Seringkali kita bertanya mengapa sih kita harus pergi berobat keluar negeri? Jawabannya bisa macam-macam. Ada yang bilang jatuhnya lebih murah daripada biaya berobat di dalam negeri, pelayanannya lebih baik selama maupun pasca penyembuhan, tidak diganggu oleh handai tolan dan relasi yang ingin menjenguk,fasilitasnya lebih lengkap, penerimaannya ramah, dan sambil sekalian berkunjung ke luar negeri. Bisnis kesehatan adalah bisnis jasa, kualitas pelayan sewaktu berobat dan setelah berobat menjadi penting. Pelayanan mulai dari meja resepsion, pelayanan kesehatannya itu sendiri dan loket pembayaran menjadi penting. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman pribadi pada hari selasa dan rabu 4 dan 5 Oktober 2011, di sebuah rumah sakit pemerintah ternama di ibukota.
Resepsionis sebagai pintu depan
Ketika saya merasa perlu untuk mengecek kesehatan yang tiba-tiba di bagian dada sebelah kiri terasa nyeri. Dan saya langsung kontak teman saya yang pernah mengalami sakit jantung, dan akhirnya dia menyarankan saya untuk menghubungi dokter spesialis yang kebetulan teman baik teman saya itu. Dengan senang hati teman saya mengatur dan menghubungi dokter yang bersangkutan. Dan saya diminta datang oleh teman saya setelah mendapat lampu hijau dari dokter, pada hari Selasa sekitar jam 2 atau jam 3, karena dokter tersebut memang praktek sore pada hari itu.
Sesuai dengan informasi tersebut, saya datang jam 14 dan mendaftar di resepsionis dan diterima dengan ramah. Saya beritahu bahwa saya sudah janji dengan dokter tersebut, lalu saya diminta mengisi formulir pendaftaran. Resepsionis mengatakan bahwa dokter sudah kelebihan pasien dan tidak mau menerima pasien baru,karena sudah ada 4 atau lebih pasien yang diminta datang hari lain. Saya jelaskan soal janji tersebut, tetapi petugas resepsionis tetap mengatakan tidak bisa. Lalu saya minta tolong sekali lagi untuk mengecek dokternya. Saya dipersilahkan menunggu dan akhirnya saya dipanggil, dengan ramahnya saya diberitahu bahwa saya adalah pasien ke empat. Lalu sya diminta memasukki ruang EKG dan diperiksa. Setelah itu saya kembali diminta menunggu giliran untuk konsultasi dengan dokter.
Saya diminta ke ruang dokter, ternyata saya dialihkan ke dokter lain tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Lalu saya pun mengajukan protes sambil mengingatkan kembali bahwa saya sudah buat janji dan tentunya tidak fair kalau dialihkan begitu saja ke dokter lain tanpa persetujuan saya. Tentu saja saya tidak mau ngotot, mengingat tensi saya sedang tinggi. Tetapi saya sekali lagi minta mereka untuk mengecek ke dokter yg saya maksud. Kebetulan saya belum pernah bertemu sebelumnya, jadi belum mengenai beliau. Saya kemudian menunggu kembali, sambil menghubungi teman saya kenalan dokter. Dan saya pun mengirim sms kepada dokter tersebut, bahwa saya sudah menunggu diluar.
Rupanya dokter keluar dari ruang kerjanya dan meminta suster untuk memanggil saya. Mendengar nama saya dipanggil, sayapun mendatangi suster tersebut, sementara petugas resepsion pun memberi tahu suster bahwa saya sudah di ruang tunggu dalam. Akhirnya saya sempat juga berkonsultasi. Dan diminta datang kembali keesokan harinya untuk melakukan tread mill, berhubung tensi saya terlalu tinggi pada sore itu.
Sesuai dengan saran dokter saya pun datang pada hari Rabu dengan pengantar dari dokter untuk melakukan treadmill.Saya langsung ke resepsionis dan menyerahkan surat pengantar. Lagi-lagi resepsionis menyarankan saya untuk kembali esoknya, karena hari Rabu memang dokter tidak berpraktek di rumah sakit tersebut. Sudah saya jelaskan bahwa saya diminta dokter datang, untuk melakukan tread mill dan setelah selesai diminta menelpon dokter untuk bertemu disuatu tempat (tentu rumah sakit lain) dengan membawa hasil thread mill untuk bisa menentukan langkah tindak selanjutnya. Kembali petugas resepsion "keukeuh' agar saya datang lagi besok saja, kendatipun sudah saya jelaskan. Karena lagi-lagi saya tidak mau bersitegang, takut tensinya naik lagi, akhirnya saya minta petugas untuk menulis di surat pengantar tersebut, bahwa "pasien sudah datang tapi disarankan untuk datang pada ke esokan harinya, hari Kamis". Lalu saya meninggalkan rumah sakit tersebut.
Kira-kira 10-15 menit kemudian saya ditelpon oleh petugas resepsion bahwa saya boleh treadmill karena katanya, ternyata saya sudah punya 'janji khusus' dengan dokter, sambil berulang kali meminta maaf. Karena sudah jauh dan makan waktu kalau kembali, sementara saya masih ada pekerjaan di kantor, lagi pula suasana hatipun sudah tidak lagi nyaman, maka saya putuskan untuk datang besok saja. Saya heran bahwa mereka tidak pernah berpikir berapa besar usaha, waktu, biaya yang dikeluarkan oleh pasien untuk khusus datang dari luar kota, demi untuk memenuhi janji.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil?
Sepertinya kita belum terlalu siap untuk menggerakan jasa pelayanan (services) secara profesional. Ada "You and me feeling". Ada kesan pasien yang lebih membutuhkan bukan ruma sakit. Melayani barangkali masih dirasakan sebagai bukan pekerjaan yang bergengsi. Dan sikap-sikap yang kurang profesional ini mungkin saja membahayakan pasien, ketika pasien belum sempat tertangani dokter, akibat urusan administrasi yang bertele-tele di pintu depan. Sebetulnya tidak sulit mengecek pada dokter atau suster yang melayani dokter itu, butuh sedikit waktu saja, sehingga janji pasien dengan dokter tidak dipotong oleh petugas resepsion yang seharusnya lincah,ligat dan helpful.
Jangan-jangan hal kecil seperti ini yang juga membuat orang tidak nyaman berobat di sini, dan akhirnya berpaling untuk berobat ke luar negeri. Sayang sekali ya.
Perbaikan kualitas sumber manusia digaris depan ini sangat perlu diperhatikan oleh para pengelola rumah sakit sebagai bagian penting dari bisnis jasa pelayanan kesehatan, kalau tidak ingin ditinggalkan oleh pasien dan pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Rabu, 05 Oktober 2011
Sabtu, 10 September 2011
Jawaban untuk Indonesia yang Lebih Baik: SDM
Semua orang tahu bahwa Indonesia dikaruniai bermacam kekayaan sumber alam yang luar biasa, beraneka tambang, hutan dengan keragaman hayatinya, lautan luas dengan kekayaan laut dan marinanya. Tapi orangpun tahu pengelolaan sumberdaya alamnya, sampai saat ini, belum mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konsitusi kita.Potensi untuk menjadi negara besar dan kaya belum termanfaatkan secara optimal, bahkan saat ini kita masih banyak tergantung pada utang untuk menggerakkan roda pembangunan ekonominya.
Pendapatan kotor nasional kita (GNP) pada tahun 2010 masih sekitar 3.000 US$ per kepala per tahun sementara tetangga kita Malaysia sudah mencapai 10.000 US$ dan bahkan Singapura mencapai 23.000 US$. Kalau kita lihat, ternyata Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumberdaya alam justru menjadi salah satu negara kaya. Singapura berkembang melalui bisnis jasa, jasa perdagangan sebagai pelabuhan transit, hub udara, jasa keuangan dan produk jasa lainnya. Dan bisnis jasa ini jelas memerlukan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang handal. Dan disinilah sesungguhnya kekuatan Singapura. Bisa kita bayangkan andaikan kita bisa memadukan dua faktor yaitu kekayaan sumberdaya alam dengan kemampuan SDM, carut marut yang kita hadapi akan dapat kita atasi dan cita-cita untuk menjadi negara yang sejahtera bukan merupakan suatu ilusi.
PROSES KONTINYU VS POTONG GENERASI
Kita mengalami berbagai periode mulai jaman yang kita sebut orde lama, kemudian menjadi orde baru yang dimulai tahun 1967an, lalu muncul orde reformasi ditahun 1990an sampai saat ini. Harus kita akui banyak perbaikan dan capaian positif yang telah dicapai seperti meningkatnya GNP, stabilitas ekonomi, iklim politik yang lebih demokratis, fasilitas umum, kesehatan dan pendidikan yang berkembang. Namun demikian kitapun masih menengarai besarnya disparitas antar kelompok dan wilayah, tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, akses terhadapat fasilitas kesehatan dan pendidikan yang belum merata, kepemerintahan yang belum baik sebagaimana ditunjukkan oleh masih tingginya penyelewengan keuangan negara, kinerja yag belum optimal, disiplin dan etos kerja yang masih perlu ditingkatkan dan masalah--masalah lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah kita.
Banyak yang berpikir untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan mengganti secara total pengelola negara atau pemerintah dengan memilih generasi baru yang lebih fresh dan belum terkontaminasi. Generasi tua sebaiknya secara legowo menyerahkan pada generasi yng lebih muda, idelaisme dan pandai. Ide ini yang sering disebut ide potong generasi, sehingga kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan dan atau dimiliki oleh generasi sebelumnya tidak perlu diulang dan kita bisa memulai dengan susuatu yang baru.
Pertanyaannya adalah mungkinkah itu dilakukan? dan Bagaimana melakukannya? Ide tersebut nampaknya bagus,tapi mari kita lebih realistis melihatnya dengan berguru pada pengalaman yang telah kita lewati. Hidup ini bukanlah sesuatu yang diskrit, tapi ia adalah sesuatu yang kontinyu, alih pengetahuan ketrampilan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berjalan melalui proses ajar dalam lingkungan atau milliu dimana kita hidup dan berinteraksi secara sosial. Ada dua aspek yang minimal harus kita lihat manakala kita bicara SDM. Pertama adalah karakter, kedua adalah ketrampilan atau kompetensi. Karakter pada dasarnya diturunkan secara genetik walaupun pada perjalannya akan pula dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Sementara itu ketrampilan dan kompetensi pada dasarnya dapat dipelajari.
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak tokoh pergerakan dan tokoh mahasiswa yang sangat ideal pada masanya, ternyata kemudian kehilangan orientasi dan terjebak mengikuti sistem yang sudah ada. Mereka tidak berhasil merubah sistem, bahkan larut dalam sistem yang pada awalnya mereka kritisi. Proses ini terjadi pada semua lapisan kekuasaan, eksekutif, legislatif dan judikatif. Bagaimana susahnya melakukan reformasi birokrasi sudah sama-sama kita ketahui. Remunerasi yang dicobakan pada beberapa kementerian nampaknya belum berhasil secara optimal, pelanggaranan aturan dan penyelewengan anggaran masih terjadi. Tentu bukan karena remunerasinya, tetapi lebih karena indikator keberhasilan lembaga dan individu yang tidak jelas beserta mekanisme pengawasan yang tidak berjalan dengan baik merupakan penyebab belum berjalannya reformasi tersebut sebagaimana kita inginkan. Berita di media masa media elektronika memberi gambaran mengenai kualitas governance yang belum baik.
Ketika parlemen diisi oleh generasi yang lebih muda dan lebih berkualitas dari segi latar belakang pendidikan di tahun 2009, ekspektasi bahwa lembaga ini bisa melakukan politik anggaranyang baik sangat tinggi. Bagaimanapun ketika hak anggaran tidak lagi ada pada tangan Bappenas, tapi ada di DPR melalui Hak Budgetnya. Maka harapan bahwa alokasi sumberdaya akan berjalan secara efisien ditumpahkan pada pundak lembaga ini. Kualitas Pemilu 2009 yang lebih baik daripada 2004 antara lain dicirikan dengan semakin matangnya partai mempersiapkan kader berkualitas untuk menjadi wakil rakyat pada lembaga ini. Faktanya, ternyata alokasi sumberdaya secara efisien tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak lebih baik dari pada periode sebelumnya. Kepentingan partai dan kelompok lebih kuat dari pada kepentingan rakyat yang notabene diwakilinya dan ini mempengaruhi efsiensi dan efektivitas alokasi anggaran pembangunan.
Dalam bidang judikatif fenomena yang sama juga ditemui.Kita bisa melihat sebagaimana banyak disampaikan melalui media betapa mafia peradilan, mafia kasus masih merajalela dan ini membuat penagakan hukum menjadi bias,belum berkeadilan dan belum optimal. Tanpa dukungan tim penegak hukum dengan kualitas yang baik dan bersih serta jumlah yang memadai, penegakan hukum sulit dilakukan secara benar dan berkeadilan dan tidak memihak. Kondisi ini, tanpa ketegasan pimpinan, akan menular dari generasi ke generasi tanpa bisa dicegah. Dari uraian ringkas ini dapat disimpulkan bahwa ada kontinuitas dalam proses transfer karakter dan ketrampilan dari satu ke lain generasi. Dengan demikian ide memotong generasi yang dilakukan dengan memangkas generasi yang lebih tua yang tidak bersih dan tidak baik melalui pemilihan atau penetapan generasi pimpinan baru, yangdiharapkan akan lebih baik dam lebih bersih, nampaknya sulit diterapkan ketika transfer perilaku juga terus terjadi secara kontinyu.
Kualitas SDM dan Critical Mass
Jelas bahwa perlu ada alternatif lain selain potong generasi yang nampaknya mustahil. Alternatifnya adalah membangun massa kritikal berkualitas dalam jumlah cukup untuk mempengaruhi warna pembangunan bangsa ke depan. Jumlah yang cukup ini akan menguntungkan karena antara lain: (1). Memudahkan proses implementasi pembangunan yang ideal, karena semua individu relatif memiliki visi, pengalaman dan budaya kerja yang sama; (2). Mampu mengurangi biaya transaksi karena komunikasi diantara mereka menjadi mudah;(3). Terjadi saling memperkuat (self empowering) dan saling mengawasi(self controlling) diantara mereka.
Pendekatan dalam membangun massa kritis perlu dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Pertama, mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswa ke luar negeri untuk program master dan doktor adalah melalui program. Kelompok ini diharapkan kelak akan menjadi pemimpin pada semua kelompok masyarakat baik pada sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat. Lulusan baru perguruan tinggi (fresh graduates) yang diprioritaskan untuk diberangkatkan karena alasan masih panjang usia produktifnya, masih segar dan masih relatif lebih mampu bersaing. Andaikan kita bisa mengirim setiap tahunnya minimal 10 ribu siswa ke luar negeri, dan bila program ini dijalankan selama 10 tahun berturut-turut, maka dalam 5 tahun pertama kita akan memiliki 10 ribu orang dengan sekurang-kurangnya bergelar master dan pada akhir program, yaitu pada tahun ke 15 kita memiliki 100 ribu master dan doktor. Jumlah ini dirasakan cukup memadai untuk kemudian menempati tempat-tempat yang strategis yaitu tempat atau posisi-posisi yang daya pengungkitnya cukup tinggi baik di pemerintahan maupun di swasta.
Pengiriman mahasiswa keluarga negeri sangat perlu untuk membangun nilai dan memperluas cakrawala pandang yang akan mampu melihat persoalan negeri secara lebih jernih dan obyektif. Dengan demikian diharapkan terobosan-terobosan untuk mengatasi kemacetan dan kemandegan pembangunan dapat dilakukan. Sebagaimana seseorang yang selalu di dalam hutan ia hanya akan mengenal pohon dan mungkin tidak pernah mengenal hutan. Tetapi kalau di keluar dari lingkungannya dan naik ke atas semisal naik helikopter ia akan mampu melihat hutan dan kondisi hutan nya dengan lebih baik. Studi banding yang sering dilakukan, mungkin hanya memperoleh pengalaman fisik tetapi belum tentu mengalami pencerahan nilai dan rasa. Dan inilah penting bahwa untuk pendidikan sampai tingkat doktoral, perlu minimal dalam salah satu tahapan nya apakah itu master atau doktor untuk keluar dari negaranya atau kampusnya.
Pengiriman mahasiswa keluar negeri, terutama pada umur-umur muda juga memiliki resiko yang besar, karena lebih memberi peluang bagi timbulnya masalah tidak ingin pulang pada sebagian mahasiswa, karena berbagai alasan. Mendapat pekerjaan yang lebih baik, kawin dengan penduduk setempat, tidak selesai sekolahnya dan memilih bekerja dan seterusnya. Taruhlah 50% persen tak ingin kembali artinya ada 50 ribu yang menetap di luar negeri, hal ini pun tidak sepenuhnya merugikan. Dalam jangka panjang, hal itu bisa menguntungkan, karena mereka akan menjadi pasar produk-produk Indonesia dan sekaligus sebagai agen promosi produk-produknya. Makanan, buah-buahan, tekstil, garmen, film, furniture, barang kerajinan serta produk-produk lain dari Indonesia. Lihatlah film-film bolywood bisa masuk pasaran di London, karena warga negara Inggris keturunan India jumlahnya cukup untuk membangun pasar dan menjadi pemicu permintaan film India di kalangan penduduk asli Inggris.
Walaupun mereka yang enggan pulang karena lebih memilih untuk beralih warga negara karena berbagai alasan, jiwa indonesia nya akan tetap ada dan terpelihara. Lihat lah masyarakat Jawa di Suriname kecintaan nya terhadap tanah jawa masih tetap tinggi sekali. Lihat juga keturunan India yang menduduki posisi tinggi di negara-negara maju baik di pemerintahan, perguruan tinggi, swasta dsb bersepakat untuk membangun fasilitas kesehatan di India dan dokter2 terkenal turunan India sepakat untuk bekerja di RS itu secara bergantian. Lihat berapa jumlah kiriman warga negara Filipina, India dst ke negara nya. Lihat juga remittance TKW ke Indonesia. Jumlahnya cukup besar dan bisa ikut menggerakkan ekonomi di negaranya masing-masing.
Nampaknya kita harus mulai mendefinisikan kembali arti nasionalisme. Lihatlah tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri bisa menjadi duta bangsa memperkenalkan Indonesia ke seluruh dunia. Apalagi bila mereka adalah tenaga kerja terlatih berkeahlian. (masih akan disambung)
Pendapatan kotor nasional kita (GNP) pada tahun 2010 masih sekitar 3.000 US$ per kepala per tahun sementara tetangga kita Malaysia sudah mencapai 10.000 US$ dan bahkan Singapura mencapai 23.000 US$. Kalau kita lihat, ternyata Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumberdaya alam justru menjadi salah satu negara kaya. Singapura berkembang melalui bisnis jasa, jasa perdagangan sebagai pelabuhan transit, hub udara, jasa keuangan dan produk jasa lainnya. Dan bisnis jasa ini jelas memerlukan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang handal. Dan disinilah sesungguhnya kekuatan Singapura. Bisa kita bayangkan andaikan kita bisa memadukan dua faktor yaitu kekayaan sumberdaya alam dengan kemampuan SDM, carut marut yang kita hadapi akan dapat kita atasi dan cita-cita untuk menjadi negara yang sejahtera bukan merupakan suatu ilusi.
PROSES KONTINYU VS POTONG GENERASI
Kita mengalami berbagai periode mulai jaman yang kita sebut orde lama, kemudian menjadi orde baru yang dimulai tahun 1967an, lalu muncul orde reformasi ditahun 1990an sampai saat ini. Harus kita akui banyak perbaikan dan capaian positif yang telah dicapai seperti meningkatnya GNP, stabilitas ekonomi, iklim politik yang lebih demokratis, fasilitas umum, kesehatan dan pendidikan yang berkembang. Namun demikian kitapun masih menengarai besarnya disparitas antar kelompok dan wilayah, tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, akses terhadapat fasilitas kesehatan dan pendidikan yang belum merata, kepemerintahan yang belum baik sebagaimana ditunjukkan oleh masih tingginya penyelewengan keuangan negara, kinerja yag belum optimal, disiplin dan etos kerja yang masih perlu ditingkatkan dan masalah--masalah lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah kita.
Banyak yang berpikir untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan mengganti secara total pengelola negara atau pemerintah dengan memilih generasi baru yang lebih fresh dan belum terkontaminasi. Generasi tua sebaiknya secara legowo menyerahkan pada generasi yng lebih muda, idelaisme dan pandai. Ide ini yang sering disebut ide potong generasi, sehingga kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan dan atau dimiliki oleh generasi sebelumnya tidak perlu diulang dan kita bisa memulai dengan susuatu yang baru.
Pertanyaannya adalah mungkinkah itu dilakukan? dan Bagaimana melakukannya? Ide tersebut nampaknya bagus,tapi mari kita lebih realistis melihatnya dengan berguru pada pengalaman yang telah kita lewati. Hidup ini bukanlah sesuatu yang diskrit, tapi ia adalah sesuatu yang kontinyu, alih pengetahuan ketrampilan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berjalan melalui proses ajar dalam lingkungan atau milliu dimana kita hidup dan berinteraksi secara sosial. Ada dua aspek yang minimal harus kita lihat manakala kita bicara SDM. Pertama adalah karakter, kedua adalah ketrampilan atau kompetensi. Karakter pada dasarnya diturunkan secara genetik walaupun pada perjalannya akan pula dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Sementara itu ketrampilan dan kompetensi pada dasarnya dapat dipelajari.
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak tokoh pergerakan dan tokoh mahasiswa yang sangat ideal pada masanya, ternyata kemudian kehilangan orientasi dan terjebak mengikuti sistem yang sudah ada. Mereka tidak berhasil merubah sistem, bahkan larut dalam sistem yang pada awalnya mereka kritisi. Proses ini terjadi pada semua lapisan kekuasaan, eksekutif, legislatif dan judikatif. Bagaimana susahnya melakukan reformasi birokrasi sudah sama-sama kita ketahui. Remunerasi yang dicobakan pada beberapa kementerian nampaknya belum berhasil secara optimal, pelanggaranan aturan dan penyelewengan anggaran masih terjadi. Tentu bukan karena remunerasinya, tetapi lebih karena indikator keberhasilan lembaga dan individu yang tidak jelas beserta mekanisme pengawasan yang tidak berjalan dengan baik merupakan penyebab belum berjalannya reformasi tersebut sebagaimana kita inginkan. Berita di media masa media elektronika memberi gambaran mengenai kualitas governance yang belum baik.
Ketika parlemen diisi oleh generasi yang lebih muda dan lebih berkualitas dari segi latar belakang pendidikan di tahun 2009, ekspektasi bahwa lembaga ini bisa melakukan politik anggaranyang baik sangat tinggi. Bagaimanapun ketika hak anggaran tidak lagi ada pada tangan Bappenas, tapi ada di DPR melalui Hak Budgetnya. Maka harapan bahwa alokasi sumberdaya akan berjalan secara efisien ditumpahkan pada pundak lembaga ini. Kualitas Pemilu 2009 yang lebih baik daripada 2004 antara lain dicirikan dengan semakin matangnya partai mempersiapkan kader berkualitas untuk menjadi wakil rakyat pada lembaga ini. Faktanya, ternyata alokasi sumberdaya secara efisien tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak lebih baik dari pada periode sebelumnya. Kepentingan partai dan kelompok lebih kuat dari pada kepentingan rakyat yang notabene diwakilinya dan ini mempengaruhi efsiensi dan efektivitas alokasi anggaran pembangunan.
Dalam bidang judikatif fenomena yang sama juga ditemui.Kita bisa melihat sebagaimana banyak disampaikan melalui media betapa mafia peradilan, mafia kasus masih merajalela dan ini membuat penagakan hukum menjadi bias,belum berkeadilan dan belum optimal. Tanpa dukungan tim penegak hukum dengan kualitas yang baik dan bersih serta jumlah yang memadai, penegakan hukum sulit dilakukan secara benar dan berkeadilan dan tidak memihak. Kondisi ini, tanpa ketegasan pimpinan, akan menular dari generasi ke generasi tanpa bisa dicegah. Dari uraian ringkas ini dapat disimpulkan bahwa ada kontinuitas dalam proses transfer karakter dan ketrampilan dari satu ke lain generasi. Dengan demikian ide memotong generasi yang dilakukan dengan memangkas generasi yang lebih tua yang tidak bersih dan tidak baik melalui pemilihan atau penetapan generasi pimpinan baru, yangdiharapkan akan lebih baik dam lebih bersih, nampaknya sulit diterapkan ketika transfer perilaku juga terus terjadi secara kontinyu.
Kualitas SDM dan Critical Mass
Jelas bahwa perlu ada alternatif lain selain potong generasi yang nampaknya mustahil. Alternatifnya adalah membangun massa kritikal berkualitas dalam jumlah cukup untuk mempengaruhi warna pembangunan bangsa ke depan. Jumlah yang cukup ini akan menguntungkan karena antara lain: (1). Memudahkan proses implementasi pembangunan yang ideal, karena semua individu relatif memiliki visi, pengalaman dan budaya kerja yang sama; (2). Mampu mengurangi biaya transaksi karena komunikasi diantara mereka menjadi mudah;(3). Terjadi saling memperkuat (self empowering) dan saling mengawasi(self controlling) diantara mereka.
Pendekatan dalam membangun massa kritis perlu dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Pertama, mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswa ke luar negeri untuk program master dan doktor adalah melalui program. Kelompok ini diharapkan kelak akan menjadi pemimpin pada semua kelompok masyarakat baik pada sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat. Lulusan baru perguruan tinggi (fresh graduates) yang diprioritaskan untuk diberangkatkan karena alasan masih panjang usia produktifnya, masih segar dan masih relatif lebih mampu bersaing. Andaikan kita bisa mengirim setiap tahunnya minimal 10 ribu siswa ke luar negeri, dan bila program ini dijalankan selama 10 tahun berturut-turut, maka dalam 5 tahun pertama kita akan memiliki 10 ribu orang dengan sekurang-kurangnya bergelar master dan pada akhir program, yaitu pada tahun ke 15 kita memiliki 100 ribu master dan doktor. Jumlah ini dirasakan cukup memadai untuk kemudian menempati tempat-tempat yang strategis yaitu tempat atau posisi-posisi yang daya pengungkitnya cukup tinggi baik di pemerintahan maupun di swasta.
Pengiriman mahasiswa keluarga negeri sangat perlu untuk membangun nilai dan memperluas cakrawala pandang yang akan mampu melihat persoalan negeri secara lebih jernih dan obyektif. Dengan demikian diharapkan terobosan-terobosan untuk mengatasi kemacetan dan kemandegan pembangunan dapat dilakukan. Sebagaimana seseorang yang selalu di dalam hutan ia hanya akan mengenal pohon dan mungkin tidak pernah mengenal hutan. Tetapi kalau di keluar dari lingkungannya dan naik ke atas semisal naik helikopter ia akan mampu melihat hutan dan kondisi hutan nya dengan lebih baik. Studi banding yang sering dilakukan, mungkin hanya memperoleh pengalaman fisik tetapi belum tentu mengalami pencerahan nilai dan rasa. Dan inilah penting bahwa untuk pendidikan sampai tingkat doktoral, perlu minimal dalam salah satu tahapan nya apakah itu master atau doktor untuk keluar dari negaranya atau kampusnya.
Pengiriman mahasiswa keluar negeri, terutama pada umur-umur muda juga memiliki resiko yang besar, karena lebih memberi peluang bagi timbulnya masalah tidak ingin pulang pada sebagian mahasiswa, karena berbagai alasan. Mendapat pekerjaan yang lebih baik, kawin dengan penduduk setempat, tidak selesai sekolahnya dan memilih bekerja dan seterusnya. Taruhlah 50% persen tak ingin kembali artinya ada 50 ribu yang menetap di luar negeri, hal ini pun tidak sepenuhnya merugikan. Dalam jangka panjang, hal itu bisa menguntungkan, karena mereka akan menjadi pasar produk-produk Indonesia dan sekaligus sebagai agen promosi produk-produknya. Makanan, buah-buahan, tekstil, garmen, film, furniture, barang kerajinan serta produk-produk lain dari Indonesia. Lihatlah film-film bolywood bisa masuk pasaran di London, karena warga negara Inggris keturunan India jumlahnya cukup untuk membangun pasar dan menjadi pemicu permintaan film India di kalangan penduduk asli Inggris.
Walaupun mereka yang enggan pulang karena lebih memilih untuk beralih warga negara karena berbagai alasan, jiwa indonesia nya akan tetap ada dan terpelihara. Lihat lah masyarakat Jawa di Suriname kecintaan nya terhadap tanah jawa masih tetap tinggi sekali. Lihat juga keturunan India yang menduduki posisi tinggi di negara-negara maju baik di pemerintahan, perguruan tinggi, swasta dsb bersepakat untuk membangun fasilitas kesehatan di India dan dokter2 terkenal turunan India sepakat untuk bekerja di RS itu secara bergantian. Lihat berapa jumlah kiriman warga negara Filipina, India dst ke negara nya. Lihat juga remittance TKW ke Indonesia. Jumlahnya cukup besar dan bisa ikut menggerakkan ekonomi di negaranya masing-masing.
Nampaknya kita harus mulai mendefinisikan kembali arti nasionalisme. Lihatlah tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri bisa menjadi duta bangsa memperkenalkan Indonesia ke seluruh dunia. Apalagi bila mereka adalah tenaga kerja terlatih berkeahlian. (masih akan disambung)
Selasa, 17 Mei 2011
ILIR ILIR
lir-ilir, Ilir-ilir, tandure (hu)wus sumilir
(BI) Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi
(MS) Kanjeng Sunan mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun
dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang
telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah
kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam
dari para wali.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
BI) Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
( MS) Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini
digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang
melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.
Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
(BI) Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu.
(MS) Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan
belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima
rukun Islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan
oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan
menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima
rukun Islam dan sholat lima waktu.
Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
(BI) Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu.
(MS) Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya
digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah
belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan
sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap
awet. Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam
untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima
waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu
diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut
orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan
sembarang pakaian biasa.
Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
(BI) Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek
(MS) Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang
meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka
digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
(BI) Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore
(MS) Seba artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh
karena itu disebut 'paseban' yaitu tempat menghadap raja. Di sini
Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan
beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama
Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT di hari nanti.
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
(BI) Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
(MS) Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan,
perbaikilah kehidupan beragamamu.
Ya suraka, surak hiya
(BI) Ya, bersoraklah, berteriak-lah IYA
(MS) Di saatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti,
sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan
(Kiriman Suli Boentaran, San Fransisco)
(BI) Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi
(MS) Kanjeng Sunan mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun
dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang
telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah
kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam
dari para wali.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
BI) Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
( MS) Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini
digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang
melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.
Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
(BI) Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu.
(MS) Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan
belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima
rukun Islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan
oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan
menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima
rukun Islam dan sholat lima waktu.
Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
(BI) Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu.
(MS) Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya
digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah
belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan
sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap
awet. Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam
untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima
waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu
diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut
orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan
sembarang pakaian biasa.
Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
(BI) Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek
(MS) Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang
meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka
digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
(BI) Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore
(MS) Seba artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh
karena itu disebut 'paseban' yaitu tempat menghadap raja. Di sini
Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan
beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama
Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT di hari nanti.
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
(BI) Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
(MS) Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan,
perbaikilah kehidupan beragamamu.
Ya suraka, surak hiya
(BI) Ya, bersoraklah, berteriak-lah IYA
(MS) Di saatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti,
sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan
(Kiriman Suli Boentaran, San Fransisco)
Minggu, 15 Mei 2011
FATWA PUJANGGA
Ketika aku meminta kepada Allah SWT setangkai bunga segar
DIA memberiku kaktus yang berduri
Ketika aku meminta pada Allah binatang kecil yang cantik
DIA memberiku ulat berbulu
Aku memprotes karena kecewa
Tak lama kemudian Kaktus itu pun berbunga dan bunganya pun teramat indah, Ulat itu pun berubah menjadi seekor kupu-kupu yang amat cantik
Akhirnya ku sadari, bahwa pada waktunya DIA akan memberikan sesuatu yang lebih daripada yang kita minta
DIA tidak memberi apa yang kita minta, tapi Dia memberi apa yang kita butuhkan
Kadang-kadang kita sedih dan kecewa, namun jauh di atas segalanya.... DIA sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita
DIA YANG MAHA BESAR........
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bersyukur atas segala nikmat dan karunia NYA.
DIA memberiku kaktus yang berduri
Ketika aku meminta pada Allah binatang kecil yang cantik
DIA memberiku ulat berbulu
Aku memprotes karena kecewa
Tak lama kemudian Kaktus itu pun berbunga dan bunganya pun teramat indah, Ulat itu pun berubah menjadi seekor kupu-kupu yang amat cantik
Akhirnya ku sadari, bahwa pada waktunya DIA akan memberikan sesuatu yang lebih daripada yang kita minta
DIA tidak memberi apa yang kita minta, tapi Dia memberi apa yang kita butuhkan
Kadang-kadang kita sedih dan kecewa, namun jauh di atas segalanya.... DIA sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita
DIA YANG MAHA BESAR........
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bersyukur atas segala nikmat dan karunia NYA.
Jumat, 11 Maret 2011
12 kata JANGAN yang perlu dihindari
1. Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu akan semakin bahagia.
2. Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah, maka kamu akan semakin kaya.
3. Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah maka kamu akan termotivasi.
4. Jangan menunggu dipedulikan orang, baru kamu peduli, tapi pedulilah pada orang lain, maka orang akan mempedulikanmu.
5. Jangan menunggu orang memahamimu, baru kamu memahami orang, tapi pahamilah orang lain, maka orang akan memahamimu.
6. Jangan menunggu terinspirasi baru menulis, tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.
7. Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi mualilah bekerja, maka proyek akan menunggumu.
8. Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai, maka kamu akan dicintai.
9. Jangan menunggu uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah bukan hanya uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.
10. Jangan menunggu contoh baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.
11. Jangan menunggu sukses baru bersyukur. Tapi bersyukurlah, maka akan bertambah kesuksesanmu.
12. Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah. Kamu pasti bisa!
(Kiriman seorang sahabat: Awriya Ibrahim)
2. Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah, maka kamu akan semakin kaya.
3. Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah maka kamu akan termotivasi.
4. Jangan menunggu dipedulikan orang, baru kamu peduli, tapi pedulilah pada orang lain, maka orang akan mempedulikanmu.
5. Jangan menunggu orang memahamimu, baru kamu memahami orang, tapi pahamilah orang lain, maka orang akan memahamimu.
6. Jangan menunggu terinspirasi baru menulis, tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.
7. Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi mualilah bekerja, maka proyek akan menunggumu.
8. Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai, maka kamu akan dicintai.
9. Jangan menunggu uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah bukan hanya uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.
10. Jangan menunggu contoh baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.
11. Jangan menunggu sukses baru bersyukur. Tapi bersyukurlah, maka akan bertambah kesuksesanmu.
12. Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah. Kamu pasti bisa!
(Kiriman seorang sahabat: Awriya Ibrahim)
Selasa, 08 Maret 2011
PERLU DIBACA
Berikut ini ada pidato 30 detik dari Pak Bryan Dyson, CEO Coca Cola yang nampaknya menarik untuk disimak:
" Bayangkan bahwa kehidupan ini seperti main lempar bola dengan 5 bola ke udara (juggling). Bola-bola itu adalah Pekerjaan, Keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat dan anda berusaha agar kelima bola tersebut tidak terjatuh.
Anda akan segera mengerti bahwa pekerjaan adalah bola karet. Kalau anda menjatuhkannya dia akan memantul kembali. Akan tetapi empat bola lainnya yaitu keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat adalah bola yang terbuat dari kaca. Jika anda menjatuhkan salah satu bola tersebut, maka bola tersebut akan tergores, retak atau pecah dan sulit kembali seperti sediakala. Anda harus mengerti ini dan berusaha keras agar hal itu tidak terjadi.
Bekerjalah secara efisien pada waktu jam kerja dan tinggalkan tepat waktu. Berilah cukup waktu untuk keluarga, teman dan istirahat yang cukup.
Nilai hanya akan bermakna bila nilai tersebut diberi makna (Value has a value if its value valued)"
" Bayangkan bahwa kehidupan ini seperti main lempar bola dengan 5 bola ke udara (juggling). Bola-bola itu adalah Pekerjaan, Keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat dan anda berusaha agar kelima bola tersebut tidak terjatuh.
Anda akan segera mengerti bahwa pekerjaan adalah bola karet. Kalau anda menjatuhkannya dia akan memantul kembali. Akan tetapi empat bola lainnya yaitu keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat adalah bola yang terbuat dari kaca. Jika anda menjatuhkan salah satu bola tersebut, maka bola tersebut akan tergores, retak atau pecah dan sulit kembali seperti sediakala. Anda harus mengerti ini dan berusaha keras agar hal itu tidak terjadi.
Bekerjalah secara efisien pada waktu jam kerja dan tinggalkan tepat waktu. Berilah cukup waktu untuk keluarga, teman dan istirahat yang cukup.
Nilai hanya akan bermakna bila nilai tersebut diberi makna (Value has a value if its value valued)"
Sabtu, 19 Februari 2011
DoA SEoRANG PENDoA
Ketika kumohon pada Allah kekuatan
Allah memberikan kesulitan agar aku menjadi kuat
Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan
Allah memberikan masalah untuk kupecahkan
Ketika kumohon pada Allah kesejahteraan
Allah memberikan akal untuk berpikir
Ketika kumohon pada Allah keberanian
Allah memberikan bahaya untuk kuatasi
Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
Allah memberikan orang-orang bermasalah untuk kutolong
Ketika kumohon pada Allah bantuan
Allah memberikan kesempatan
Aku tak pernah menerima yang kuminta
Tapi aku menerima segala yang kubutuhkan
…………….Do’aku terjawab sudah
(Puisi ini aku peroleh dari sahabatku Dadang Mishal)
Allah memberikan kesulitan agar aku menjadi kuat
Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan
Allah memberikan masalah untuk kupecahkan
Ketika kumohon pada Allah kesejahteraan
Allah memberikan akal untuk berpikir
Ketika kumohon pada Allah keberanian
Allah memberikan bahaya untuk kuatasi
Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
Allah memberikan orang-orang bermasalah untuk kutolong
Ketika kumohon pada Allah bantuan
Allah memberikan kesempatan
Aku tak pernah menerima yang kuminta
Tapi aku menerima segala yang kubutuhkan
…………….Do’aku terjawab sudah
(Puisi ini aku peroleh dari sahabatku Dadang Mishal)
Kamis, 17 Februari 2011
ANTARA KOPI DAN CANGKIR
Sekelompok alumni Universitas California Barkeley (UCB)yang telah mapan dalam karir masing-masing, berkumpul dan mendatangi professor mereka yang sudah tua di kampusnya. Percakapan segera terjadi dan mengarah pada keluhan tentang stress yang dialami dalam pekerjaan dan kehidupan mereka masing-masing.
Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan poci besar berisi kopi dan bermacam-macam jenis cangkir. Dari porselin, plastik, gelas kristal, gelas biasa dan beberapa diantaranya gelas mahal dan sangat indah. Beliau menyilahkan mantan mahasiswanya untuk menuangkan sendiri kopinya.
Setelah semua mantan muridnya mendapat secangkir kopi ditangan masing-masing, professor itu berkata: " Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil, yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja. Meskipun wajar bagi kalian untuk menginginkan yang hanya terbaik bagi diri kalian, tetapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah stress yang kalian alami" Lalu beliau melanjutkan perkataannya:" Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukanlah cangkirnya. Namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain."
"Kehidupan bagai kopi, sedang pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita jalani"
Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita. Tuhan memasak dan membuat kopi, bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya dan bukan cangkirnya."
" SADARILAH BAHWA KEHIDUPAN ANDA ITU JAUH LEBIH PENTING DIBANDING PEKERJAAN ANDA!"
(kiriman dari seorang sahabat saya, Novel Chaniago)
Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan poci besar berisi kopi dan bermacam-macam jenis cangkir. Dari porselin, plastik, gelas kristal, gelas biasa dan beberapa diantaranya gelas mahal dan sangat indah. Beliau menyilahkan mantan mahasiswanya untuk menuangkan sendiri kopinya.
Setelah semua mantan muridnya mendapat secangkir kopi ditangan masing-masing, professor itu berkata: " Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil, yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja. Meskipun wajar bagi kalian untuk menginginkan yang hanya terbaik bagi diri kalian, tetapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah stress yang kalian alami" Lalu beliau melanjutkan perkataannya:" Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukanlah cangkirnya. Namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain."
"Kehidupan bagai kopi, sedang pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita jalani"
Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita. Tuhan memasak dan membuat kopi, bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya dan bukan cangkirnya."
" SADARILAH BAHWA KEHIDUPAN ANDA ITU JAUH LEBIH PENTING DIBANDING PEKERJAAN ANDA!"
(kiriman dari seorang sahabat saya, Novel Chaniago)
Senin, 07 Februari 2011
KEKERASAN DI SEKITAR KITA
Tawuran antar warga, tawuran antar kampung, tawuran mahasiswa, tawuran anak sekolah bahkan anak SD pun suka tawuran. Tindak kekerasan bersama ini ada dan bisa terjadi dimana saja di seluruh pelosok negeri baik di kampung maupun di kota-kota besar seperti ibukota dan bisa terjadi kapan saja. seringkali tanpa alasan yang jelas semata-mata mata alasan emosional yang mungkin merupakan pengalihan dari kondisi lain yang membebani masyarakat. Tapi mengapa mesti dengan tawuran? Mengapa mesti dengan kekerasan?
Bukankah bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong-royong yang memiliki falsafah hidup yang menghargai kebhinekaan? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang religius, bangsa yang menjunjung tinggi sopan santun dan adat istiadat? Dimanakan semua itu sekarang? Seribu tanya bisa kita sampaikan, tetapi tidak satupun jawaban yang memuaskan, setidak-tidaknya belum ada jawaban yang memuaskan sampai saat ini.
Jangan-jangan jiwa patriotisme yang sempit yang muncul, solidaritas kampung, solidaritas warga, solidaritas kampus, solidaritas sekolah, solidaritas kelompok kecil dan bukan lagi solidaritas bangsa yang berkembang? Padahal negara ini dibangun untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan bukan kepentingan suku, kelompok atau golongan saja.
Peranan pemerintah, para tokoh baik formal maupun informal sangatlah penting. Hubungan umaro, ulama dan umat yang baik sangatlah penting untuk terus dibina dipelihara dan ditingkatkan mutunya. Peran masing-masing perlu ditunaikan secara baik. Ketika terjadi perselisihan, orang tidak tahu lagi harus berkonsultasi kepada siapa manakala tidak ada lembaga penegak hukum yang memberikan kepastian dan keadilan, sehingga orang cenderung mengambil cara penyelesaian yang bersifat ad-hoc yang sebenarnya melanggar hukum. Tetapi kecenderungan umaro dan ulama serta tokoh masyarakat untuk tidak segera mengambil tindakan ketika api masih kecil, adalah juga kemungkinan penyebab mengapa suatu masalah cepat menjadi besar dan tidak terkendali. Dan melalui jaringan media elektronika peristiwa itu bagai menjadi yurisprudensi atau preseden untuk dijadikan pembenaran dan ditiru serta dipraktekkan di tempat lain.
Mungkin kita telah kehilangan keteladanan. Saat ini misalnya, kita kesulitan untuk mencari idola yang bisa menjadi panutan. Tapi apapun itu nampaknya menjadi sangat penting bagi kita untuk secara bersama-sama membangun karakter yang memiliki ketegasan, konsistensi dan kejujuran. Tokoh dan insan yang lebih banyak mendengar daripada ingin didengarkan yang ringan tangan dan bersifat kesatria yaitu insan yang tidak menghindari tanggung jawab. Saya kira pendiri bangsa benar ketika mengatakan bahwa yang harus kita bangun adalah Nations and characters building.
Bukankah bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong-royong yang memiliki falsafah hidup yang menghargai kebhinekaan? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang religius, bangsa yang menjunjung tinggi sopan santun dan adat istiadat? Dimanakan semua itu sekarang? Seribu tanya bisa kita sampaikan, tetapi tidak satupun jawaban yang memuaskan, setidak-tidaknya belum ada jawaban yang memuaskan sampai saat ini.
Jangan-jangan jiwa patriotisme yang sempit yang muncul, solidaritas kampung, solidaritas warga, solidaritas kampus, solidaritas sekolah, solidaritas kelompok kecil dan bukan lagi solidaritas bangsa yang berkembang? Padahal negara ini dibangun untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan bukan kepentingan suku, kelompok atau golongan saja.
Peranan pemerintah, para tokoh baik formal maupun informal sangatlah penting. Hubungan umaro, ulama dan umat yang baik sangatlah penting untuk terus dibina dipelihara dan ditingkatkan mutunya. Peran masing-masing perlu ditunaikan secara baik. Ketika terjadi perselisihan, orang tidak tahu lagi harus berkonsultasi kepada siapa manakala tidak ada lembaga penegak hukum yang memberikan kepastian dan keadilan, sehingga orang cenderung mengambil cara penyelesaian yang bersifat ad-hoc yang sebenarnya melanggar hukum. Tetapi kecenderungan umaro dan ulama serta tokoh masyarakat untuk tidak segera mengambil tindakan ketika api masih kecil, adalah juga kemungkinan penyebab mengapa suatu masalah cepat menjadi besar dan tidak terkendali. Dan melalui jaringan media elektronika peristiwa itu bagai menjadi yurisprudensi atau preseden untuk dijadikan pembenaran dan ditiru serta dipraktekkan di tempat lain.
Mungkin kita telah kehilangan keteladanan. Saat ini misalnya, kita kesulitan untuk mencari idola yang bisa menjadi panutan. Tapi apapun itu nampaknya menjadi sangat penting bagi kita untuk secara bersama-sama membangun karakter yang memiliki ketegasan, konsistensi dan kejujuran. Tokoh dan insan yang lebih banyak mendengar daripada ingin didengarkan yang ringan tangan dan bersifat kesatria yaitu insan yang tidak menghindari tanggung jawab. Saya kira pendiri bangsa benar ketika mengatakan bahwa yang harus kita bangun adalah Nations and characters building.
Senin, 27 Desember 2010
JANGAN MATIKAN KESEMPATAN ITU
Kadang-kadang kita sebagai bos, agak merah kuping ketika seorang anak buah mengkritik kita dalam suatu rapat terbuka. Apakah kita akan bereaksi negatif seperti marah atau positif dengan berterima kasih, maka akan tergantung pada beberapa hal antara lain tingkat kematangan pribadi, gaya kepemimpinan, kondisi psikologi dan seterusnya.
jadi bos seringkali membuat orang merasa berkuasa, karena pada dasarnya anak buah pasti akan segan. Seringkali rasa segan ini kemudian berubah menjadi rasa takut, ketika bos mulai menggunakan kekuasaannya untuk menekan anak buah. Membuat staf menjadi seperti bodoh adalah hal yang dengan mudah dilakukan antara lain dengan selalu memarahi staf atas segala hasil pekerjaannya. Marah, menyalah kan dan tidak memberi apresiasi pada staf yang dilakukan secara konsisten dan sistematis pada akhirnya akan menyebabkan hilangnya motivasi dan munculnya perasaan tidak mampu.
kalau kita memiliki gaya kepemimpinan seperti itu kita akan banyak kehilangan kesempatan yang baik, karena anak buah akan segan memberi masukan, karena takut dimarahi dan tentu menghindari hal itu terjadi, karena malu dengan kawan sejawat atau bahkan anak buahnya, apalagi bila bos suka sekali memarahi orang di muka umum. Staf menjadi takut dan bukan segan dan mereka akan bahagia dan senang sekali kalau bos tidak ditempat. Sementara bos juga tidak bisa belajar dari anak buah yang seringkali memiliki kemampuan praktis yang tidak kita miliki. Hubungan kerja menjadi kurang nyaman dan yang juga penting diingat, jangan-jangan kita malah menjadi rentan terhadap serangan stroke.
Buat bos atau calon bos, perlu diingat beberapa hal seperti: perlukah marah-marah? Jikalau tanpa marah kita malah sudah bisa menyampaikan pesan atau memotivasi dengan efektif. Perlu malu kah untuk mengakui bahwa kita pun perlu belajar dari staf? Apakah kita termotivasi hanya untuk sekadar menunjukkan bahwa sebagai bos bisa menyulitkan staf atau kita perlu membangun sinergi dengan memotivasi mereka untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan memberi apresiasi kepada mereka manakala mereka melakukan hal yang positip atau membesarkan hati kalau mereka melakukan kesalahan karena ketidak tahuan mereka? Atau memang kita termasuk dalam kelompok yang suka mematikan kesempatan?
jadi bos seringkali membuat orang merasa berkuasa, karena pada dasarnya anak buah pasti akan segan. Seringkali rasa segan ini kemudian berubah menjadi rasa takut, ketika bos mulai menggunakan kekuasaannya untuk menekan anak buah. Membuat staf menjadi seperti bodoh adalah hal yang dengan mudah dilakukan antara lain dengan selalu memarahi staf atas segala hasil pekerjaannya. Marah, menyalah kan dan tidak memberi apresiasi pada staf yang dilakukan secara konsisten dan sistematis pada akhirnya akan menyebabkan hilangnya motivasi dan munculnya perasaan tidak mampu.
kalau kita memiliki gaya kepemimpinan seperti itu kita akan banyak kehilangan kesempatan yang baik, karena anak buah akan segan memberi masukan, karena takut dimarahi dan tentu menghindari hal itu terjadi, karena malu dengan kawan sejawat atau bahkan anak buahnya, apalagi bila bos suka sekali memarahi orang di muka umum. Staf menjadi takut dan bukan segan dan mereka akan bahagia dan senang sekali kalau bos tidak ditempat. Sementara bos juga tidak bisa belajar dari anak buah yang seringkali memiliki kemampuan praktis yang tidak kita miliki. Hubungan kerja menjadi kurang nyaman dan yang juga penting diingat, jangan-jangan kita malah menjadi rentan terhadap serangan stroke.
Buat bos atau calon bos, perlu diingat beberapa hal seperti: perlukah marah-marah? Jikalau tanpa marah kita malah sudah bisa menyampaikan pesan atau memotivasi dengan efektif. Perlu malu kah untuk mengakui bahwa kita pun perlu belajar dari staf? Apakah kita termotivasi hanya untuk sekadar menunjukkan bahwa sebagai bos bisa menyulitkan staf atau kita perlu membangun sinergi dengan memotivasi mereka untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan memberi apresiasi kepada mereka manakala mereka melakukan hal yang positip atau membesarkan hati kalau mereka melakukan kesalahan karena ketidak tahuan mereka? Atau memang kita termasuk dalam kelompok yang suka mematikan kesempatan?
Selasa, 19 Oktober 2010
HILANGNYA RASA EMPATI
Ada pepatah yang berbunyi: sudah jatuh tertimpa tangga. Artinya musibah yang datang beruntun yang menimpa seseorang. Banyak kejadian pada saat dimana seseorang terkena musibah,tidak dibantu oleh temannya malah disukurin. Misal, ada orang tertabrak motor, alih-alih dibantu malah diomelin. "Sukurin lu, itu sih gak patuhi aturan lalu lintas". Tentu tak ada yang salah dengan statemen tersebut. tapi dalam konteks terjadinya kecelakaan, yang sepatutnya perlu dilakukan adalah menolong korban dan bukan menyalahkan korban.
Dalam hal tersebut yang diperlukan adalah 'empati', yaitu perlunya ada kepekaan untuk merasakan masalah orang lain. Menurut Kamus Amerika, empati atau memahami perasaan orang lain adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami perasaan dan kesulitan yang dihadapi orang lain. Ternyata rasa itu umumnya sudah mulai luntur, artinya rasa empati tersebut cenderung makin menurun.
Mengapa rasa empati tersebut bisa menurun atau bahkan hilang? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, pertama,orang tersebut memang tidak peka, terlalu individualistis, selfish atau memiliki sikap yang acuh tak acuh. Tentu saja tipe orang ini memang bisa digolongkan menjadi manusia yang asosial. Kemungkinan yang kedua,orang tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk menolong atau bahkan menduga bahwa pasti sudah ada orang lain yang akan menolong korban. Ketiga, orang tidak berempati mungkin memiliki kaitan kepentingan dengan seseorang yang sedang terkena musibah. Misalnya ketika pesaing mengalami musibah, orang yang merasa disaingi malah cenderung senang bahkan kalau perlu ikut membuat pesaingnya lebih menderita. bukan empati yang muncul. Seringkali orang berkenderungan berpendapat bahwa posisi atau kedudukan adalah kekuasaan yang harus direbut at all costs.
Alangkah indahnya hidup ini apabila seseorang justru ikut berempati ketika pesaing mengalami musibah. Dia berusaha keras untuk meringankan beban yang sedang dihadapi pesaingnya, bukan justru menambah kesulitannya. Inilah model persaingan yang bermartabat yang lebih didasarkan kapasitas dan kemampuan. Dan model inilah yang harus kita kembangkan dimasa mendatang.
Dalam hal tersebut yang diperlukan adalah 'empati', yaitu perlunya ada kepekaan untuk merasakan masalah orang lain. Menurut Kamus Amerika, empati atau memahami perasaan orang lain adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami perasaan dan kesulitan yang dihadapi orang lain. Ternyata rasa itu umumnya sudah mulai luntur, artinya rasa empati tersebut cenderung makin menurun.
Mengapa rasa empati tersebut bisa menurun atau bahkan hilang? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, pertama,orang tersebut memang tidak peka, terlalu individualistis, selfish atau memiliki sikap yang acuh tak acuh. Tentu saja tipe orang ini memang bisa digolongkan menjadi manusia yang asosial. Kemungkinan yang kedua,orang tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk menolong atau bahkan menduga bahwa pasti sudah ada orang lain yang akan menolong korban. Ketiga, orang tidak berempati mungkin memiliki kaitan kepentingan dengan seseorang yang sedang terkena musibah. Misalnya ketika pesaing mengalami musibah, orang yang merasa disaingi malah cenderung senang bahkan kalau perlu ikut membuat pesaingnya lebih menderita. bukan empati yang muncul. Seringkali orang berkenderungan berpendapat bahwa posisi atau kedudukan adalah kekuasaan yang harus direbut at all costs.
Alangkah indahnya hidup ini apabila seseorang justru ikut berempati ketika pesaing mengalami musibah. Dia berusaha keras untuk meringankan beban yang sedang dihadapi pesaingnya, bukan justru menambah kesulitannya. Inilah model persaingan yang bermartabat yang lebih didasarkan kapasitas dan kemampuan. Dan model inilah yang harus kita kembangkan dimasa mendatang.
Senin, 09 Agustus 2010
KEBIJAKAN DAN KEBAJIKAN: renungan Ramadhan
Sebagai birokrat kita sering harus membuat kebijakan (policy) dan karena bekerja di bidang kehutanan, ya tentunya kebijakan tentang kehutanan yang dibuat. Misalnya kebijakan tentang industri kehutanan atau kebijakan tentang perbenihan atau kebijakan tentang pemanfaatan hutan dan seterusnya. Kebijakan tersebut ada yang betul-betul mengatur kegiatan kehutanan yang cakupan pengaruhnya secara langsung hanya di bidang kehutanan. Namun demikian banyak juga kebijakan kehutanan yang berdampak pada bidang lain, misalnya kebijakan penggunaan kawasan hutan tentu akan mempengaruhi bidang atau sektor lain yang menggunakan kawasan atau lahan. Misal kegiatan pertambangan atau kegiatan perkebunan.
Seringkali kebijakan satu sektor dianggap merugikan sektor lain, atau merugikan karena tidak berdampak positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kita sering mendengar banyaknya peraturan yang bertentangan, tidak konsisten dan atau tumpang tindih. Akibatnya seringkali bukan saja menyebabkan laju kegiatan pembangunan terhambat, akan tetapi sering berkonsekuensi hukum pula. Nah dalam hal ini kebijakan yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan ternyata tidak mendatangkan kebajikan. Padahal kebijakan yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi bijak atau wise tentunya diharapkan akan menghasilkan kebajikan-kebajikan bagi seluruh manusia dan alam lingkungan.
Lalu mengapa sering terjadi ketidakbijakan yang berakibat tidak memberikan kebajikan? Ada beberapa kemungkinan faktor penyebabnya, yaitu pertama, keterbatasan informasi (limited information dan seringkali juga karena information asymetri). Informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan juga informasi yang ada bisa juga tidak akurat, akibatnya tentu dapat diduga. Informasi juga seringkali hanya dikuasai oleh satu pihak dan sulit diakses oleh yang lain, selain masalah transparansi informasi yang asimetri bisa juga disebabkan karena calon pengguna tidak tahu cara mengakses data dan informasi yang diperlukan.
Kedua, penyusunannya yang terfragmentasi dan sektoral. Ego sektoral sering kali dianggap sebagai penyebab keruwetan ini, betapa tidak? Satu sektor menyusun kebijakan yang akan mempengaruhi sektor lain, tetapi sektor yang akan terpengaruh tidak diajak berembug. Padahal sektor lain tersebut justru telah memiliki kebijakan. Jadilah kebijakan-kebijakan tersebut sering berbenturan. Yang lebih repot lagi bila di dalam sektor pun terjadi fragmentasi pengambilan kebijakan dan keputusan. Kejadian tersebut seringkali pula terjadi karena kita sendiri yang menyusun struktur seperti itu. Penyusunan kebiajakan dalam bentuk Undang Undang (UU) dibuat di parlemen tapi masing-masing sektor memiliki mitra komisi di DPR. Kehutanan dengan Komisi IV bersama Kementrian Pertanian, Kementrian DKP dan Kementrian BUMN. UU Kehutanan disusun oleh Komisi IV, padahal undang-undang tersebut akan berdampak terhadap masalah lingkungan hidup, misalnya Kementrian LH dan juga dengan Kementrian ESDM (keduanya pada Komisi VII), demikian pula sebaliknya. Tapi hal seperti ini tidak merupakan hak eksklusif Indonesia. Di lembaga seperti Bank Dunia pun terjadi hal ketidaksinkronan. Misalnya divisi yang menangani kehutanan dan lingkungan berupaya untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, sementara Divisi yang menangani ekonomi justru mendorong dibukanya kawasan hutan untuk perkebunan, energi dan pemukiman dan seterusnya.
Ketiga, seringkali bersifat ad-Hoc dan perlu segera, sehingga terlupa hal-hal yang penting. Dalam kondisi perubahan yang sangat dinamis dan serba cepat sering kebijakan berubah pula dengan cepat. Nah, perubahan yang serba cepat itu seringkali mengabaikan hal-hal seharusnya dipertimbangkan. Kita acapkali mendengar adagium "yang penting ada dulu, nanti perbaikannya dilakukan sambil jalan". Yang menjadi konsern adalah ketika akan diluruskan, ternyata kebijakan yang dibuat secara tergesa-gesa tersebut telah menimbulkan dampak berganda, akibatnya upaya revisinyapun menjadi tidak sederhana lagi. Apalagi ketika ada unsur legalitas yang terlanggar.
Ramadhan adalah bulan melatih orang untuk lebih bijak. Mudah-mudahan dengan sering mengasah rasa bijak ini akan dapat dihasilkan kebijakan yang mendatangkan kebajikan-kebajikan. Insya Allah.
Seringkali kebijakan satu sektor dianggap merugikan sektor lain, atau merugikan karena tidak berdampak positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kita sering mendengar banyaknya peraturan yang bertentangan, tidak konsisten dan atau tumpang tindih. Akibatnya seringkali bukan saja menyebabkan laju kegiatan pembangunan terhambat, akan tetapi sering berkonsekuensi hukum pula. Nah dalam hal ini kebijakan yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan ternyata tidak mendatangkan kebajikan. Padahal kebijakan yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi bijak atau wise tentunya diharapkan akan menghasilkan kebajikan-kebajikan bagi seluruh manusia dan alam lingkungan.
Lalu mengapa sering terjadi ketidakbijakan yang berakibat tidak memberikan kebajikan? Ada beberapa kemungkinan faktor penyebabnya, yaitu pertama, keterbatasan informasi (limited information dan seringkali juga karena information asymetri). Informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan juga informasi yang ada bisa juga tidak akurat, akibatnya tentu dapat diduga. Informasi juga seringkali hanya dikuasai oleh satu pihak dan sulit diakses oleh yang lain, selain masalah transparansi informasi yang asimetri bisa juga disebabkan karena calon pengguna tidak tahu cara mengakses data dan informasi yang diperlukan.
Kedua, penyusunannya yang terfragmentasi dan sektoral. Ego sektoral sering kali dianggap sebagai penyebab keruwetan ini, betapa tidak? Satu sektor menyusun kebijakan yang akan mempengaruhi sektor lain, tetapi sektor yang akan terpengaruh tidak diajak berembug. Padahal sektor lain tersebut justru telah memiliki kebijakan. Jadilah kebijakan-kebijakan tersebut sering berbenturan. Yang lebih repot lagi bila di dalam sektor pun terjadi fragmentasi pengambilan kebijakan dan keputusan. Kejadian tersebut seringkali pula terjadi karena kita sendiri yang menyusun struktur seperti itu. Penyusunan kebiajakan dalam bentuk Undang Undang (UU) dibuat di parlemen tapi masing-masing sektor memiliki mitra komisi di DPR. Kehutanan dengan Komisi IV bersama Kementrian Pertanian, Kementrian DKP dan Kementrian BUMN. UU Kehutanan disusun oleh Komisi IV, padahal undang-undang tersebut akan berdampak terhadap masalah lingkungan hidup, misalnya Kementrian LH dan juga dengan Kementrian ESDM (keduanya pada Komisi VII), demikian pula sebaliknya. Tapi hal seperti ini tidak merupakan hak eksklusif Indonesia. Di lembaga seperti Bank Dunia pun terjadi hal ketidaksinkronan. Misalnya divisi yang menangani kehutanan dan lingkungan berupaya untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, sementara Divisi yang menangani ekonomi justru mendorong dibukanya kawasan hutan untuk perkebunan, energi dan pemukiman dan seterusnya.
Ketiga, seringkali bersifat ad-Hoc dan perlu segera, sehingga terlupa hal-hal yang penting. Dalam kondisi perubahan yang sangat dinamis dan serba cepat sering kebijakan berubah pula dengan cepat. Nah, perubahan yang serba cepat itu seringkali mengabaikan hal-hal seharusnya dipertimbangkan. Kita acapkali mendengar adagium "yang penting ada dulu, nanti perbaikannya dilakukan sambil jalan". Yang menjadi konsern adalah ketika akan diluruskan, ternyata kebijakan yang dibuat secara tergesa-gesa tersebut telah menimbulkan dampak berganda, akibatnya upaya revisinyapun menjadi tidak sederhana lagi. Apalagi ketika ada unsur legalitas yang terlanggar.
Ramadhan adalah bulan melatih orang untuk lebih bijak. Mudah-mudahan dengan sering mengasah rasa bijak ini akan dapat dihasilkan kebijakan yang mendatangkan kebajikan-kebajikan. Insya Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)