Sabtu, 23 Oktober 2010

NONTON BARENG YUK...

Kekawatiran akan hilangnya budaya tradisional nampaknya semakin tinggi, terutama akibat derasnya pengaruh budaya asing di negeri ini. Lihat sampai istilah ayam gorengpun sudah tergeser dengan fried chicken. Penjaja ayam goreng dorongan juga lebih suka memasang nama fried chicken karena katanya terkesan lebih komersial dan modern. Dan itu terjadi diseantero negeri, mulai dari kota sampai ke pelosok gunung sekalipun.

Animo generasi muda untuk menonton pertunjukkan budaya tradisionalpun semakin menyusut. Semakin berkurang jumlah penonton muda yang menonton wayang kulit yang durasinya semalam suntuk (lek-lekan). Jumlahnya bahkan semakin menyusut di daerah perkotaan. Kekecualian tentu ada seperti beberapa dalang terkenal masih mampu menyedot penonton, seperti Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono. Contoh lain, lihat saja matinya pertunjukkan Wayang orang Ngesti Pandowo di Semarang, Tjipto Kawedar di Malang atau ketoprak Srimulat di Surabaya. Wayang orang Barata di Jakarta dan Sriwedari di Solo termasuk yang bisa bertahan, walaupun dalam status memprihatinkan, "mati segan hidup tak mau".

INISIATIF BARU?
Di tengah lesunya apresiasi budaya, muncul inisiatif yang dilakukan para petinggi di ibukota untuk main ketoprak, ludruk atau wayang orang. Pemain profesional bergabung dengan pemain amatir, yang terdiri dari para pejabat pemerintah, manggung bersama dalam satu panggung pertunjukkan. Satu ide yang segar. Namun apakah bentuk apresiasi semacam ini yang kita perlu dorong?

Untuk memberi dukungan moril bahwa para petinggi dangat konsern terhadap budaya tradisional, barangkali cukup memadai. Tapi dalam pembicaraan santai saat reuni SMA 4 Solo 16 oktober lalu di Solo, mbak Ira -seorang penari handal dan pemerhati seni dari Solo yang masih belia- menilai itu bukan cara yang tepat, karena kegiatan tersebut justru meminggirkan (excluded) pemain profesionalnya. Padahal merekalah yang justru harus disemangati dan didukung.

TERUS BAGAIMANA?
Lalu apa yang harus dilakukan? kalau budaya tradisional ini, untuk mudahnya kita asumsikan sebagai "komoditas", maka kita harus menanganinya dari dua sisi. Sisi supply dan sisi demandnya sekaligus. Dari sisi supply adalah menyiapkan pertunjukkan berkualitas yang memperhatikan dinamika perubahan preferensi. Profesionalisme tentu harus senantiasa ditingkatkan. Peranan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan para budayawan sangat fundamental.

Dari sisi demand, pembentukan manusia Indonesia yang apresiatif terhadap budaya bangsa melalui pendidikan dan penyuluhan jangka panjang perlu menjadi program pemerintah. Dalam jangka pendek, kata mbak Ira, hal praktis yang bisa dilakukan adalah membudayakan nonton bareng. Ide ini sangat menarik setidak-tidaknya secara konkrit dapat menghidupkan kegiatan berkesenian dan dapat menjadi solusi jangka pendek yang bisa direalisasikan. Bagaimana mewujudkannya tentunya banyak cara yang bisa dilakukan. Saya lihat ada beberapa cara antara lain, pertama mendorong kelompok masyarakat untuk menonton, baik pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat umum. Pemerintah termasuk pemerintah daerah melalui dana pembinaan budaya, generasi muda dan dana pariwisata mungkin bisa mewujudkan kegiatan ini. Kedua, mendorong pula sektor swasta, BUMN dan BUMD dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility)-nya berpartisipasi dalam kegiatan berkebudayaa. Tidak kalah pentingnya adalah menghimbau para philantropis untuk juga ikut mendukung program peningkatan apresiasi budaya ini.

Jumat, 22 Oktober 2010

PASANG SURUT ENERGI TERBARUKAN

Tahun 80an, ada Skenario Hari Kiamat atau "Doomsday Scenario" yang disusun oleh Pak Wiharso dari Departemen Pertambangan saat itu, yang memperkirakan terjadinya krisis energi akibat habisnya minyak bumi. oleh karena itu munculah ide perlunya mengembangkan energi alternatif yang berasal dari energi terbarukan (renewable energy)terutama energi biomassa atau energi kayu (wood energy). Saat itu direktorat Jenderal kehutanan sebagai anggota aktif dalam Komite Nasional Indonesia-World Energy Committee (KNI-WEC) segera memfokuskan penelitiannya pada masalah energi biomasa dan mendorong pengembangan penanaman jenis kayu bakar antara lain jenis tanaman Kaliandra (Calliandra spp). Saat itu, lokasi penanaman yang relatif besar terdapat di daerah Toyomarto, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Setelah itu program energi alternatif tersebut lenyap begitu saja, bak hilang ditelan bumi. Tanaman kaliandra di daerah Malang pun sudah berganti menjadi tanaman pertanian pangan, juga tanaman kaliandra ditempat lainpun berangsur hilang. Jenis kaliandra saat ini hanya dikenang sebagai tanaman kayu bakar dan di beberapa tempat masih bertahan sebagai tanaman inang dalam kegiatan perlebahan.

Tahun 2000an ketika minyak bumi mencapai harga sekitar 100 USD per barrel, timbul lagi kerinduan akan perlunya energi akternatif. Pemerintah mulai mengintroduksi tanaman jarak pagar (jathropa) ramailah wacana pengembangan tanaman jarak berskala besar. Tapi akhir-akhir ini tanaman jarak mulai hilang dari perbincangan nasional, kemudian muncul jenis nyamplung (Callophyllum inophylum) yang dianggap sebagai alternatif energi yang menjanjikan. Bahkan TNI telah memanfaatkan ymapkung sebagai pengganti dan kmplemen minyak diesel untuk peralatan tempurnya, walaupun masih dalam skala terbatas. Upaya penelitian untuk penyempurnaannya masih terus dilakukan. Namun demikian, animonyapun nampak menyurut.

Sementara Korea Selatan dan Jepang yang nampaknya memproklamasikan negaranya sebagai negara yang menggunakan energi hijau (Green Energy) akan menjadi negara yang memiliki energi alternatif yang berasal dari biomassa (bioenergy). Untuk mewujudkan cita-citanya mereka menggandeng beberapa negara berkembang termasuk Indonesia untuk menyediakan kayu sebagai bahan baku energi biomas tersebut. Saat ini Korea Selatan saat ini memiliki kilang pelet kayu di Wonosobo sebagai bahan baku energi terbarukan yang produk peletnya diekspor ke negaranya.

Nah, Indonesia walaupun memiliki lahan yang luas dan punya berbagai jenis tanaman yang menghasilkan energi, nampaknya akan segera ketinggalan oleh negara-negara lain yang justru bekerjasama dengan kita. Ini dikarenakan tidak adanya konsistensi yang ditunjukkan oleh ketiadaan komitmen jangka panjang yang dituangkan dalam bentuk program Energi Terbarukan Nasional yang solid dengan tahapan yang jelas serta komitmen pendanaan yang pasti, baik untuk penelitian maupun untuk pengembangannya.

Rabu, 20 Oktober 2010

Terbanglah Garuda ku (2): SARAN:

Pengalaman terbang dengan berbagai maskapai penerbangan khususnya maskapai asing telah memberikan pengalaman dan kesan tentang kenyamanan yang diinginkan penumpang. Terlebih lagi kalo harus terbang dalam waktu lama, misal lima jam atau lebih di udara. Terakhir terbang dengan Garuda ke Incheon Korea Selatan, merupakan pengalaman yang menyenangkan dengan pesawat baru dan pendekatan baru nampaknya Garuda sudah siap bersaing dengan maskapai lain. Namun demikian pengalaman soal pelayanan yang ditemui sepanjang perjalanan baik di udara dan di darat memberikan kesan juga bahwa kita masih bisa memperbaiki kualitas pelayanan demi kenyamanan pelanggan.

Flight attendant atau stewardess memegang peranan yang penting mulai dari penampilan maupun cara melayani. Saat ini pramugari dan pramugara memberi penghormatan kepada penumpang pada saat awal keberangkatan dan ketika akhir perjalanan. Ini hal baru yang positif, yang biasanya ditemui pada penerbangan dengan pesawat JAL. Dalam hal ini sepertinya kita perlu melirik pelayanan maskapai yang berbasis di Asia, seperti SIA, JAL, MAS, China Airlines dan Cathay Pacific. Dalam hal melayani penumpang untuk menaruh barang atau mencarikan tempat barang yang masih kosong, nampaknya SIA bisa ditiru kecekatannya. Pendekatan yang nampak lebih natural manakala berbicara atau menolong penumpang, Cathay sepertinya menawarkan keramahan yang menyenangkan. Ketulusan yang terpancar dari wajah manakala sedang berinteraksi dengan orang atau pelanggan sudah baik, namun masih bisa ditingkatkan.

Makanan terutama kualitas dan kelazatan makanan nampaknya perlu diperbaiki, untuk jalur luar negeri kualitasnya sudah baik mungkin soal rasa perlu ditingkatkan. Soal waktu dan kecukupan nampaknya Garuda sudah OK banget. Pengalaman menggunakan Qatar yang farenya relatif rendah ternyata menyajikan makan yang selain lengkap juga sesuai dengan selera Indonesia menjadi pembanding yang menarik juga. Dalam hal food and beverages, Garuda mampu bersaing, saya yakin banget.

Hiburan seperti film, musik, game dan seterusnya sudah bisa bersaing dengan maskapai penerbangan asing lainnya, apalagi dengan kursi yang lebih nyaman yang bisa diatur menjadikan penerbangan dengan Garuda sebagai sesuatu pengalaman yang menyenangkan. Yang perlu dlengkapkan adalah video mengenai olahraga ringan untuk menghilangkan kejenuhan dan rasa pegal bagi penerbangan yang berjangka waktu lama.

Ketepatan waktu atau punctuality Garuda sudah cukup baik, tentunya keterlambatan yang lama perlu terus dihindari, karena akan membuat penumpang sewot dan kahirnya tidak nyaman. Informasi leih awal dan transparan mengenai keterlambatan sangat dipujikan.

Bagaimanapun Garuda adalah Garuda kita juga, jadi manakala masih ada kekurangan ya kewajiban kita bersama untuk mengingatkannya, sehingga bisa menjadi maskapai yang membanggakan, jangan justru kita tinggalkan. Terbanglah wahai Garuda ku.......

RUMITNYA LINGKUNGAN: ECO-FRIENDLY?

Masalah pencemaran lingkungan telah sejak lama menjadi perhatian banyak orang, baik para ahli, politikus maupun masyarakat dunia. Mungkin masalah tersebut semakin menjadi masalah bersama, diawali ketika dilakukan pertemuan puncak tentang lingkungan di Rio de Janiero tahun 1992 yang lebih dikenal sebagai KTT Bumi. Pencemaran yang diakibatkan oleh pembakaran energi fosil yang meningkat sejalan dengan meningkatnya pembangunan terutama di negara-negara maju telah mengakibatkan semakin menumpuknya gas rumah kaca di atmosfir yang pada gilirannya menyebabkan memanasnya rata-rata temperature di bumi.
Upaya perbaikan kondisi tersebut kemudian menjadi perbincangan para pimpinan Negara dan semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap masalah lingkungan. Berbagai konvensi yang diigagas oleh Perserikatan Bangsa Bangsa seperti UNFF, UNFCCC, UNCBD dan UNCCD semua bertujuan memperbaiki kondisi satu bumi yang didiami oleh lebih dari 2 trilyun manusia.

PRODUK HIJAU
Kepedulian soal lingkungan tersebut ternayata telah mendorong perubahan perilaku konsumen yang menuntut agar setiap produk diproses melalui teknik yang ramah lingkungan. Di bidang kehutanan, khususnya perdagangan kayu di pasar internasional, menuntu agar kayu yang diekspor dihasilkan dari hutan yang dikelola secara lestari. Pengelolaan hutan lestari tersebut kemudian dicerminkan dalam bentuk sertifikat pengelolaan hutan lestari, sertifikat ekolabel. Sertifikat ini dikeluarkan oleh lembaga independen yang kredibel seperti FSC, SmartWoods pada level dunia atau Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tataran nasional.
Hal serupa terjadi juga pada sector lain, misalnya produk pertanian cenderung beralih dengan tidak menggunakan pupuk kimia tetapi lebih menggunakan pupuk organic. Dengan demikian produknya dikenal sebagai produk organik, kita kenal beras organic, sayuran organic dan buah organik.
Karena perubahan preferensi pasar yang menuntut produk yang lebih berwawasan lingungan, produsen barang-barang manufakturpun berusaha untuk membuat produknya sebagai produk hijau yang lebih ramah lingkungan. Beberapa tahun lalu, ramai kasus mainan dari china yang menggunakan cat yang memakai bahan yang berbahaya. Juga produk olahan susu yang diklaim menggunakan bahan-bahan beracun. Akibatnya produk tersebut harus ditarik dari peredaran. Kekuatan pasar telah mendorong munculnya produk yang lebih ramah lingkungan.

RUMITNYA PEMBUKTIAN
Apakah produk-produk yang mengkalim sebagai produk hijau sudah benar-benar ramah lingkungan dan tidak malah ikut mencemari lingkungan? Ternyata pembuktian itu bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk dibuktikan dan dibenarkan secara serta merta.
Misalnya Goleman (2009) mengatakan bahwa untuk membuat stoples diperlukan bermacam-macam bahan yang dalam prosesnya masing-masing juga memberikan pengaruh terhadap lingkungan, bukan hanya produk akhirnya saja. Lebih dari ratusan bahan yang dibuang ke air dan lebih dari 50 unsur yang dibuang ke tanah selama proses pembuatan produk akhir yang bernama stoples tersebut. Lebih dari 200 bahan diemisikan ke udara. Soda kaustik misalnya menyumbang 3% bahan yang berbahaya bagi kesehatan dan 6% berbahaya buat ekosistem. Artinya pada dasarnya tidak ada industri yang menghasilkan produk yang mutlak hijau tapi hanya relatif hijau. Ini barangkali yang lebih tepat, oleh karena itu kata Goleman penggunaan istilah eco-friendly tidaklah tepat.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

PROLOG
Perubahan iklim merupakan fakta dan fenomena yang kita rasakan saat ini. Kecenderungannya memprihatinkan bahkan menakutkan. Bagaimana mungkin? Kenaikan suhu 2 O C akan meningkatkan permukaan air laut karena salju di kutub yang mencair dan ini menenggelamkan Negara pulau, air laut juga akan masuk daratan pulau besar maupun benua. Sekitar 30% dataran rendah di Jakarta akan digenangi air laut. Perubahan iklim akan menyebabkan berubahnya pola iklim, hujan yang sangat panjang atau musim kering yang spertinya tidak mau berakhir dan seterusnya. Dan ini akan mempengaruhi produksi pertanian, pola tanam, pola serangan hama penyakit, termasuk juga pola serangan malaria dan seterusnya.
Artinya perubahan iklim akan mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia dan mahluk hidup di atas bumi ini. Oleh karena itu harus ada upaya agar kecenderungan perubahan iklim yang disebabkan banyaknya gas buangan yang ternyata semakin menyesaki atmosfir kita. Gas buangan atau gas rumah kaca (GRK) antara lain yang menyebabkan terjadinya pemanasan global yang mengarah pada perubahan iklim yang menjadikan iklim semakin sulit untuk diprediksi. Dua upaya yang banyak dibicarakan adalah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut.
Adaptasi dan Mitigasi
Kyoto Protokol dimana ada kewajiban Negara maju yang masuk dalam Annex 1 untuk menurunkan tingkat konsumsi energinya guna mengurangi emisi karbon yang tinggi dari sector industry, transportasi, dan rumah tangga. Kyoto protocol ini juga memunculkan skim CDM atau Mekanisme Pertembuhan yang Bersih. Dalam skim ini ada mekanisme dimana Negara maju mengalihkan kewajibannya menurunkan emisi karbon dengan melakukan penanaman hutan di negara-negara berkembang untuk mengoffset emisi karbon di negara maju. Mekanisme ini sendiri tidak berjalan memuaskan dah bahkan Kyoto Protokol akan berakhir tahun 2012 yad. Mekanisme tersebut akan digantikan dengan mekanisme REDD yaitu program pengurangan emisi dari upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. REDD bahkan REDD Plus, saat ini masih terus dinegosiasikan dalam kerangka UNFCCC.
Adaptasi adalah respon terhadap perubahan iklim yang merupakan upaya bagaimana manusia membiasakan diri dengan perubahan tersebut. Dari sisi individu kita misalnya mengatasi suhu udara yang semakin panas dengan memasang pendingin udara (AC) atau menjadikan lingkungan disekitarnya menjadi lebih teduh atau rimbun dengan menanam pepohonan. Mitigasi, berbeda dengan adaptasi, adalah upaya kita untuk ikut mencegah pemanasan global dengan mengatasi sumber penyebabnya. Misalnya mengurangi emisi dari penggunaan bahan bakar fosil terutama di negara-negara industri. Sementara hutan yang memiliki kemampuan menyerap karbon tentunya juga dapat berperan dalam upaya mengurangi emisi karbon tersebut.

LINGKUNGAN vs EKONOMI
Dari sisi peran hutan dalam perubahan iklim, ternyata untuk mengurangi emisi karbon kita memerlukan strategi yang berbeda dalam mengurus hutan. Tingkat deforestasi dan kerusakan hutan harus diturunkan agar hutan berperan dalam mereduksi emisi karbon tersebut. Skim yang disebut REDD ini tidak serta merta dapat disepakati karena cenderung mendorong agar hutan dibiarkan hutan dan tanpa melakukan kegiatan pemanfaatannya. Skim ini lebih menekankan pada upaya menjaga dan mengamankan hutan saja. Untuk itu perlu diberikan kompensasi akibat tidak dilakukannya pemanfaatan atas sumberdaya hutan tersebut.
Dalam perkembangannya skim REDD tersebut dianggap tidak adil oleh banyak Negara berkembang, mengingat banyak upaya konservasi dan penanaman hutan yang bermanfaat bagi upaya penurunan dan pengurangan emisi karbon, tetapi tidak dimasukan kedalam skim tersebut. Sebagai respon atas pandangan tersebut, kemudian dikembangkanlah skim yang disebut REDD Plus, dimana upaya konservasi dan penanaman hutan juga dihargai sebagai upaya mengatasi perubahan iklim tersebut.
Membiarkan hutan seperti apa adanya kemudian diberikan kompensasi nampaknya seperti sesuatu yang sangat sederhana. Akan tetapi kenyataannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Pertama, penetapan kompensasinya bukan hal yang sederhana, karena perlu perhitungan tentang karbon yang dapat diserap. Disini diperlukan metodologi dan baseline data sebagai basis penghitungan karbon. Makin rumit metodologinya makin runyam dan sulit bagi operator untuk mengaplikasikannya, apalagi bila hal tersebut harus dilakukan pada hutan milik, dimana masyarakat pemilik rata-rata mempunyai cara berpikir yang tidak secanggih para ahli yang memang sehari-harinya memikirkan metoda dan teknik tentang skim kompensasi yang tepat untuk kondisi hutan yang sangat beragam tersebut.
Kedua, pihak yang akan mengkompensasinya juga akan menetapkan persyaratan yang seringkali tidak mudah untuk dapat dipenuhi. Apalagi kalau penetapan syarat tersebut dilakukan secara unilateral. Komplikasi tersebut dapat mengaca pada skim CDM sebagai contoh yang sangat rumit, yang bahkan dapat dikatakan gagal. Ada kesan bahwa komitmen untuk memberi bantuan terkesan sangat tidak tulus ketika persyaratan menjadi begitu rumit dan sulit dicapai bahkan hal tersebut dapat dirasakan ketika program baru akan dimulai. Negara yang akan membantu pendanaan, walaupun akhirnya dana juga tidak dikucurkan, tetapi secara politis telah mendapat nama. Sementara Negara yang akan mendapat bantuan malah terkesan negative karena ketidak mampuannya memenuhi komitmen.
Yang terpenting justru pertanyaan apakah skim tersebut tidak menyebabkan terganggunya pembangunan? Tidak dilakukannya pemanfaatan yang secara konvensional telah menggerakan ekonomi dengan segala manfaat gandanya (multiplier effects) akankah dapat tergantikan dengan adanya dana kompensasi tersebut? Bagaimana dana kompensasi tersebut akan mampu menciptakan kegiatan ekonomi yang juga memiliki dampak ganda, masih merupakan tanda tanya besar. Oleh karena itulah langkah pemerintah dengan mendorong pendekatan incremental melalui proyek percontohan atau Demonstration Activities (DA) menjadi sangat penting dan strategis. Melalui DA tersebut dapat dipelajari banyak hal termasuk bagaimana mendistribusikan manfaat pada semua pemangku kepentingan, baik pada pemerintah pusat dan daerah maupun pada masyarakat yang langsung terkena dampak.

TANGGUNG JAWAB INTERNASIONAL
Upaya mengatasi perubahan iklim tentunya merupakan tanggung jawab semua negara di dunia bukan hanya tanggung jawab negara berkembang saja atau negara maju saja, tapi semua Negara memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Istilahnya adalah equal but different responsibility.
Hanya saja fenomena yang menggejala dengan akan berakhirnya era Protokol Kyoto, dimana upaya negara maju yang termasuk dalam Annex 1 yang memiliki kewajiban menurunkan tingkat konsumsi energinya menjadi semakin tidak terdengar, sementara peran negara negara berkembang yang sebenarnya bersifat sukarela yaitu melalui skim REDD dan REDD Plus nampaknya semakin mengemuka. Bahkan seakan-akan upaya mengatasi perubahan iklim ditimpakan sepenuhnya pada negera-negara berkembang melalui konvensi-konvensi yang diinisiatifi oleh badan-badan dibawah PBB.
Padahal upaya mengatasi perubahan iklim tersebut merupakan kerjabersama (collective action) seluruh bangsa di dunia ini. Oleh karena itu kewajiban dari negara Annex 1 harus juga dipenuhi, demikian pula kewajiban negera berkembang perlu juga dipenuhi. Negara-negara berkembang pada umumnya menghadapi masalah pendanaan, oleh karena itu perlulah ada semacam dana untuk melaksanakan REDD Plus. Masalah pendanaan untuk kegiatan REDD Plus sampai saat ini masih terus dibahas, dan diharapkan kelak pada waktu yang tidak terlalu lama dapat ditemukan mekanisme pendanaan yang akuntabel dan efektif serta efisien.
Pertumbuhan Ekonomi (economic growth)
Sejarah panjang negara maju menjukkan pada bahwa mereka memulai pembangunan ekomominya dengan memanfaatkan sumberdaya alamnya, baikhutan maupun kekayaan mineralnya. Membuka hutan untuk pertanian, menggali tambang untuk menggerakan industri mereka dan meninggalkan kerusakan lingkungan dan hilangnya hutan mereka secara signifikan. Barulah setelah mereka menjadi kaya, terjadi akumluasi kekayaan (wealth accumulation) mereka memikirkan bagaimana memperbaiki lingkungan. Barulah setelah itu kesadaran muncul mengenai perlunya lingkungan yang baik, termasuk perlunya hutan yang terpelihara dengan baik dan semakin banyaknya pembangunan hutan-hutan di daerah perkotaan. Sementara lahan di daerah perdesaannya, yang semula terbiarkan kemudian menjadi hutan-hutan baru.
Secara alamiah sebenarnya negara-negara berkembang pada dasarnya mengikuti tahapan tersebut, namun hal itu terjadi justru ketika kesadaran lingkungan di Negara-negara maju sudah sedemikian tinggi, sehingga praktek di negara-negara berkembang yang notabene meniru pola Negara maju, dianggap salah. Karena dianggap bukan cara yang baik didalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka miliki. Bahkan pandangan tersebut jelas terlefeksikan secara baik dalam skim REDD. Apa yang dilakukan negara berkembang adalah tindakan yang normal pada waktu yang salah. Pertanyaannya bolehkah negara-negara berkembang membangun dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk mengejar ketertinggalan dari Negara maju? Hak untuk membangun bagi mensejahterakan rakyatnya adalah masalah hak manusia (human right) pada tingkat negara atau nasional.
Suatu Negara tentu dibangun untuk tujuan mensejahterakan kehidupan masyarakatnya. Untuk itu pemerintah yang mendapat mandat untuk menyelenggarakan pemerintahan sudahbarang tentu akan melakukan berbagai usaha untuk member kehidupan yang layak bagi rakyatnya, cukup sandang, pangan, tempat tinggal yang baik, pekerjaan yang layak, pendidikan, layanan kesehatan dan seterusnya. Pemerintahan yang efektif tentu pula memerlukan kelembagaan yang meliputi organisasi, peraturan dan perangkat hukum baik kebijakan, aturan operasional dan pengawasan serta penegakan hukum agar segala sesuatunya dapat berjalan secara sistematis, teratur dan disiplin.
Salah satu caranya adalah memanfaatkan sumberdaya yang ada terutama sumberdaya alamnya dengan kemampuan sumberdaya manusia yang ada. Sumberdaya alam seperti hutan, tambang merupakan salah satu modal yang biasanya digunakan untuk menggerakan roda pembangunan yang diperlukan. Ekses atau dampak negative selalu ada baik berupa rusaknya lingkungan, pencemaran udara dan air yang menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Dengan demikian memang diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dimana kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan dapat terwujud secara berdampingan tanpa saling mendominasi satu dengan lainnya. Pengelolaan hutan secara lestari, penambangan yang ramah lingkungan, pembangunan pertanian yang memperhatikan aspek lingkungan seperti konservasi tanah yang baik adalah keharusan.
Banyaknya praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak lestari yang banyak terjadi berakibat pada rusaknya lingkungan, tercemarnnya sumber air, hilangnya keragaman hayati, pencemaran udara dan seterusnya turut membentuk sikap yang anti pembangunan walaupun merekapun mencita-citakan kehidupan yang lebih baik, tingkat kesejahteraan yang kira-kira menyamai mereka yang hidup di negara maju.
Tingginya tingkat deforestasi dibanyak negara berkembang sangat mengkhawatirkan karena akan berdampak pada hilangnya stok karbon pada hutan tersebut dan hilangnya kemampuan menyerap karbon di atmosfir. Sementara kebutuhan untuk membangun areal pertanian baru seperti pencetakan sawah baru, perluasan kebun kelapa sawit, kelapa, kopi dan karet, membangun daerah industri, membangun hutan tanaman adalah sesuatu yang wajar untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk yang notabene akan meningkatkan permintaan pangan, kayu untuk perumahan, kertas, barang-barang manufakturing dan berbagai sarana dan prasarana termasuk kebutuhan energi bagi kehidupan yang lebih baik.
Banyak contoh adanya suku atau kelompok masyarakat yang mampu hidup berharmoni dengan alam dan mempraktekan hidup sederhanan, seperti masayarakat Badui di Banten, suku Anak Dalam di Jambi. Mereka menerapkan kearifan lokal (local wisdom) dan mampu bertahan hidup dari waktu ke waktu dari satuke generasi berikutnya. Kelompok masyarakat atau suku-suku tersebut melakukan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut pada level subsisten, secukupnya dan cenderung tidak ekstraktif (non-extractive use). Pada tingkat nasional, adalah Negara Bhutan yang telah mengintroduksi konsep Gross National Happines (GNH) sebagai substitusi dan komplemen terhadap konsep Gross National Products (GNP). Konsep GHN tersebut lebih memperhitungkan hal yang bersifat kualitatif seperti perasaan bahagia (happiness) yang pada umumnya lebih merupakan konsep masayarakat timur.
Apakah kehidupan seperti mereka yang harus diikuti sehingga permintaan yang banyak ragamnya menjadi berkurang dan tekanan terhadap alam menjadi berkurang pula? Cara hidup suku atau kelompok masyarakat tersebut sepertinya bukan standar hidup atau kehidupan yang dibayangkan atau yang dicita-citakan banyak orang Indonesia ataupun oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

EPILOGUE: Lalu apa?
Dari uraian tersebut nampak banyak hal yang terpengaruh oleh perubahan iklim, banyak pula yang harus dilakukan di dunia yang penuh dengan kesenjangan baik antar negara (country gap) maupun kesenjangan antar individu (individual gap) dalam pelbagai aspek. Beberapa langkah yang harus diambil adalah:
1. Adaptasi dan mitigasi merupakan dua hal yang harus berjalan bersama, demikian juga negara maju dan negara berkembang masing-masing harus melakukan kewajibannya tidak menimpakan beban yang berat pada satu pihak, khususnya pada negara berkembang.
2. Harus ada transfer dana dari Negara maju ke Negara berkembang untuk melaksanakan REDD Plus mengingat keterbatasan sumberdaya domestiknya.
3. Penyiapan sumberdaya manusia dan kelembagaan yang mampu menghadapi perubahan iklim dengan melakukan baik adaptasi maupun mitigasi pada semua tingkatan baik, internasional, nasional maupun sub-nasional.
4. Perlu dikembangkan aksi bersama (collective action) baik pada tingkat global, nasional maupun pada tingkat sub-nasional. Tidak mungkin satu Negara saja atau satu sector saja memecahkan masalah yang sarat barang publiknya.
5. Perlu ada keseimbangan konsumsi energi dan level pembangunan yang harus dicapai oleh semua Negara. Perlu dikembangkan arah pertumbuhan ekonomi baru (a new economic growth path) dengan memanfaatkan kearifan dalam berharmoni dengan alam yang disesuaikan dengan kondisi dan target riil masa kini.

BISA EFEKTIFKAH REDD+?

Pemerintah sudah mencanangkan menuurunkan emisi karbon sebesar 26% dari tingkat bisnis seperti biasa (BAU) pada tahun 2020, bahkan dengan bantuan eksternal dapat dicapai penurunan sebesar 41% pada tahun yang sama. Presiden mencanangkan hal tersebut pada pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat.

REDD+ adalah upaya menurunkan emisi dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan serta upaya peningkatan karbon stok melalui penanaman hutan baru dan pemeliharaan kawasan konservasi. Kedua kegiatan terakhir yaitu penanaman dan konservasi masih terus diperbincangkan di forum UNFCCC.

Dalam kaitannya dengan REDD+< pada saat ini Indonesia sudah dalam tahap Readiness yang kegiatannya antara lain:
1. membangun prakondisi seperti menyusun peraturan sebagai dasar hukum melalui PP, Perpres, Permen dst. Termasuk memperkuat kelembagaan dan penguatan kapasitas melalui pelatihan dan pendampingan.
2. Membangun Demonstartion Activities (DA) yang saat ini dilakukan melalui kerjasama bilateral antara lain dengan Australia, Jerman, dan UN-REDD.

Mengingat REDD+ ini barang baru, pertanyaannya adalah akankah pelaksanaannya di lapangan berjalan efektif? Tentu beberapa hal perlu dibenahi. Pertama, koordinasi dan pemahaman yang sama antara pemerintah pusat dan daerah srta para stakehoders sangat perlu. Kedua, ekspektasi mengenai pembagian manfaat perlu didiskusikan secara terbuka dan disepakati sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Ketiga, karena menyangkut site yang berada di lapangan, maka kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah mutlak diperlukan. Masalah tenurial juga akaj bisa menghambat bila tidak diselesaikan diawal, mengingat banyaknya tumpang tindih penguasaan dan perijinan atas lahan yang dijadikan lokasi REDD+, bahkan termasuk juga kemungkinan adanya klaim masyarakat. Kerumitan ini tentu perlu diselesaikan di depan.

Biaya tentu perlu dikeluarkan untuk mempersiapkan prakondisi tersebut. Dan ini mungkin kegiatan yang harus didanai dan dikerjakan terlebih dulu secara serius bila REDD+ ingin berhasil.

Selasa, 19 Oktober 2010

HILANGNYA RASA EMPATI

Ada pepatah yang berbunyi: sudah jatuh tertimpa tangga. Artinya musibah yang datang beruntun yang menimpa seseorang. Banyak kejadian pada saat dimana seseorang terkena musibah,tidak dibantu oleh temannya malah disukurin. Misal, ada orang tertabrak motor, alih-alih dibantu malah diomelin. "Sukurin lu, itu sih gak patuhi aturan lalu lintas". Tentu tak ada yang salah dengan statemen tersebut. tapi dalam konteks terjadinya kecelakaan, yang sepatutnya perlu dilakukan adalah menolong korban dan bukan menyalahkan korban.

Dalam hal tersebut yang diperlukan adalah 'empati', yaitu perlunya ada kepekaan untuk merasakan masalah orang lain. Menurut Kamus Amerika, empati atau memahami perasaan orang lain adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami perasaan dan kesulitan yang dihadapi orang lain. Ternyata rasa itu umumnya sudah mulai luntur, artinya rasa empati tersebut cenderung makin menurun.

Mengapa rasa empati tersebut bisa menurun atau bahkan hilang? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, pertama,orang tersebut memang tidak peka, terlalu individualistis, selfish atau memiliki sikap yang acuh tak acuh. Tentu saja tipe orang ini memang bisa digolongkan menjadi manusia yang asosial. Kemungkinan yang kedua,orang tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk menolong atau bahkan menduga bahwa pasti sudah ada orang lain yang akan menolong korban. Ketiga, orang tidak berempati mungkin memiliki kaitan kepentingan dengan seseorang yang sedang terkena musibah. Misalnya ketika pesaing mengalami musibah, orang yang merasa disaingi malah cenderung senang bahkan kalau perlu ikut membuat pesaingnya lebih menderita. bukan empati yang muncul. Seringkali orang berkenderungan berpendapat bahwa posisi atau kedudukan adalah kekuasaan yang harus direbut at all costs.

Alangkah indahnya hidup ini apabila seseorang justru ikut berempati ketika pesaing mengalami musibah. Dia berusaha keras untuk meringankan beban yang sedang dihadapi pesaingnya, bukan justru menambah kesulitannya. Inilah model persaingan yang bermartabat yang lebih didasarkan kapasitas dan kemampuan. Dan model inilah yang harus kita kembangkan dimasa mendatang.

Rabu, 13 Oktober 2010

Menarik lebih banyak turis

Upaya pemerintah meningkatkan pendapatan atau devisa dari turisme nampaknya menunjukkan peningkatan, walaupun masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Kunjungan turis ke Indonesia masih jauh dari angka 5 juta turis per tahun, bandingkan dengan negara Itali yang mencapai lebih dari 50 juta turis dalam setahunnya. Program Visit Indonesia Year misalnya telah dirancang dengan baik, namun nampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras lagi.

Mengapa begitu sulit mendatangkan lebih banyak turis ke negeri ini yang memiliki banyak potensi atraksi turisme, baik budaya, keindahan alam,peninggalan purbakalanya maupun keramah-tamahan Indonesia. Banyak memang yang masih perlu dibenahi, mulai dari kebersihan dan kenyamanan bandara internasional sebagai pintu gerbang Indonesia sampai ke masalah sarana dan prasarana turisme.

Sampai saat ini, kalau kita di LN mengaku berasal dari Indonesia, pasti mereka otomatis bereaksi: Bali? Begitu terkenalnya Bali, sampai kitapun terpengaruh dan lupa mempromosikan daerah lain. Bali memang memiliki keunikan yang luar biasa, budayanya, keindaham alamnya, ramah tamahnya, ritual agama dan tradisinya yang sangat kaya, sara dan prasarana yang memadai merupakan daya tarik yang kuat bagi turis untuk berkunjung dan berkunjung lagi ke pulau yang dikenal sebagai pulau Dewata itu. Sebagai aset nasional Bali perlu terus dipelihara dan dikembangkan, namun demikian daerah lainpun harus didorong menjadi destinasi turis baru.

Pemerintah harus membuat kebijakan untuk misalnya membangun lebih banyak daerah sebagai tujuan wisata bisnis dan konperensi. Kegiatan konperensi segitiga tentang terumbu karang (Coral Reef Triangle Conference) di Menado adalah upaya yang perlu ditingkatkan frekuensinya. Atau rencana penyelenggaraan Sea Games di Palembang adalah hal yang sangat positif. Begitu banyak tujuan wisata yang bisa kita tawarkan, Banda Aceh dengan pulau Sabangnya, Medan dengan danau Tobanya,Sumatera Barat dengan jam gadangnya dan seterusnya di pulau Sumatera. Pulau Derawan, hutan Meranti, pusat rehabilitasi orang utan di Kalimantan; TN Bunaken, Tanah Toraja di Sulawesi; Kebun cengkeh dan gn Gamalama di Maluku; Puncak Salju, Raja Ampat dan budaya Asmat di Papua; peninggalan berupa candi-candi peninggalan kerajaan mataram kuno di Jawa; atau perburuan paus secara tradisional di Nusa Tenggara dan seterusnya.

Yang penting adalah adanya upaya serius dari pemerintah untuk mendiversifikasikan daerah tujuan wisata dan mulai membuat prioritas daerah mana yang akan dikembangkan terlebih dulu mengingat keterbatasan dana. Dalam hal ini peran dan kesamaan visi dan langkah pemerintah pusat dan daerah mutlak diperlukan, mengundang pihak swasta nasional juga tidak kalah pentingnya untuk digarap dalam kerangka kebijakan pengembangan turisme. Dengan demikian insya Allah target 5 juta wisatawan per tahun akan mudah terlampaui.

Selasa, 12 Oktober 2010

Terbanglah Garuda ku

Sempat kita terhenyak mendengar berita bahwa perusahaan penerbangan Inonesia, termasuk Garuda, tidak boleh memasuki udara Eropa. Alasannya adalah faktor keselamatan dari pesawat-pesawat yang diragukan, mungkin karena safety standard yang sangat ketat yang diterapkan EU tidak bisa kita penuhi. tetapi seingat saya, juga dipicu banyaknya kecelakaan pesawat yang terjadi di tanah air, walaupun tidak melibatkan Garuda. Sedih dan malu, segitunya kita dimata Eropa. Tapi hikmahnya adalah adanya waktu jeda yang memberi kesempatan pada kita untuk bebenah agar lebih baik.

Sekarang Garuda sudah kembali mengepakan sayapnya di udara Eropa, dan mungkin segera disusul oleh maskapai penerbangan swasta nasional lainnya. Garuda adalah "the national carrier" yang menjadi salah satu icon Indonesia yang cukup dikenal di dunia. Ada kebanggaan ketika kita mendarat di bandara-bandara internasional manapun, dan kita melihat ada pesawat berlogo Garuda.

Maskapai Garuda tentu paling bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pelayanan mulai dari darat sampai diatas pesawat, keamanan dan kenyamanan termasuk ketepatan waktu, harga tiket yang kompetitif, sistem tiketing, kemudahan dalam check-in dan seterusnya. Pengalaman terakhir ke Korea Selatan dengan menggunakan Garuda memberi kesan kuat bahwa Garuda sudah bisa disejajarkan dengan maskapai internasional lainnya. Pesawat baru, reclining seat, kualitas makanan yang mantap dan pelayanan yang ramah. Pokoknya berani bersaing lah.

Seringkali kita masih mendengar teman mengeluhkan pelayanan Garuda, dan cenderung lebih memilih maskapai asing seperti SIA, Cathay, Lufthansa, MAS, KLM, Quantas, JAL dan seterusnya. Tentu tidak salah, karena itu merupakan preferensi pribadi. Tetapi ketika tanggung jawab moral kita sebagai bangsa dipertanyakan, saya pikir kita juga yang harus secara bersama-sama membesarkannya. Di kalangan pegawai negeri sudah ada aturan untuk menggunakan penerbangan nasional ketika bepergian ke Luar Negeri, sepanjang maskapai kita menyediakan pelayanan pada rute tersebut. Kepada semua pihak tentu perlu kita himbau untuki menggunakan maskapai nasional. Kalaupun ada keluhan, bukan berarti kiita harus meninggalkannya, akan tetapi lebih baik kita langsung memberi saran dan masukan untuk perbaikannya ke depan.

Lihatlah bagaimana China dan India menghargai produk nasionalnya, betapa mereka bangga menggunakan produk nasionalnya. Karena ternyata hanya dengan cara itu antara lain, mereka bisa menumbuhkan ekonomi melalui dukungan terhadap produk-produk yang dihasilkan bangsanya sendiri. Pembentukan permintaan oleh manusia Indonesia akan mampu memperkuat basis ekonomi dan kemampuan teknis dari maskapai pernerbangan nasional tersebut. Banggalah ikut membantu usaha bangsa kita sendiri. Dengan saling bergandengan tangan, yakinlah kita bahwa bangsa Indonesia mampu duduk sama tinggi dengan negara-negara lain di dunia ini. Kitapun bisa melakukan itu untuk Garuda.

Terbanglah selalu wahai Garuda ku.