau mendadak terisolir. Padahal kearifan lokalnya mengajarkan untuk bersiap pada musim panen untuk mengahadapi musim sulit, artinya tahu betul sesuatu bakal rutin terjadi. artinya yang secara alami berdasarkan pengalaman empirisnya, mereka - ya rakyatnya ya pemimpinnya- membuat mereka tegar dan tidak manja serta sudah tahu cara mengatasi hal tersebut. daya adaptasi mereka teruji.

Teriakan minta tolong hanya dilakukan pada situasi ekstrim, dalam hal ini pemerintah sudah selayaknya tanggap dan segera turun tangan. Tidak seharusnya kita sedikit-sedikit teriak. Dan pemerintah juga perlu segera bertindak manakala kondisi darurat terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar