Senin, 26 Juli 2010

KOMPOR GAS MELEDAK:MENGAPA?

Pemerintah berhasil melakukan program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas, terutama untuk keperluan rumah tangga. Sekarang pemakaian gas untuk memasak sudah menjadi hal yang biasa. Namun demikian berita yang kita dengar akhir-akhir ini adalah banyaknya kompor gas. terutama tabug gas 3 kiloan, yang meledak. Akibatnya rumah hancur, terbakar dan banyak memakan korban manusia terutama ibu rumah tangga yang memang dalam kesehariannya bergaul dengan kompor gas.

Sebagian orang mulai berpikir untuk kembali memakai minyak tanah karena lebih aman. Bahkan masyarakat suatu desa di Cipayung, Jakarta mengadakan pemilu kompor. Tujuannya adalah melihat preferensi masyarakatnya untuk menggunakan gas atau minyak tanah. Pemenangnya adalah kompor minyak tanah secara mutlak (80%) dibanding kompor gas (20%). Pasti lasana dibalik pemilu ini adalah karena banyaknya kompor gas yang meledak. Masyarakat nampaknya berbalik ingin atau lebih memilih minyak tanah.

Menurut para ahli beberapa penyebab meledaknya kompor, antara lain karena regulatornya rusak atau tidak pas, selangnya bekualitas rendah demikian juga tabung gasnya sseringkali dibawah standar karena tidak bersertifikat SNI. Karena bocor tadi maka gas terakulmulasi diruang yang sempit, seperti dapur, yang seringkali juga tidak berventilasi udara cukup. Nah secercah api dari pemantik sudah cukup untuk membakar gas tersebut dan akibatnya ya terjadilah ledakan.

Gas elpiji tersebut tidak berwarna dan tidak berbau, oleh karena itu untuk mendeteksi kebocoran tabung gas, maka gas tersebut diberi bau yang menyengat agar orang tahu manakala tercium bau menyengat, berarti gas bocor. Dengan demikian orang harus waspada. Dan ingat, jangan menyalakan kompor.

Untuk menggunakan kompor gas, nampaknya memerlukan pengetahuan tentang cara pemakaian yang aman. Itu berbeda dengan minyak tanah, walaupun berceceran tidak gampang tersambar api. Tapi tidak demikian dengan gas yang mudah terbakar (flammable). Dari kasus-kasus meledaknya kompor gas, selaian karena peralatan yang tidak standar, nampaknya sosialisasi atau penjelasan cara pemakaian yang aman mutlka diperlukan. Barangkali ini juga yang ikut menjelaskan mengapa kompor gas gampang meledak.

Sabtu, 24 Juli 2010

KETIKA DIAM TAK LAGI EMAS

Silent is golden itu peribahasa yang sering kita dengar. Bahkan grup Simon and Garnfunkel dalam salah satu lagunya juga bersenandung diam itu emas. Benarkah diam itu emas? Ternyata tidak selalu.

Ada satu saat dimana diam tidak diapresiasi. Sering kita diundang rapat baik di dalam organisasi maupun diundang oleh organisasi lain. Undangan itu harus kita apresiasi sebagai suatu kehormatan, karena faktanya tidak semua orang diundang. Pihak pengundang tentu berharap bahwa kehadiran kita akan bermanfaat dalam pembahasan agenda rapat tersebut. Undangan tersebut merupakan peluang emas untuk dimanfaatkan.

Bicaralah pada kesempatan, setiap kita diundang, secara jelas ringkas dan santun. Dan ingat, kita jangan berusaha mendominasi, karena banyak tentu peserta yang juga ingin berkontribusi. Ekspresikan pendapat kita, sekalipun ketika pandangan kita barangkali tidak pas atau berbeda dengan arus utama yang ada. Ingat, perbedaan seringkali menginspirasi munculnya ide yang lebih cemerlang dan bahkan mungkin menghasilkan solusi yang jitu.

Seringkali kita diam, karena menganggap pengetahuan atau pendapat yang akan kita lontarkan sudah diketahui oleh semua orang. Sadarlah itu tidak benar. Atau kita diam, karena malu. Sifat malu ini jelas harus ditinggalkan segera dan simpan di bagasi mobil anda atau di lemari pakaian anda. Bayangkan ketika kita selalu diam ketika mengikuti berbagai rapat atau diskusi, maka dapat dipastikan pihak pengundang akan kapok untuk mengundang kita lagi. Setinggi apapun ilmu kita, sedalam apapun pemahaman kita atas ilmu dan pengetahuan, hal itu menjadi tidak bermakna ketika kita tidak pernah berbagi. Ketika kita selalu berprinsip diam itu emas, karena orang akan mencari emas. Ingatlah tidak semua orang suka menambang emas. Dan kita akan menjadi buku tertutup yang tidak ada seorangpun berminat membacanya.

Oleh karena itu, datanglah ketika diundang, usahakan hadir dengan segala cara bahkan ketika kesulitan fisik kita hadapi. Berbicaralah dan lontarkan pendapat kita, dan jangan pernah diam dan jangan pernah takut salah.

PERLUKAH PEMBAHARUAN INTERPRETASI PERIBAHASA?

Ketika berkesempatan ke Washington DC, saya kunjungi beberapa museum dan gedung pemerintah yang umumnya berarsitektur klasik model jaman renaisans. Yang menarik adalah banyaknya kata-kata mutiara dan peribahasa yang diukirkan pada bangunan maupun lantainya. Peribahasa dan kata-kata mutiara banyak terpampang disana. Mulai dari Abraham Lincoln, George Washington, James Watt, bahkan kata-kata mutiara dari Socrates, Galileo, dan seterusnya. Juga kata-kata dari JF Kennedy yang sangat terkenal terpampang di dinding. Semua sangat menggugah. Barangkali itu cara mereka menghargai pahlawan sekaligus memotivasi generasi mudanya.

Di Indonesia, kata-kata penyemangat seperti semboyan banyak dijumpai di pabrik-pabrik yang juga sekaligus sebagai nilai atau semangat yang dikembangkan di perusahaan atau pabrik-pabrik tersebut dan seringkali juga merupakan pedoman tentang apa yang harus karyawan lakukan. Misalnya, kalau ada masalah harus LAPOR, KAJI, PUTUSKAN cara penyelesaiannya. Tapi di Indonesia belumlah merupakan kelaziman dibangunan pemerintah atau institusi lain untuk mengukir peribahasa, kata-kata mutiara dan semboyan pada dinding bangunan lembaga tersebut.

Dalam era globalisasi dimana orang harus cenderung mengekspresikan jati dirinya, harus pamer tanpa bermaksud menyombongkan diri. Kalau tidak, mitra kita menganggap kita tidak tahu apa-apa. Sifat rendah hati perlu diinterpretasikan secara berbeda, ia bukan berarti harus tidak menonjolkan diri karena takut dianggap sombong, tetapi harus proporsional. Seorang ahli manajemen misalnya ya harus sering tampil sehingga semua orang tahu nahwa ia memang ahli, demikian juga untuk keahlian-keahlian lain.

Nah, disinilah saya lihat perlunya peribahasa diberi jiwa baru yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, teknologi dan kadang-kadang juga tata nilai. Misal, Habis Manis Sepah dibuang seringkali dikonotasikan negatif, karena bisa diartikan melupakan kawan lama yang sudah tidak berpotensi karena ada yang lebih moncer. Padahal secara ilmiah, peribahasa itu bisa diartikan sebagai Wajar. Lha wong sudah jadi sepah yang dibuang saja to?. Hanya saja dengan teknologi, limbah bisa di daur ulang.

Atau peribahasa ilmu padi, Makin Berisi Makin Merunduk. Artinya tong berisi tidak berbunyi atau kalau tong yang kosong malah nyaring bunyinya. Saat ini orang berilmu justru harus banyak tampil, menyebarluaskan ilmunya tanpa harus merasa menyombongkan diri. Barangkali, bukan ilmu padi tapi ilmu jagung yang harus dikembangkan. Makin berisi Makin mendongak dan berkilat. Dan banyak peribahasa yang lainnya. Intinya bagaimana kita membangun semangat dan memotivasi melalui peribahasam kata-kata mutiara dan semboyan. Itu saja.

TERIMA KASIH GUSDUR

Sebagai pegawai negeri, kenaikan pangkat mungkin merupakan insentif yang paling besar ditengah keterbatasan insentif yang sifatnya moneter. Betapa tidak? Kepangkatan mengindikasikan salah satunya, lamanya seseorang telah mengabdi melalui jalur birokrasi. Karena ada kenaikan pangkat secara reguler. Tapi kadang-kadang atau seringkali hal tersebut tidak terjadi otomatis, antara lain karena yg berdsangkutan diperbantukan atau tugas belajar. Ada tapi yang lain, yaitu ada juga orang yang selalu sibuk mengurus kenaikan pangkatnya sendiri dan berhasil.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa, walau itu tugas temen-temen kepegawaian, tapi mengingat besarnya volume pekerjaan kepegawaian yang harus mereka kelola, maka sekali-kali ikut mengecek nasib sendiri perlu juga. Alhamdulillah sekarang hal tersebut tidak perlu terjadi lagi. Lha lalu apa hubungannya dengan Gus Dur?

Nah ceriteranya, ketika pangkat saya berhenti agak lama pada golongan IV-A, lalu temen-temen membantu agar bisa naik golongan menjadi IV-B. Dan berhasil! Saat itu bertepatan dengan Gus Dur menjadi presiden dan mengeluarkan peraturan yang memungkinan penyesuaian golongan dengan jabatan dan juga kenaikan golongan bagi pejabat setelah enam bulan pada posisinya. Saat itu, golongan saya sertamerta disesuaikan menjadi IV-C dan enam bulan kemudian menjadi IV-D. Bersyukur pada Allah SWT atas semua ini, karena dengan demikian saya bisa menyusul teman-teman seangkatan yang sudah memiliki golongan tersebut sesuai denga prosedur biasa. Tentunya terima kasih juga untuk pak Presiden, Gus Dur. Karena melalui aturan yang dikeluarkan banyak teman birokrat yang terselamatkan. Aturan tersebut, kemudian memang direvisi kembali. Anyway, terima kasih Gus Dur.

Sabtu, 17 Juli 2010

KETAHANAN PANGAN:SIAPA YANG TAHAN?

Masalah pangan memang penting. Buktinya sering dibicarakan dan diperdebatkan banyak lembaga, banyak orang, baik pemerintah ataupun bukan. Dan kesimpulannya, kita perlu mengembangkan apa yang disebut ketahanan pangan.Ini kemudian jadi wacana politik yang menarik manakala kita membicarakan kemiskinan dan kebutuhan dasar manusia.

Masalah ketahanan pangan selalu dikaitkan ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan. Pada dasarnya kita tahan pangan kalau pangan tersedia kapan dan dimanapun dibutuhkan serta terjangkau, sehingga tidak ada yang kelaparan. Masalahnya seringkali pangan, atau kebutuhan pokok direduksi menjadi ketersediaan beras sebagai makanan pokok. Padahal kalau kita berbicara karbohidrat, maka sumber karbohidrat kita bukan hanya beras. Tapi apa hendak dikata, orang begitu jatuh cinta sama beras.Sampai-sampai, walaupun sudah menyantap macam-macam, tetap saja belum merasa makan kalau belum makan nasi. Nah lho!

KITA TAHAN SECARA ALAMI
Sebenarnya kalau kita secara nasional benar-benar melakukan upaya diversifikasi pangan dan kita secara individu merubah pola makan yang tidak terlalu tergantung pada beras atau nasi, ketahanan pangan tersebut sesungguhnya konsep yang sederhamam dan mudah dilakukan. Betapa tidak sumber karbohidrat kita luar biasanya banyaknya. Singkong, ubi jalar, jagung, sagu, talas, bentul, ganyong, uwi, porang, iles-iles, gadung dan seterusnya. Selain itu Tuhan, bukan tanpa maksud menyediakan umbi-umbian yang tumbuh dan berproduksi pada musim kering saat padi yang nota bene senang minum tidak bisa tumbuh. Kita saja yang tidak mengerti maksud Sang Pencipta tersebut, atau terbutakan karena gengsi yang kita buat sendiri dengan mengkategorisasikan jenis karbohidrat dengan status sosial ekonomi. Tidak perlu berwacana dalam hal ini, just do it.

DAYA ADAPTASI DAN SIFAT MANJA
Rasanya dulu, masyarakat sangat lentur dan dan lebih memiliki daya adaptasi yang tinggi. Tidak ada beras, tidak perlu berteriak-teriak, cari saja alternatif. Kan ada ubi, singkong dan seterusnya. Minyak goreng goreng sulit, ya buat pepes ikan, pepes ayam, pepes tahu, pepes oncom atau bakar ayam, bakat tempe dan seterusnya. Gampang kan? Masalah-masalah sederhana tersebut sekarang malah bisa dibuat menjadi "sepertinya" ruwet, bahkan kalau perlu dipolitisir.

Ada lagi fenomena "manja" yang semakin nampak. Misalnya ada daerah-daerah yang selama musim hujan atau musim gelombang besar tidak dapat didatangi atau mendadak terisolir. Padahal kearifan lokalnya mengajarkan untuk bersiap pada musim panen untuk mengahadapi musim sulit, artinya tahu betul sesuatu bakal rutin terjadi. artinya yang secara alami berdasarkan pengalaman empirisnya, mereka - ya rakyatnya ya pemimpinnya- membuat mereka tegar dan tidak manja serta sudah tahu cara mengatasi hal tersebut. daya adaptasi mereka teruji.

Teriakan minta tolong hanya dilakukan pada situasi ekstrim, dalam hal ini pemerintah sudah selayaknya tanggap dan segera turun tangan. Tidak seharusnya kita sedikit-sedikit teriak. Dan pemerintah juga perlu segera bertindak manakala kondisi darurat terjadi.

IKLIM YANG BERUBAH

Dunia makin panas persis seperti judul filem Indonesia di tahun 80an. Saat ini hal tersebut bukanlagi sekedar judul film, tetapi fakta yang menunjukkan bahwa memang rata-rata suhu udara damana-mana, dimuka bumi ini, memang meningkat. Bogor yang tahun 70an sejuk dan berkabut, saat ini panas dan tidak pernah disentuh kabut. Bahkan di daerah Puncak Pas pun saat ini jarang dijumpai kabut tebal yang tempo lalu, mengharuskan kendaraan memasang lampu halogen atau lampu kabut. Ceritera daerah Puncak yang dingin yang selalu berkabut sudah hampir menjadi sebuah sejarah saja.

Biang penyebabnya adalah pemanasan global yang diakibatkan efek gas rumah kaca (GRK) yang semakin bertambah akibat meningkatnya konsumsi energi sejalan dengan pembangunan yang pesat di negara-negara maju. Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang, khususnya negara yang berhutan tropis, juga berkontribusi terhadap memanasnya suhu dunia ini. Emisi GRK, terutama karbon, inilah yang menyumbang terjadinya perubahan iklim.

(to be continued)

ORANGUTANKU SAYANG-ORANGUTANKU MALANG,

Tahukan anda bahwa Indonesia sering disebut sebagai negara megabiodiversitas? Megabiodiversitas artinya kekayaan keragaman hayati yang ruarr biasa. Alasannya? Ya karena Indonesia memiliki banyak keanekaragaan hayati (biodiversities). Baik berupa kekayaan tumbuh-tumbuhan (flora) maupun berupa kekayaan satwanya (fauna). Salah satu fauna terkenal yang kita miliki adalah orangutan nama latinnya Pongo pygmaeus, itu yang di Kalimantan. yang di Sumatera tergolong kedalam keluarga Pongo abelii. Sayangnya, satwa lucu tersebut saat ini sudah tergolong kedalam kelompok jenis satwa yang terancam punah (endengered species) yang harus dilindungi.

Padahal di dunia ini hanya dua negara di dunia yang memilikinya, yaitu Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, orangutan hidup secara alami di pulau Sumatera dan Kalimantan. Sayang, jumlah populasinya cenderung menurun. Menurut Pak Herry Djoko, Ketua Forina, pada tahun 2008, di Kalimantan, termasuk di Sabah dan Serawak, diperkirakan ada 54.567. Sementara di Sumatera populasinya sangat minim, hanya sekitar 6.800 saja.

Mengapa populasi orangutan menurun? Banyak sebabnya, antara lain karena diburu dan ditangkap sebagai sumber protein hewani. Terbayangkah anda betapa teganya menyantap mahluk yang lucu dan mirip orang itu? Mereka seringkali juga diperdagangkan sebagai hewan peliharaan bahkan diselundupkan ke luar negeri. Penyebab lain adalah karena rusaknya atau berkurangnya habitat orangutan. Berkurangnya habitat antara lain karena kebakaran atau konversi lahan hutan menjadi kota, pemukiman, atau menjadi kebun kelapa sawit atau hutan tanaman. Rusaknya atau menurunnya kualitas habitat dapat disebabkan karena perambahan, pencurian kayu dan kebakaran hutan dan lahan.

Masalahnya, kalau habitat rusak atau berkurang ya akibatnya dukung hutan untuk menghidupi orangutan jadi berkurang dan artinya semakin sedikit jumlah orangutan yang dapat hidup secara layak di habitatnya. Sumber makanan berkurang, mereka harus bersaing diantara mereka, bahkan seringkali bersaing juga dengan manusia. Kalau kecenderungan kerusakan habitat terus berlangsung seperti saat ini, maka bukan mustahil orangutan pun akan musnah dari muka bumi ini.


SO WHAT GITU LHO?
Kitalah yang bertanggung jawab mempertahankan keberadaan orangutan sebagai bagian dari upaya memelihara rantai kehidupan, sehingga semua unsur ekosistem bisa berdampingan secara harmonis. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk orangutan? Pertama yang mensejahterakan hidup mereka sehingga mereka bahagia lahir bathin. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Kita harus angkat topi karena banyak organisasi non pemerintah (ornop) yang bergerak dalam upaya menyelamatkan orangutan tersebut. Pada dasarnya upaya ini bertujuan mengembalikan orangutan ke habitat aslinya yaitu di hutan tropis dataran rendah, dalam keadaan sehat wal afiat. Dalam kaitan dengan upaya tersebut, kita bisa melihat banyaknya sekolah orangutan yang dibangun pihak ornop, seperti di Nyarumenteng dan Tanjung Puting di Kalimantan Tengah. Atau di Samboja, Kalimantan Timur.

Upaya pelepas liaran orangutan pernah dilakukan beberapa kali seperti di pegunungan Meratus. Namun demikian, fakta menunjukkan pada kita bahwa habitat hutan tropis yang masih baik dan sesuai untuk tempat tinggal orangutan tidak banyak lagi. Oleh karena itu pemerintah saat ini merespon dan juga mendorong masyarakat pencinta orangutan untuk bersama-sama mengembangkan kawasan restorasi untuk dijadikan habitat orangutan. Inisiatif Restorasi Ekosistem untuk habitat satwa langka ini adalah sesuatu yang baru yang perlu terus dikembangkan.

Biarlah orangutanku sayang tersebut memiliki kembali rumahnya, habitatnya yang telah lama mereka rindukan.

Minggu, 11 Juli 2010

KEMANA APRESIASI BUDAYA KITA?

Banyak budaya kita, khususnya budaya tradisional yang diam-diam menghilang dari persada nusantara karena tidak ada yang peduli, tidak ada yang mengapresiasi bahkan ada yang menilai ketinggalan zaman dan kurang modern. Lihatlah panggung Srimulat di Surabaya akhirnya bubar, walaupun personilnya secara individu terus berkarya. Demikian juga wayang orang Bharata di Jakarta atau wayang orang Sriwedari di Solo, walau masih ada tapi berada pada kondisi mati segan hidup tak mau. Wayang orang Ngesti Pandowo hanya tinggal kenangan. Banyak contoh budaya tradisional lainnya yang saat ini sulit ditemukan karena kurangnya peminat.

Kita semua tahu bahwa budaya tradisional adalah bahan baku terbentuknya budaya nasional Indonesia. Bisa dibayangkan kalau akar budaya itu hilang, akan hilang pula budaya Indonesia atau budaya kita beralih orientasinya pada budaya lain dari luar, terutama budaya barat yang nampak lebih moderen. Apalagi media barat lebih mendominasi dunia pertevean, kecenderungan tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Lihatlah media TV kita hampir semua acaranya adalah "franchise", kalau di AS ada American Idol di Indonesia kita juga punya Indonesian Idol, atau acara Take Me Out atau acara Price is Right a la Indonesia. Juga pengaruh gaya opera sabun dari Amerika Latin dan seterusnya.

Bandingkan bagaimana opera di Broadway, New York yang menawarkan ceritera lama maupun baru selalu dipadati penonton yang rela antri dan membayar harga tiket yang aduhai 100 sampai 150 US$dollar per sekali pertunjukkan. Bagaimana industri seni tersebut menghidupi para senimannya bahkan menghasilan efek ganda (multiplier effects) terhadap kegiatan ekonomi di New York atau bahkan di AS. Sementara penonton pertunjukkan wayang orang di Jakarta atau Solo bisa dihitung dengan jari, kosong melompomg bagai tak berjiwa. Untung senimannya tetap bertahan untuk berkesenian karena kecintaannya terhadap seni dan hobi. Tapi bagaimana mutu berkesenian dapat meningkat kalau semua hidup dalam ketidakberkecukupan, baik personilnya maupun organisasinya. Masalahnya adalah bagimana pemerintah harus ikut bertanggung jawab dan bagaimana pula peran swasta dan masyarakat?

Bagaimana mengembalikan gairah budaya tradisonal melalui peningkatan apresiasi bisa kita lakukan? Sebagai teladan, kita gunakan contoh wayang orang Sriwedari Solo. Menurut hemat saya upaya tersebut harus kita tangani dengan memperhatikan kedua sisi, baik supply maupun sisi permintaannya. Dari sisi supply khususnya produk yang diwarkan antara lain kemasan pertunjukkannya, mulai dari ceritera, penari dan segala asesorinya, panggung dengan tatalampu dan tata suara yang handal, gedung pertunjukkan yang memperhatikan masalah akustik, kursi yang nyaman, ruang berpendingin udara serta organisasi yang solid. Pertunjukkan yang lama tentu membosankan apalagi buat generasi muda, oleh karena itu perlu dikemas ceritera ringkas, misalnya 2 jam, tanpa menghilangkan makna dan keindahan budayanya. Peranan pemerintah dapat dilakukan melalui program Tahun Kunjungan Wisata.

Dari sisi permintaan, perlu dikembangkan apresiasi masyarakat terhadap budaya tradisional. Ini harus dilakukan sejak dini, misalnya menghidupkan kembali pelajaran menari dan karawitan untuk murid-murid SD dan SMP. Lokakarya budaya yang dirancang dengan target yang jelas dan berkelanjutan. Mengadakan kegiatan festival budaya seperti festval dan kompetisi dalang cilik yang dimasukkan sebagai event tahunan. Pemerintah perlu memperhatikan dan mendorong pelajaran budaya ini untuk dimasukkan kedalam kurikulum sekolah. Dunia pendidikan, khususnya SMK dan perguruan tinggi yang memfokuskan pada bidang budaya seperti Sekolah Koservatori Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) akan mampu berperan sebagai smber ide dan kreativitas budaya serta tempat menghasilkan SDM berkessenian dan seniman yang berkualitas yang bisa lebih meningkatkan apresiasi mayarakat terhadap budaya tradisonal dan budaya nasional.

Peranan media cetak elektronik sangatlah penting dalam mebangun kedua sisi tersebut. Perlu ada konsern TV Swasta ikut menggalakkan budaya tradisional yang dikemas menarik sehingga bisa bersaing dengan paket tayangan yang kebanyakan mengadopsi dari negara-negara barat atau berupa waralaba seperti Indonesia Idol, AFI, Mamamia, Take Me Out, Family 100, the Price is Right dsn seterusnya. Dalam hal ini, nampaknya perlu lebih banyak filantropis yang mau mendanani upaya-upaya tersebut. Dari uraian diatas jelas upaya ini memerlukan dukungan semua pihak, pemerintah, swasta dan masyarakat, karena kegiatan tersebut merupakan "gawe bareng" bangsa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Sabtu, 10 Juli 2010

KISAH SEORANG PENDOA

Ketika kumohon pada Allah kekuatan
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat

Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan

Ketika kumohon pada Allah kesejahteraan
Allah memberiku akal untuk berpikir

Ketika kumohon pada Allah keberanian
Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi

Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong

Ketika kumohon pada Allah bantuan
Allah memberiku kesempatan

Aku tak pernah menerima apa yang kupinta
Tapi aku menerima segala yang kubutuhkan

.... do'a ku terjawab sudah


(Dari sahabatku kang Dadang Mishal)

BELAJAR SEJARAH: HARUS BAGAIMANA?

Siapa yang tak pernah belajar sejarah? Nampaknya semua pasti pernah mengikuti pelajaran sejarah, apalagi bagi yang pernah mengenyam bangku sekolah. Ada pula orang yang belajar sendiri (otodidak)karena memang menyukai. Tapi yang ingin saya ulas adalah pelajaran sejarah di sekolah formal, seperti di SD dan sekolah menengah seperti SLTP dan SLTA.

Sejarah itu penting,semua orang pasti setuju. Bahkan mendiang presiden RI pertama, Bung Karno, memberi judul salah satu pidatonya:"Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan "Jas Merah". Ada juga tokoh yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Kalau memang penting, mengapa pelajaran sejarah tidak menjadi pelajaran yang disukai dan tidak menarik, bahkan kalau tidak tertidur murid lebih suka meninggalkan kelas alias bolos saat jam pelajaran sejarah?

Pelajaran sejarah seringkali terasa kering, karena fokusnya adalah menghafal nama, peristiwa dan tahun kejadiannya. Satu-satunya fakta sejarah yang masih saya ingat adalah Perang Diponegoro yang terjadi dari tahun 1825 sampai 1830. Selain tahun, tdak ada lagi yang saya ingat. Padahal sejarah perlawanan pahlawan kita ini yang berlangsung sampai lima tahun, tentunya memiliki berbagai dimensi yang kaya dan menarik seandainya diungkap dan dibahas di kelas.

Mengapa pelajaran sejarah seringkali (kebo) kering dan 'boring'? Berikut beberapa permasalahannya: Pertama, menurut sejarawan Taufik Abdullah pelajaran sejarah terlalu chronicle, artinya murid disuruh menghapal peristiwa. Kedua, sejarah yang diajarkan nampak seperti ceritera yang berdiri sendiri seakan tidak terkait dengan peristiwa lainnya (Antariksa, penggagas proyek sejarah komunitas di Jogyakarta). Ketiga, menurut Hamid Hasan, guru besar di UPI Bandung, pendidikan sejarah di sekolah nyaris tanpa nilai. Misalnya tidak ada ceritera mengapa Soekarno yang insinyur lulusan sekolah teknik tinggi tidak mencari saja pekerjaan dengan gaji tinggi dan hidup nyaman, tetapi lebih memilih masuk ke dalam organisasi pergerakan serta mengalami beberapa kali ditangkap dan diasingkan. Ini tidak dijelaskan, tidak diungkap bahkan tidak dibahas di ruang kelas.

Menurut hemat saya ada beberapa hal yang perlu dibenahi antara lain, (1). materi pelajaran sendiri perlu disempurnakan dan diperkaya, (2). pengajar juga harus memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu membangun interes anak didik, (3). anak didik perlu dibiasakan untuk comprehension yaitu membaca, memahami dan menceriterakan kembali dengan versinya. (4). Last but not least, mengunjungi musium dan atau lokasi terjadinya peristiwa akan lebih meningkatkan apresiasi murid terhadap sejarah yang pada hakekatnya merupakan keterpautan dimensi waktu dulu, sekarang dan yang akan datang.(Boen)

Sumber:
1. Pengalaman bersekolah
2. Sejarah, Guru Kehidupan. Harian Kompas, Jumat 9 Juli 2010, hal 33.

Jumat, 09 Juli 2010

ANAK EMAS

Saya yakin semua paham maksudnya apa itu anak emas, yaitu anak yang paling disayang dan diperhatikan sama guru. Saking disayangnya seringkali menimbulkan kecemburuan dan kejengkelan murid-murid lainnya. Malah kadang-kadang sering menjadi bulan-bulanan anak lain, apalagi kalau anak emas diperlakukan sangat istimewa. Ketika sekolah dulu sayapun tidak terlalu menyukai ide anak emas tersebut, karena pada pikiran saya seharusnya guru memperlakukan murid-muridnya sama dan tidak pilih kasih. Sayapun berpikir, kenapa sih guru koq diskriminatif? Bukankan semua murid harus jadi tanggung jawabnya? Semua harus mendapat perhatian yang sama.

Ada ceritera seorang guru ideal, beliau sudah almarhum ketika itu mengajar dan menjadi kepala sekolah di Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) di Komplek Kebon Sereh, Gunung Batu Bogor. Beliau adalah pak Djioen. Yang istimewa dari beliau adalah mengenal semua murid-muridnya dengan baik, kenal nama, kenal angkatannya dan kenal perilakunya. Konon, menurut teman-teman lulusan SKMA, kalau beliau ke daerah ketemu mantan murid-muridnya beliau akan menyapa mantan murid-muridnya dengan memanggil namanya dan angkatannya. Guru pada umumnya hanya mengenal dan memiliki ingata yang kuat terhadap dua kategori mrid, yaitu murid yang pintar dan mrid yang nakal. Murid yang tidak masuk dalam kedua kalompok itu umumnya tidak diingat, karena tidak terlalu istimewa untuk ditaruh difile otak kecil yang kapasitasnya relatif terbatas juga.

Nah, ternyata pandangan saya berubah ketika pada saat mahasiswa sayapun ikut mengajar di SMA Leuwiliang dan Madrasah Aliyah Darut Tafsir, Cinangneng Bogor(kalau tidak salah ingat) atau menjadi asisten dosen di Instutut Pertanian Bogor (IPB). Juga ketika setelah lulus S3, ikut mengajar di IPB, Universitas Nusa Bangsa (UNB) selain menjadi dosen pembimbing S1, S2 dan S3. Ingat betul ketika mengajar dan menguji, ada rasa bangga dan bahagia ketika murid bisa menguasai apa yang diberikan dan juga timbul rasa kesal, kadang-kadang-kadang jengkel kalau ada murid yang sama sekali tidak memahami konten pelajaran. Jangan-jangan gurunya yang bodoh karena kagak bisa atau gak menguasai cara mengajar. Maklum karena tidak mengikuti pendidikan khusus mengenai teknik mengajar.

Yang jelas pengalaman mengajar tersebut telah membuka mata dan membuka hati dan kemudian memahami kenapa seorang guru kemudian menganak emaskan muridnya. Karena ia bisa dijadikan ukuran keberhasilan, ketika seorang guru bersyukur bahwa ada juga anak yang bisa saya buat pandai. Kalau semua murid pandai dan baik, selalu saja ada yang paling menonjol. Oleh karena itu anak emas menjadi fenomena yang wajar saja sepanjang ukurannya adalah kepandaian mengunyah substansi pelajaran. Salam (Boen)

GROSS NATIONAL HAPPINES: BHUTAN

Bulan Juni 2010, tanggal 9-11 saya bersama beberapa rekan berkesempatan mengikuti pertemuan ke 23 Asia Pasific Forestry Commission (APFC) di kota Thimpu yang tak lain adalah ibukota negara Bhutan. Pertemuan ini diselenggarakan oleh Food and Agricultural Organizatuion (FAO) dan pemerintah Bhutan yang bertindak sebagai tuan rumah. Pertemuan ini diselenggarakan secara periodik dengan tujuan untuk membahas perkembangan serta kecenderungan pembangunan kehutanan di wilayah Asia dan Pasifik. sehari sebelumnya yaitu tanggal 8 Juni 2010 atas inisiatif pemerintah Bhutan dan FAO diselenggarakan seminar mengenai Gross National Happines (GNH) atau secara bebas bisa diterjemahkan sebagai Kebahagiaan Nasional Kotor. Sayangnya teman-teman dan saya tidak nisa mengikuti seminar tersebut, karena baru datang di Thimpu dan masih berusaha beraklimatisasi dengan kondisi Thumpu yang tereletak pada ketinggian 2.300 m dpl.

Berikut catatan yang sifatnya sementara karena hanya didasarkan atas obrolan informal dengan pak Chip Barber, dari AS yang mengikuti seminar GHN, pemahaman saya mengenai istilah GHN, pengetahuan dan kesan tentang Thimpu dan sekitarnya, serta obrolan sepanjang dengan pengemudi bus mini yang membawa kami dari Thimpu ke bandara di Paro. Pengemudi yang ternyata adalah manager suatu perusahaan jasa ekowisata cukup memberikan pemahaman awak mengenai Bhutan dan masyarakatnya.

GHN merupakan akternatif dari konsep penghitungan kekayaan negara yang lebih kita kenal yaitu Gross National Products (GNP). Angka GNP merupakan indikator kemajuan suatu negara atau bangsa. Nakin besar GNP yang dihitung dengan ukuran uang, makin maju negaranya dan makin kaya juga artinya. Kendati demikian, GNP tidak dapat mencerminkan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Bisa saja GNP yang tinggi tersebut dibangun oleh sebagian kecil kelompok masyarakat yang kaya dan super kaya. Artinya sekelompok kecil masyarakat menguasai sebagian besar kue GNP, artinya juga walaupun GNP nya tinggi ternyata masih banayak masyarakatnya yang masih miskin. GNP lebih didasarkan pada ukuran-ukuran yang kuantitatif dan menghindarkan ukuran yang kualitatif karena dianggap sulit dan subyektif. GNP bukan ukuran perasaan, seperti rasa bahagia, rasa berkecukupan, rasa mensyukuri dan seterusnya.

Dalam konteks ini ceramah ustadz Yusuf Mansur di salah satu stasiun TV sepertinya bisa menjelaskan apa yang dimaksud kebahagiaan (happiness) dalam terminologi GHN tersebut. Beliau mengatakan saat ini banyak orang kehilangan rasa bangga diri, ketika orang atau kelompok masyarakat atau negara menyatakan diri sebagai miskin. orang miskin, kelompok miskin dan negara miskin. orang tiba-tiba rela disebut mikin karena ada bantuan dari pemerintah untuk orang miskin misalnya bantuan langsung tunai (BLT) dan beras miskin (raskin) dan seterusnya. Padahal Islam yang mengajarkan kesederhanaan tidak mengajarkan pemeluknya mengeluh, tapi lebih mensyukuri pemberian Tuhan sekecil apapun. Bahkan orang miskin menurut ukuran barat, bukan mustahil dia sangat ringan tangan membantu saudaranya atau tetangganya yang kekurangan dan juga mengeluarkan sedekah sekecil apapun sedekahnya karena keihlasan itu lebih penting. Itu adalah nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ukuran GNP samasekali tidak menyentuh hal tersebut. Itulah kemudian mengapa alternatif ukuran yang disebut GHN dimunculkan.

Nah sekarang bagaimana Bhutan yang sudah menerapkan GHN tersebut. Thimpu sebagai ibukota nampaknya bisa menunjukkan kebahagiaan 'happiness' tersebut. Kota ini tidak besar untuk ukuran suatu ibukota negara, tapi harap dimaklumi bahwa negara Bhutan berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa. Bangunan di kota umumnya bertingkat dua dan tiga dengan arsitektur sederhana dan unik. Kusen jendelanya berukiran khas. Kotanya bersih dan tenang, jalan-jalan cukup rapih dan tidak ada kemacetan seperti di kota-kota besar di negara lain. Karena itu juga, menurut temen Bhutan, jalan-jalan di Thimpu tidak memerlukan "traffic light". Tingkat kriminalitas nihil, itulah juga mengapa berjalan malam di Thimpu terasa sangat nyaman dan aman. Tidak ada kekawatiran sama sekali akan didatangi oleh orang usil. Tidak dijunpai peminta-minta dijalanan di Thimpu, berbeda dengan kota-kota di Indonesia.

Lingkungan yang beriklim moonson nampaknya cukup terjaga. Sebagai contoh, masyarakat dilarang mengambil ikan di sungai yang membelah kota Thimpu yang berair jernih, padahal banyak ikannya seperti bass dan trout. Kebutuhan ikan didatangkan dari India. Daerahnya bergunung-gunung dengan solum tanah yang tipis, praktis berbatu, pepohonan yang umumnya jenis konifer tumbuh menyebar dalam kelompok. Disekitar Thimpu hutannya nampak lebih tebal, dalam hamparan yang lebih luas dan nampak subur.

Penduduknya ramah dan senantia memakai pakaian tradisional Bhutan yang mirip jubah dengan kaos kaki tinggi untuk kaum prianya. Anak sekolah mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi memakai pakaian tradisonal sebagai seragamnya. Menurut keterangan memang ada kewajiban bagi siapapun untuk menggunakan pakaian tradisonal manakala keluar rumah, terlebih lagi kalau pergi ke kantor atau ke tempat-tempat resmi. Semua orang sepertinya "happy" melakukan itu semua. Ketika dalam perjalanan balik ke bandara Paro, 2.5 jam dari Thimpu, ada hal yang menarik yaitu anak-anak SD dan SMP yang berelompok dipinggir jalan menunggu Bus Sekolah artinya pepemerintah menyediaan kebutuhan transport buat anak-anak sekolah. Selain itu juga di kanan jalan nampaknya pemrintah sedang membangun banyak apartemen untuk rakyatnya.

Ada ceritera menarik dari pengemudi yang mengantar kita, bahwa raja dan putera mahkota sangat rajin turun ke desa. seringkali mereka tidur di rumah penduduk, memasak dam mekan bersama sambil mencari masukan dan keluhan masayarakat. Konon kabarnya respek yang tinggi terhadap rajanya juga dikarenakan sikap raja yang sangat merakyat, bahkan raja Bhutan adalah inisiator demokratisasi Bhutan. Negara ini walaupun tidak kaya menurut ukuran GNP, tapi pancaran kebahagiaan dari wajah-wajah masyarakat yang berpapasan cukup menunjukkan inilah ukuran kesejahteraan yang lebih tepat di Bhutan, yaitu GHN.

(Boen)

Minggu, 04 Juli 2010

Gross National Happines (Naskah Awal)

Bulan juni 2010 saya mengikuti Pertemuan Asia Pacific Forestry Commission (APFC) yang ke 23 di Bhutan, satu negara indah dilereng pegunungan Himalaya, bertetangga dengan Nepal. Pertemuan yang diselenggarakan oleh FAO bekerja sama dengan Pemerintah Bhutan sebagai tuan rumah pada dasarnya adalah pertemuan periodik yang membahas perkembangan kehutanan di kawasan Asia dan Pasifik. Penyelenggara pertemuan berinisiatif melaksanakan pra seminar sebelum pertemuan resmi APFC dimulai dimana negara tuan rumah menyampaikan konsep Gross National Happines (GNH) yang berbeda dengan Gross National Products (GNP) yang biasa kita kenal. Saya sendiri tidak mengikuti seminar tersebut, karena baru saja tiba di bandara Paro yang berjarak 2.5 jam perjalanan dari ibukota Bhutan, Thimpu.

Catatan ini hanya didasarkan pada obrolan santai dengan pak Chip Barber, rimbawan dari AS, serta penalaran saya dari istilah GNH yang dilontarkan, kondisi negara Butan sekilas yang saya rasakan dan obrolan dengan temen2 Bhutan, khususnya temen Bhutan yang menyupiri kami ke bandara Paro on the way home, yang ternyata manajer perusahaan wisata. Catatan ini akan saya perbaiki manakala ada bahan yang lebih baik yang saya miliki.

Pada dasarnya GNH adala indikator kondisi sosial ekonomi sebagai akternatif dari GNP yang saat ini banyak digunakan sebagai indikator tingkat kemajuan suatu negara dan bangsa. Indikator GNP menunjukkan tingkat kekayaan suatu negara, karena mengindikasikan berapa pendapatan kumulatif nasional suatu negara. Makin besar GNP makin kaya atau maju negara tersebut. Sementara GNP ini tidak membicarakan distribusi kekayaan tersebut diantara kelompok mayarakat tetapi hanya total kekayaan, artinya netral terhadapa pertanyaan siapa kemolpok miskin dan kaya. Selain itu juga sangat berdasarkan pafa fakta kuantitatif tetapi kurang pada fakta kualitatif seperti "perasaan", yaitu merasa kaya atau merasa miskin, merasa kekurangan dan atau merasa berkecukupan. Nah, GNH lebih meng-"address" hal-hal yang kualitatif, khas nilai-nilai atau cara pandang orang Timur daripada cara pandang orang Barat.

Barangkali pernyataan ustadz Yusuf Mansur dalam suatu ceramah pagi di TPI yang mengatakan adalah suatu "kehinaan" mengakui sebagai orang miskin relevan dalam memahami GNH. Sekarang ini malahan banyak yang berlomba-lomba untuk mengakui sebagai orang miskin ketika pemerintah memberi bantuan pada kelompok ini. Misalnya beras miskin (raskin) dan seterusnya. Ini berkaitan dengan istilah dan definisi miskin, misalnya orang yang buat besok tidak memiliki apa2 untuk dimakan mungkin termasuk orang miskin. Atau orang yang memiliki cukup pakaian 2 atau 3 pasang mungkin belum termasuk miskin relatif terhadap yang hanya punya sepasang pakaian. Secara sederhana mungkin bisa dikatakan bahwa kepemilikan kita sebenarnya tidak perlu berlebihan asal cukup untuk hidup yang bahagia sesuai dengan kriteria yang sederhana tersebut. Gaya hidup Timur pada umumnya didasarkan pada nilai kesederhanaan, berbeda dengan nilai barat yang berkecenderungan "hedonisme". Nah, barangkali masalahnya, pertama orang cebderung suka saling melihat, dimana rumput tetangga selalu nampak lebih hijau. Kedua, orang lebih suka melihat ke atas dan jarang membandingkan ke bawah, akibatnya selalu merasa kekurangan.

Bhutan adalah negara kecil penduduknya tidak lebih atau bahkan kurang dari sejuta orang. tingkat kaya dan miskin tidak menyolok bahkan nampaknya merata kekayaan antar penduduknya. Kota Thimpu nampak sederhana dengan rumah atau gedung bertingkat dua dan tiga dengan kusen jendela yang khas, bersih dan nyaman dengan masyarakat yang mayoritasnya beragama Budha, sangat ramah, komunikatif dan umumnya mampu berbahasa Inggris. Semua berpakaian tradisional manakala keluar rumah dari anak kecil sampai orang dewasa. Kendaraan rata-rata bagus tapi tidak pernah menjumpai mobil mewah yang seringkali nampak di jalan-jalan di jakarta kita. Tingkat kriminal nihil dan aman untuk ebjalan-jalan walau tengah malam. Ketika dalam perjalanan pulang di pagi hari nampak banyak terlihat kelompok anak sekolah setingkat SD dan SMP berseragam pakaian nasional berdiri menunggu jemputan, bus sekolah, yang disediakan pemerintah. Konon menurut ceritera supir yang mengantar kami, raja dan putera mahkota kerajaan Bhutan sangat peduli terhadap masyarakatnya, sering berkeliling ke seantero negeri, berdiskusi dengan masyarakatnya mengenai permalahan yang dihadapi, bahkan seringkali tidur dirumah penduduk, memasak dan makan bersama rakyatnya. Barangkali dari situlah kita dapat memaknai dan memahami mengapa Bhutan berisnisiasi bahkan sudah mengimplementasikan GNH dalam kehidupannya sehari-hari.

Wassalam.