Selasa, 22 Maret 2011

Karbon: komoditi kah?

Orang di mana-mana, terutama di kalangan elite baik di tingkat nasional maupun internasional ramai membicarakan jual beli atau perdagangan karbon tersebut. Bisa berdasar dana kompensasi (fund base) atau dapat pula melalui pasar (market base). Pembicaraan itu tidak terjadi di kalangan bawah maupun di pasar-pasar tradisional. Dan memang transaksi itu, kalau pun ada, tidak akan pernah terjadi di pasar-pasar tradisional. Salah satu masalah mendasar adalah "komoditi" yang diperjualbelikan disini adalah karbon yang tidak berwujud, tidak berwarna, tidak dapat diraba tapi bisa terhirup.

Komoditi itu apa?
Mari kita lihat definisi komoditi. Salah satunya menyebut bahwa komoditi adalah barang fisik seperti pangan, biji-bijian dan logam yang dapat dipertukarkan dengan produk lain yang sejenis dengan tipe yang sama. Dalam hal ini, komoditi diartikan sebagai barang yang diperjual belikan.

Dari definisi yang menyatakan bahwa komoditi atau barang adalah benda fisik, maka karbon atau dalam hal ini CO2 yang berbentuk gas tentu tidak termasuk ke dalam kelompok komoditi. Dalam praktek sehari-hari, kita juga bisa menjual gas, tapi tentu gas yang sudah dikemas dalam tabung, seperti gas elpiji atau O2 yang dapat kita beli bebas dimana-mana. Dengan menempatkan gas tersebut dalam tabung, maka kita bisa memperjual-belikannya. Artinya sulit bagi kita menganggap CO2 sebagai komoditi atau barang dalam wujud aslinya.

Dalam hal mengurangi emisi karbon yang dibicarakan dalam konteks perubahan iklim adalah bagaimana upaya untuk mempertahankan karbon agar tetap dalam pepohonan hutan mendapat kompensasi atau dihargai, baik melalui skim dana maupun skim perdagangan karbon. Dalam konteks ini maka karbon kita taruh dalam bentuk tegakan hutan bukan dalam bentuk tabung.

Komplikasi penyimpanan Karbon dalam bentuk tegakan hutan
Dari sisi penghitungan besarnya kandungan karbon, nampaknya secara teoritis tidak terlalu sulit. Pertama, kita harus menghitung berapa kandungan karbon dari pohon pada berbagai umur dan jenis. Secara teoritis dapat kita lakukan. Kedua, kita harus menginventarisasi semua pohon dan memilahnya dalam kelompok jenis dan ukuran (diamater, tinggi pohon atau volume pohon) sebagai proxy umur, sehingga dari perhitungan pertama dan kedua kita dapat menghitung berapa besar kandungan karbon dari satu hamparan tegakan hutan tertentu dalam bentuk ton karbon/hektar.

Komplikasi mulai muncul ketika kita menghitung lahirnya pohon dan kematian pohon yang sangat dinamis. Kita tahu bahwa pada fase pertumbuhan daya serapan cenderung meningkat seperti kurva S yang secara bertahap menurun kapasitas serap karbonnya dengan semakin tua umur pohon tersebut. Dinamika ini lebih sulit diikutinya, walaupun tetap bisa. Tetapi tentunya memerlukan resource (waktu, tenaga dan biaya) yang lebih besar untuk melakukannya.

Faktor yang paling sulit adalah ketika property right tidak terdefinisikan dengan baik. Karakteristik properti right yang benar adalah terspesifikasi dengan jelas, ini bisa saja berupa tegakan yang batas wilayahnya jelas. Enforceable, artinya semua pihak menghormati kepemilikan pemerintah atau privat atas sebidang hutan tersebut, sehingga pihak lain merasa tidak berhak untuk memanfaatkannya, karena akan berujung pada masalah hukum. Tapi dalam hal ini tentu pemerintah melalui kepastian dan penegakan hukum harus bisa menjamin hak tersebut. Bisa saja hutan milik pemerintah atau milik privat, tetapi tanpa jaminan hukum tersebut, maka pencurian dan kerusakan hutan bisa terjadi kapan saja. Artinya "komoditi" karbon yang terbungkus dalam bentuk tegakan menjadi tidak terjamin baik kualitas maupun kuantitasnya. Agar jual beli karbon dalam tegakan ini dapat memberi insentif bagi pemilik tegakan, maka tentu saja karbon yang ada dalam tegakan harus diberi harga yang nilainya lebih besar dari alternatif lain dan lebih besar dari biaya penjagaan yang harus dilakukan.

Sabtu, 19 Maret 2011

JEPANG DAN BENCANA

Jepang baru saja diguncang gempa bumi besar Richter yang diikuti oleh gelombang Tsunami yang tdak kalah dhsyatnya. Luluh lantak lah beberapa kota di Jepang terutama di sekitar episentrum gempa. Kita pernah mengalami tsunami besar yang datang setelah gempa besar dan itu terjadi di Aceh. Kita lihat melalui layar tivi bagaimana suasana bencana tersebut yang mengharu biru bukan saja para korban, yaitu saudara kita di Aceh, tapi juga hati seluruh bangsa.

Sisi pemerintah
Ada yang menarik dari kejadian di Jepang ini yang nampaknya perlu menjadi teladan yang dapat ditiru oleh manusia Indonesia. Pertama, wilayah terkena tsunami nampaknya memang sudah mempersiapkan diri untuk bencana seperti itu, karenanya mereka membangun tanggul di pantai setinggi sepuluh meter mengelilingi wilayah yang diperhitungkan sangat rentan terhadap tsunami. Kedua, sistem peringatan dini berjalan baik. Ketiga, pelatihan mitigasi bencana termasuk bagaimana menghindari atau menyelamatkan diri serta fasilitas-fasilitas penyelamatan diri dan lokasi pengungsian sudah tersedia dan dapat langsung dimanfaatkan ketika bencana yang sesungguhnya terjadi. Keempat, bangunan di Jepang memang sudah memenuhi kriteria tahan gempa. Terlihat dari media tivi, masyarakat Jepang tetap bertahan pada bangunan yang bergoyang-goyang dan kalau perlu akan bersembuinyi di bawah meja sebagaimana mereka dilatih secara berkala. Bangunan praktis tidak ada yang rusak akibat gempa, tapi gelombang tsunamilah yang berkecepatan di atas 600 km per jam yang memporak porandakan banyak bangunan. Kelima, sistem penanggulangan bencana juga berjalan sangat efektif dan nampak bahwa pemerintah dengan pengalaman yang panjang sudah menyiapkan manakala masa sulit tersebut terjadi. Pimpinan pemerintahan terjun langsung dan berada digaris depan mengatasi bencana tersebut dan berbaur bersama masyarakat dengan segala empatinya.

Individu dan masyarakat
Dari perilaku individu dan masyarakat, kita juga dapat banyak belajar dari manusia Jepang yang tangguh. Pertama, berbeda dengan kejadian bencana di tanah air yang sering terjadi, hampir tidak ada tangisan yang mengharu-biru dari para korban bencana di Jepang, baik anak-anak, remaja maupun orang tua. Semua berjalan seperti biasa saja, karena sadar bahwa mereka memang hidup di daerah yang rentan bencana. Kejadian tersebut nampaknya dianggap sebagai risiko yang memang harus mereka hadapi.
Kedua, tivi Jepang NHK juga memberitakan semua secara lugas dan transparan tanpa dilatar belakangi oleh lagu-lagu atau musik yang sentimentil dan memilukan, hampir tidak ada efek dramatisasi dari kejadian tersebut. Ketiga, berbeda dengan kejadian di negara lain termasuk negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris dan negara-negara berkembang, hampir dipastikan begitu terjadi bencana, maka pada saat pasca bencana akan terjadi penjarahan khususnya ke toko dan warung atau gudang-gudang pangan. Hal tersebut tidak terjadi di Jepang. Keempat, tingginya solidaritas sosial diantara masyarakat Jepang. Pada saat bahan makanan langka, menurut hukum pasar maka harga akan naik karena banyaknya permintaan. Itu pun tidak terjadi di Jepang, ada unsur etika kebersamaan sosial yang mengalahkan hukum pasar yang diagung-agungkan oleh dunia barat. Para pemilik toko malah menurunkan harga dan cenderung berbagi dengan masyarakat yang membutuhkannya. Solidaritas sosial yang luar biasa yang sudah tertanam dalam sanubari setiap anggota masyarakatnya.

Apa yang bisa kita pelajari
Dari kejadian tersebut jelas bahwa apa yang selalu dicanangkan oleh pendiri republik ini yaitu "nation and character building" adalah perlu dan fundamental bagi terciptanya kemandirian suatu bangsa. Nampaknya ini perlu mulai kembali dihidupkan semangat membangun karakter atau istilah yang sempat dipopulerkan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Lembaga pendidikan perlu kembali secara serius menghidupkan dan melaksanakan kembali pelajaran mengenai etika dan etos, semangat mandiri, semangat pantang menyerah dan semangat sosial yang tulus. Kita bisa berlajar dari Jepang, bagaimana bangsa itu membangun karakter yang demikian kuat yang muncul secara otomatis ketika negaranya mengalami kesulitan yang luar biasa. Semangat Bushido, semangat Samurai atau seperti kata Jansen Sinamo yang menulis di koran Kompas (Jumat, 18 Maret 2011)adalah semangat Gambaru. Secara populer Gambaru diterjemahkan sebagai: " berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan, bekerja hingga batas kemampuan terakhir, atau melakukan sesuatu dengan segala daya upaya, bahkan yang terpahit sekalipun untuk mencapai yang terbaik".

Jumat, 11 Maret 2011

12 kata JANGAN yang perlu dihindari

1. Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu akan semakin bahagia.

2. Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah, maka kamu akan semakin kaya.

3. Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah maka kamu akan termotivasi.

4. Jangan menunggu dipedulikan orang, baru kamu peduli, tapi pedulilah pada orang lain, maka orang akan mempedulikanmu.

5. Jangan menunggu orang memahamimu, baru kamu memahami orang, tapi pahamilah orang lain, maka orang akan memahamimu.

6. Jangan menunggu terinspirasi baru menulis, tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.

7. Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi mualilah bekerja, maka proyek akan menunggumu.

8. Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai, maka kamu akan dicintai.

9. Jangan menunggu uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah bukan hanya uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.

10. Jangan menunggu contoh baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.

11. Jangan menunggu sukses baru bersyukur. Tapi bersyukurlah, maka akan bertambah kesuksesanmu.

12. Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah. Kamu pasti bisa!


(Kiriman seorang sahabat: Awriya Ibrahim)

Selasa, 08 Maret 2011

PERLU DIBACA

Berikut ini ada pidato 30 detik dari Pak Bryan Dyson, CEO Coca Cola yang nampaknya menarik untuk disimak:

" Bayangkan bahwa kehidupan ini seperti main lempar bola dengan 5 bola ke udara (juggling). Bola-bola itu adalah Pekerjaan, Keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat dan anda berusaha agar kelima bola tersebut tidak terjatuh.

Anda akan segera mengerti bahwa pekerjaan adalah bola karet. Kalau anda menjatuhkannya dia akan memantul kembali. Akan tetapi empat bola lainnya yaitu keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat adalah bola yang terbuat dari kaca. Jika anda menjatuhkan salah satu bola tersebut, maka bola tersebut akan tergores, retak atau pecah dan sulit kembali seperti sediakala. Anda harus mengerti ini dan berusaha keras agar hal itu tidak terjadi.

Bekerjalah secara efisien pada waktu jam kerja dan tinggalkan tepat waktu. Berilah cukup waktu untuk keluarga, teman dan istirahat yang cukup.

Nilai hanya akan bermakna bila nilai tersebut diberi makna (Value has a value if its value valued)"

Rabu, 02 Maret 2011

KARBON LAGI: TREND KEDEPAN

Pembicaraan kompensasi karbon melalui skim REDD nampaknya juga akan berakhir antiklimaks, seperti juga Kyoto Protocol yang akan berakhir pada tahun 2012. Pembicaraan yang panjang dan melelahkan mengenai mekanisme pembangunan bersih atau "Clean Development Mechanism" (CDM) pada ujungnya berhenti tanpa pernah diterapkan. Penyebabnya adalah negara-negara Appendix 1, seperti AS, Canada, Jepang dan Rusia tidak berselera menjalankan kesepakatan Internasional tersebut- yang notabene sudah dibahas berbusa-busa dan memakan waktu, tenaga serta dana yang besar- kecuali, kata AS, bila China dan India dimasukkan juga kedalam negara Appendix 1.
Negara Eropa cenderung menggantikan kewajibannya untuk mengurangi konsumsi energi dengan mengalihkan pada kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon dengan mendorong skim REDD di negara-negara berkembang macam Indonesia dengan memberi kompensasi. Contohnya, Norwegia yang menjanjikan uang 1 milyar dollar AS ke Brasil dan Indonesia, itu pun dengan syarat kalau REDD-nya dinilai berhasil.

Mengapa REDD tidak di Negara Maju
Mengapa Eropa dan AS tidak melakukan REDD nya di negara sendiri? Kalau kita lihat luas hutan di Eropa sudah sangat sempit, di bawah 30%. Seorang teman dari Inggris dalam pertemuan UNFF malah bergurau harusnya Inggris juga dimasukkan dalam kategori negara dengan luasan hutan yang kecil(low forest cover countries)seperti negara-negara di Timur Tengah. Demikian juga di negara-negara Eropa lainnya. Hal itu dikarenakan mereka sudah lama membuka dan mengkonversi hutan alamnya dengan menjadikannya sebagai lahan-lahan pertanian. Tentu mereka segan menghutankan kembali lahan pertaniannya, mengingat sektor pertanian adalah sektor yang disubsidi sangat besar. Dan tentunya mereka juga tidak inghin tergantung pangannya dari negara lain. Hutan-hutan tua (old growth forest)di AS dengan pohon-pohon raksasa, seperti giant seqouia, douglas fir dsb. adalah penyimpan karbon yang sangat besar, contoh misalnya data tahun 2009 menunjukkan bahwa pohon Douglas-firs yang memiliki volume terbesar adalah:

Reed Creek Tree (Canada): 349 m3
Queets Fir (AS) : 332 m3
Tichipawa (AS) : 308 m3

Tapi hutan dengan pohon-pohon tersebut karena sudah merupakan hutan klimaks ia tidak mampu lagi menyerap lebih banyak karbon. Andaikata mereka menebangi hutan tua dan menjadikannya furniture dan seterusnya dan tidak membakarnya, maka karbonnya tidak akan lepas ke atmosfir. Dan mereka bisa membuat hutan baru yang mampu menyerap lebih bayak karbon, artinya karbon stok dan karbon yang diserap akan menjadi cadangan karbon yang besar. Tapi mereka tentu lebih suka membangun hutan atau mengkonservasi hutan di negara orang dan memelihara hutan tuanya yang unik itu sebagai obyek wisata yang mendatangkan lebih banyak keuntungan finansial. Oleh karena itu, Strategi mereka adalah membeli karbon atau mengkompensasi negara berkembang yang mau memelihara hutannya untuk tidak dimanfaatkan. Artinya dibiarkan tidak terjamah selalam periode tertentu.

Bagaimana Peran UNFCCC kedepan?
REDD pun yang diusung oleh UNFCCC nampaknya akan bernasib sama, karena komitmen global yang dibicarakan dalam forum internasional tersebut belum juga disepakati oleh semua negara anggota. Perbedaan diantara negara berkembang juga masih cukup kuat antara karbon berbasis kompensasi atau berbasis pasar. Belum lagi kondisi yang berbeda-beda diantara negara berkembang, mengakibatkan sulitnya membangun akses yang merata terhadap sumber pendanaan. Dana yang berkaitan dengan hutan dan lingkungan pada umumnya hanya dinikmati oleh beberapa negara berkembang seperti Brasil, Indnesia, China, Meksiko dan Malaysia, sementara itu banyak negara-negara Afrika dan Amerika Selatan kesulitan mendapatkan dana tersebut. Negara-negara maju pun melihat REDD berbeda-beda. REDD bukan lagi dipandang sebagai sekedar masalah teknis saja, tetapi REDD dilihat juga sebagai masalah politik. Hal ini menjadikan REDD sebagai bagian politik kebijakan energi masa depan bagi negara-negara maju, khususnya dalam bermanuver untuk menyelamatkan kepentingannya masing-masing.

Di masa depan, badan PBB semacam UNFCCC berkecenderungan untuk semakin kecil peranannya, karena sulit dibayangkan forum semacam UNFCCC akan mampu mengawasi perdagangan karbon. PBB tidak mungkin memonopoli karbon. Apalagi saat ini urusan karbon cenderung menjadi persoalan bilateral, antara negara penjual dan negara pembeli. Skim multilateral sulit diterapkan karena akan sangat rumit bila penghasil karbon terdiri dari banyak negara berkembang yang kesiapan dan tingkat pembangunannya berbeda. Akan sulit mencari base line yang dapat digunakan sebagai standar umum dan juga memiliki resiko untuk meng-exclude negara paling terbelakang dalam kelompok multilateral tersebut dari perdagangan karbon.

Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Kanada sudah menyatakan bahwa Protokol Kyoto adalah masa lalu. Sementara pasar karbon cenderung terlokalisasi seperti melalui GATT, WTO, EU, NAFTA, atau Karbon NAFTA yang diajukan oleh Amerika Serikat, Canada dan Meksiko. Jepang dan Amerika misalnya cenderung menggunakan skim jual beli karbon diluar skim PBB.

Apa yang harus kita siapkan?
Pendekatan bukan pasar melalui skim pendanaan (fund-base) harus dilakukan secara hati-hati dan didasarkan perhitungan yang akurat mengenai karbon yang dikompensasi, jangan sampai kita terkunci tidak dapat melakukan apapun (locked up) atas sumber daya hutan kita sementara nilai yang diterima terlalu murah dibanding dengan harga pasar yang mungkin dapat kita peroleh. Misalnya untuk kompensasi 1 Miliar $ dengan memperhitungkan harga pasar yang bisa kita peroleh, bukan mustahil perjanjian dengan Norwegia misalnya dapat kita penuhi dengan luasan hutan yang tidak besar untuk kita moratorium, apalagi kalau kita menggunakan hutan gambut yang kandungan karbonnya sangat tinggi.

Kedepan pasar karbon termasuk karbon REDD akan mendominasi karbon internasional dengan skim yang akan cenderung lebih melalui jual beli bilateral. Oleh karena itu Indonesia harus siap memanfaatkan peluang tersebut dengan mempersiapkan diri dan menjual sendiri karbonnya melalui proses negosiasi yang bermartabat dan seimbang. Untuk perlu dikembangkan sistem sertifikasi karbon nasional yang mencakup pendaftaran (registry), penerbitan dan pencatatan termasuk kelembagaannya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjual karbon yang bersertifikat tersebut ke pasar karbon yang sudah ada maupun yang akan muncul di masa mendatang.

(Catatan dari presentasi Dr. Kwangyul Peck, Climate Change and Forestry Policy Centre, Seoul National University tanggal 28 Februari 20111:" Thought for Indonesia"s Forest Carbon")

BELAJAR DARI ALAM

Dari AIR kita belajar KETENANGAN
Dari BATU kita belajar KETEGARAN
Dari TANAH kita belajar KEHIDUPAN
Dari KUPU-KUPU kira belajar MENYESUAIKAN DIRI
Dari PADI kita belajar RENDAH HATI
Dari ALLAH kita belajar SEMUANYA dalam hal kasih sayang yang sempurna

Melihat keatas, memperoleh semangat untuk maju
Melihat kebawah, kita bersyukur atas semua yang ada
Melihat kesamping , belajar semangat kebersamaan
Melihat kebelakang, sebagai pengalaman berharga kedalam untuk introspeksi
Melihat kedepan, untuk lebih maju


(Dari temanku Budi Santosa)