Minggu, 27 Februari 2011

DILEMMA JUAL BELI KARBON

Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim, ternyata membuka peluang baru dalam kaitannya dengan upaya mengurangi pemanasan global. Sebagaimana kita ketahui pemanasan global ini disebabkan karena banyaknya gas rumah kaca, seperti karbon, methan, dan sebagainya yang dibuang ke atmosfir akibat banyaknya pembakaran energi yang meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan ekonomi, terutama di negara-negara maju. Nah, hutan ternyata merupakan sumber daya alam yang terbarukan yang mampu menyerap karbon, sehingga keberadaannya diharapkan akan mampu mengurangi pemanasan global. Disinilah peran hutan sebagai penyerap dan sekaligus karbon membuka peluang baru, yaitu jual beli karbon.

Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada dua pihak yang terlibat. Pertama, yaitu negara maju yang tingkat konsumsi energinya sudah terlanjur tinggi, dan tentunya akan mengalami kesulitan untuk mengurangi emisi karbonnya, kecuali dengan jalan menurunkan standar hidupnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah negara-negara yang dalam Protokol Kyoto masuk dalam kelompok negara Appendix 1. Kelompok kedua, adalah negara-negara berkembang terutama di wilayah tropis yang memiliki hutan yang dapat dipertahankan sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Negara berkembang menjual kemampuan menyerap karbon dan negara maju membeli kemampuan tersebut baik dalam skim pasar karbon (carbon market) atau dana kompensasi karbon (Carbon fund).


Karbon:Barang gaib yang tak jelas penampakannya
Yang menarik disini, barang yang diperjual belikan adalah karbon, komoditi yang secara fisik tidak terjamah. Berbeda bila kita membeli kayu, getah, damar, meja, nbuah, daging beras dan seterusnya, barangnya nampak dan semua orang bisa melihatnya. Sementara karbon berupa gas yang tidak kasat mata. Tapi pembeli dan penjualnya yakin bahwa karbon yang diperdagangkan tersebut ada dan tersimpan didalam tegakan hutan. Masalahnya adalah berapa besar karbon yang tersimpan dalam tegakan hutan yang kemudian menjadi "komoditi" yang diperjual belikan. Dan jumlah karbon tersebut harus dihitung oleh para ahli. Kandungan karbon tentunya akan berbeda dari satu ke lain jenis tanaman, berbeda menurut umur tanaman, berbeda dari satu bagian ke bagian lain dari tanaman, berapa jumlah tanaman setiap jenis tersebut dalam hamparan dan seterusnya. Para ahli sedang mencari metode penghitungan yang simpel, sehingga kelak pengukurannya akan mudah dilakukan oleh semua pihak.

Bayar tapi Keri (tertinggal)
Yang membeli, tidak pernah memebawa barangnya pulang ke rumah atau kenegaranya. Tetapi membiarkan tegakan yang mengandung karbon tersebut ditempatnya. Jadi tidak ada istilah cash and carry tapi bayar dan barangnya ditinggal ditempat semula atau "keri". Lalu setiap saat pembeli merasa was-was apakah barangnya tetap ada atau hilang. Sehingga pembayaran dimuka (upfront)bisa menyebabkan penyakit gelisah karena pembeli selalu kepikiran barangnya yang gaib itu jangan-jangan hilang, karena tegakannya hilang atau memang barangnya menguap.

Sementara penjual tetap berkewajiban menjaga agar tegakannya tetap ada tidak tercuri, karena bila tegakan rusak yang berarti karbon nya menghilang, maka pembayaran atas karbon bisa menjadi berkurang atau dikurangkan dari kesepakatan awal. Akibatnya sebagian besar atau mungkin sebagian besar dana kompensasi atau uang pembayaran karbon yang diterima hanya cukup untuk menjaga tegakan atau hutan yang "dijualnya" tersebut. Tapi kurangnya pohon karena tercuri misalnya tidak selalu berarti karbon total nya berkurang, mungkin saja pertumbuhan pohon-pohon lain dalam hamparan yang sama, telah meningkatkan jumlah karbon melalui proses pertumbuhan. Tapi sebaliknya pembeli bisa mengklaim bahwa karbon total nya berkurang. Dalam hal ini tentu diperlukan pihak ketiga netral yang terpercaya yang bisa menghitung apakah barang 'gaib' yang dipermasalahkan tersebut tetap atau berkurang jumlahnya.

Harga yang disepakati bisa juga menjadi masalah ketika penjual memiliki daya tawar yang lebih rendah dari pada pembeli yang lebih menguasai permasalahan perkarbonan. Akibatnya biaya kesempatan (opportunity cost) bagi penjual karbon menjadi terlalu besar dalam arti ada kegiatan ekonomi lainnya yang jauh lebih menguntungkan dari pada menjual karbon dan menjaga hutan. Tetapi kegiatan ekonomi lain yang lebih menguntungkan dan menyehatkan. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran melalui demonstration activities mutlak perlu, kalau tidak kita tetap bak membeli kucing dalam karung.

Selasa, 22 Februari 2011

BIROKRASI MENGHAMBAT (KAH?)

Birokrasi Menghambat. Itu judul di harian Kompas, Selasa 22 Februari 2011 pada halaman 2. Dalam berita yang dikutip harian tersebut, Presiden mengatakan:"Pemerintah Pusat, terutama birokrasi, sering lambat dan bahkan tidak sejalan dengan perencanaan". Pernyataan presiden tersebut tentu berkaitan dengan banyaknya keputusan yang diambil pada rapat kabinet yang tidak ada tindak lanjutnya. Dan ini memang penting ketika banyak kebijakan pemerintah dalam upaya membuat terobosan yang tujuannya untuk mempercepat pembangunan atau mendorong percepatan kegiatan ekonomi ternyata tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Kerisauan ini tentu beralasan ketika pemerintah merancang Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (PPEI) yang antara lain akan menggerakkan BUMN untuk mendanai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang akan membutuhkan investasi sebesar 90 Miliar dollar AS.

Citra lambat dan menghambat tersebut lebih jelas lagi ketika menyimak pernyataan Sekretaris Kabinet pak Dipo Alam yang mengatakan, "Jika eselon 2 dan 1 menghambat itu urusan saya'....Kalau mereka menghambat, mereka akan terus dilibas". ,

Lha..ada apa toch dengan Birokrasi?

Sebelum kita bicara jauh, perlu terlebih dahulu memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan birokrasi itu. Pengertian birokrasi sesungguhnya memiliki konotasi organisasi yang rasional dan efisien. Logikanya mirip dengan logika suatu pabrik yang memiliki tahapan-tahapan produksi, dimana ada hirarki kewenangan dan spesialisasi yang memungkinkan terselesaikannya pekerjaan besar dan kompleks secara efisien. Dengan demikian, pada dasarnya tujuan birokrasi adalah bagaimana kita mengimplementasikan tindakan atau kegiatan dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan dan misi organisasi tersebut secara efisien dan efektif.

Birokrasi tidak bisa berjalan kalau tidak ada yang menjalankannya. Yang menjalankan birokrasi tersebut adalah orang atau kelompok orang yang disebut birokrat. Siapa birokrat itu? Menurut sosiolog Jerman yang bernama Max Weber, birokrat adalah orang yang memiliki perilaku, kompetensi teknis, loyalitas untuk menjalankan tugas sesuai dengan aturan; dan yang dibutuhkan oleh organisasi untuk menduduki suatu jabatan tertentu pada jenjang hirarki tertentu. Dia harus bekerja penuh waktu (full-time), oleh karena itu dia tidak boleh memiliki pekerjaan sambilan. Sebagai kompensasinya, birokrat berhak atas insentif berupa gaji yang memadai dan kepastian atas jenjang karier sepanjang masa kerjanya.

Nah masih menurut Weber, seorang birokrat harus melakukan penilaian (judgment) dan menerapkan keahliannya, tetapi tetap dalam kerangka melayani otoritas yang lebih tinggi (a higher authority). Tanggung jawab birokrat adalah terbatas pada menjalankan sebagian kewenangan dan tugas yang dibebankan padanya serta harus mengorbankan penilaian pribadinya, ketika penilaian pribadinya itu berbeda atau bertentangan dengan tugas dari organisasi yang dia emban.

Hal lain yang juga penting adalah pengawasan birokratis yang meliputi kepatuhan terhadap hukum, aturan dan otoritas resmi sebagai pedoman kerja, Termasuk ke dalam pengawasan ini adalah semua yang berkaitan dengan anggaran, laporan pekerjaan (statistical reports) dan penilaian kinerja yang amat penting untuk mengatur perilaku dan memastikan hasil.

Dari uraian mengenai birokrasi dan birokrat tersebut, secara teori, sebenarnya tidak perlu muncul keluhan bahwa birokrasi lambat dan menghambat. Tapi prakteknya ternyata berkata lain. Lalu mengapa masalah itu terjadi? Mari untuk menyederhanakannya kita fokus saja pada dua hal besar, yaitu pertama birokrasi sebagai mesin penggerak, dan kedua adalah operator yaitu birokratnya.


ANALOGI: antara Mesin dan operator
Percepatan atau akselerasi tentu membutuhkan mesin yang memiliki kemampuan lari yang cepat bak mobil formula (F-1). Pertanyaannya apakah mesin birokrasi saat ini masih bisa dipacu? Tentu pertanyaan ini harus segera dijawab dengan melakukan analisis cepat dan segera memperbaiki atau menyempurnakan komponen-komponennya apabila ternyata ditemukan kelemahan-kelemahan tersebut. Apakah koordinasi antara komponen mesin berjalan baik? Disinilah peraturan dan mekanisme tata hubungan kerja menjadi sangat penting untuk dikaji, jangan-jangan ada kabel penghubung antara komponen yang sudah tidak memadai, obselete dan rusak yang perlu segera diganti. Mungkin saja komponen mesin masih berfungsi baik tetapi spesifikasinya tidak pas, maka ketika dirakit menjadi satu kesatuan yang seharusnya dapat bersinergi dan diharapkan menjadi sebuah orkestra yang indah, ternyata yang munculk adalah suara musik yang tidak menentramkan. Artinya tidak berjalan optimal.

Bayangkan, suatu sektor tentu akan bekerja sesuai dengan mandatnya dan tentu pula akan berlandaskan pada Undang-Undang sektornya serta peraturan-peraturan sebagai penjabaran dari UU tersebut. Lalu bagaimana dengan aturan pada sektor lain yang berkaitan? Walau masing-masing Undang-undang telah mengatur sektornya dengan baik, tapi jangan-jangan tidak kompatibel dengan sektor lain, kalau tidak ingin mengatakan bertentangan. Ini salah satu hal yang krusial untuk dikaji secara cepat dan dicarikan solusinya. Bila tidak, maka tidak akan ada yang berani mengambil keputusannya. Akibatnya jelas, kendaraan ekonomi kita tidak akan bergerak kemana-mana.

Mari sekarang kita bicara operatornya. Seperti kata Weber, birokrat adalah orang yang harus kompeten dan memiliki keahlian teknis yang diperlukan pada posisinya masing-masing. Dia harus mampu melakukan penilaian sesuai dengan kewenangannya dan patuh pada atasannya. Disini harus ada pembagian tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang posisi. Apakah itu tanggung jawab teknis, administrasi ataupun tanggung jawab atas kebijakan. Keterbatasan kewenangan dan tanggung jawab ini harus menjadi perhatian ketika suatu penilaian kinerja diterapkan. Birokrat yang tidak mampu perlu digeser ke tempat yang lebih pas melalui mekanisme karier yang baku. Birokrat yang nakal dan tidak bertanggung jawab yang sengaja melambat-lambatkan pekerjaan karena sesuatu hal yang tidak benar (abuse of power, rent seeker dan seterusnya), walaupun sebenarnya mampu, harus diganti dan ditindak sesuai dengan peraturan yang ada serta tidak ditempatkan pada jabatan penting, karena akan mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan. Mungkin birokrat semacam ini yang menurut Sekretaris Negara perlu dilibas.

Apa yang sebenarnya terjadi?
Banyak terobosan yang penting yang harus dilakukan ternyata menyentuh beberapa peraturan perundangan dari berbagai sektor yang seringkali pula peraturan-peraturan tersebut tidak sinkron. Dari pengalaman, seringkali kebijakan terobosan yang berkaitan dengan perundangan-undangan beberapa sektor yang harus diambil, tidak cukup dipayungi oleh baju hukum yang jelas dan tegas, sehingga birokrat tidak dapat dengan nyaman berani meng-excercise kewenangannya tanpa rasa khawatir bahwa di satu hari kelak -baik ketika masih menjabat, apalagi bila sudah pensiun -tindakannya yang diambil karena mengikuti perintah atau otoritas yang lebih tinggi tidak akan akan bermasalah secara hukum. Yang paling krusial untuk dilakukan pada saat membuat terobosan-terobosan adalah segera membuat payung hukum agar dapat dihindari kemungkinan terlanggarnya ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman yang riil adalah ketika pemerintah tidak berani mengambil keputusan untuk mengizinkan 13 perusahaan tambang yang sesungguhnya sudah memiliki kontrak karya untuk beroperasi di kawasan hutan lindung yang diterbitkan sebelum diterbitkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka akhirnya dibawa ke DPR. Melalui pproses yang cukup panjang dan makan waktu, DPR akhirnya memutuskan bahwa ke 13 perusahaan tersebut diizinkan untuk beroperasi di hutan lindung.

Lalu?
Untuk hal-hal yang sangat urgent sebagimana diulas sebelumnya, maka payung hukum dari setiap terobosan yang akan dilakukan oleh pemerintah nampaknya perlu dibuat, karena selama ini hambatan yang paling sering terjadi adalah ketika birokrat tidak berani mengambil tindakan bilamana diperhitungkan bahwa terobosan itu mengandung risiko hukum. Oleh karena itu untuk hal-hal yang demikian maka otoritas yang lebih tinggi harus turun tangan dan kedua, dalam proses pengambilan keputusan nampaknya perlu melibatkan pihak penegak hukum, sehingga sejak dini legal aspeknya sudah dapat diselesaikan. Bilamana hal ini bisa diatasi hal teknis lainnya nampaknya bisa lebih mudah diatasi dan upaya percepatan bisa segera diwujudkan.

Minggu, 20 Februari 2011

JENIS LEBAH MADU DI INDONESIA

Hampir semua orang Indonesia pernah minum madu atau setidak-tidaknya tahu bahwa ada produk yang bernama madu. Khasiat madu banyak ditulis di media dan bisa dibaca pada banyak literatur kita. Nah buat pencinta lebah madu, ini ada data/fakta tentang lebah yang memproduksi madu dan kondisinya di Indonesia:

Lebah Hutan (Apis dorsata):
Jenis lebah ini merupakan jenis lebah yang belum dapat dibudidayakan. Umumnya hidup secara alami di hutan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan Nusa Tenggara. Kondisinya semakin terancam punah karena pembalakan hutan dan terkahir diindikasikan terdampak oleh perubahan iklim.

Lebah lokal (Apis cerana):
Merupakan species lebah lokal yang umum dibudidayakan oleh masyarakat di pedesaan sebagai kegiatan sampingan. Populasinya masih cukup banyak, tetpi juga semakin rentan akibat penggunaan pestisida dan perubahan iklim.

Lebah kerdil (Apis florea):
Hanaya ditemukan specimennya di museum. Di lapangan, saat ini tidak pernah dilaporkan keberadaannya.

Lebak kecil (Apis andreniformis) :
Lebah ini mirip dengan A. florea, membuat sarang tunggal di semak-semak. Penyebaran lebah ini dilaporkan terdapat di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Nusa Tenggara. Di Jawa dilaporkan sudah punah.

Lebah merah (Apis koschevnikovi) :
Jenis lebah ini sedikit lebih besar dari dari A. cerana dengan warna bulu yang kemerahan. Penyebarannya di Kalimantan dan Sumatera. Saat ini populasinya menurun drastis.

Lebah gunung (Apis nuluensis):
Ukurannya hampir sama dengan A. cerana. Sejauh ini sudah dilaporkan keberadaannya di dataran tinggi Serawak, Malaysia dan diduga juga ada di pegunungan Kalimantan.

(Koran Kompas, Senin 21 Februari 2011, halaman 14: Rubrik Ilmu Pengetahuan & Teknologi).

Sabtu, 19 Februari 2011

KORIDOR EKONOMI: UPAYA PERCEPAT PEMBANGUNAN

Pembangunan ekonomi pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I dan II pada dasarnya adalah mendorong pertumbuhan (pro growth), penyediaan lapangan pekerjaan (pro jobs) dan mengurangi tingkat kemiskinan (pro poor) atau dikenal dengan istilah Triple Track Strategy. Tingkat pertumbuhan ditargetkan akan mencapai 6 % per tahun. Dalam struktur makro, pertumbuhan masih bertumpu pada belanja pemerintah (government expenditure). Untuk menggenjot pertumbuhan, pemerintah pada dasarnya melakukan percepatan pembelanjaan dan meningkatkan belanja modal (capital expenditures).


Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Nasional (PPPEN)
Untuk lebih mempercepat pembangunan ekonomi tersebut pemerintah juga membangun konsep Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Nasional (PPPEN) dengan membangun Koridor Ekonomi, dimana wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 Koridor Ekonomi yaitu: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi-Maluku Utara, Bali-NTT dan Koridor Papua-Maluku. Masing-masing koridor memiliki fokus pembangunan tersendiri, seperti berikut:
Koridor Sumatera :pusat produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional;
Koridor Jawa :pusat pendorong industri dan jasa nasional.
Koridor Kalimantan:pusat lumbung energi nasional dan pusat produksi dan pengolahan hasil tambang;
Koridor Sulawesi :pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan nasional;
Koridor Bali-NTT :pusat pariwisata dan pendukung pangan nasional;
Koridor Maluku-Papua: pusat pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera. Sektor ekonomi yang didorong adalah manufaktur, pertambangan, pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi dan kawasan. Yang menarik adalah sektor kehutanan tidak secara spesifik masuk kedalam sektor yang didorong tersebut.


Memainkan Peran BUMN
Untuk percepatan tersebut, pemerintah selain perlu merangkul sektor swasta juga mendorong BUMN untuk menjadi pemain aktif dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan kegiatan ekonomi termasuk memperhatikan masalah ketahanan pangan. Setidak-tidaknya dua hal yang menjadi tugas BUMN yaitu pertama ikut mengamankan program nasional ketahanan pangan dan, kedua mendorong belanja modal. Untuk belanja modal, BUMN diwajiban melakukan efisiensi anggaran dengan mengalihkan belanja operasional (operational expenditures) yang dapat dialihkan menjadi belanja modal, sekurang-kurangnya 10%. Belanja modal ini diharapkan akan mampu mendorong dan mempercepat geliat roda perekonomian nasional.

BUMN bidang pertambangan, pertanian, telekomunikasi, pariwisata, perkapalan, pariwisata dan telematika akan berperan besar dalam percepatan pembangunan ini. Kegiatan ekonomi BUMN tersebut juga diharapkam mampu membuka lapangan kerja baru sebanyak 25,7 juta orang di seluruh negeri, diantaranya di Sumatera 11,3 juta orang dan di Jawa sekurang-kurangnya harus mampu menyerap 10 juta orang.

Peran sektor Kehutanan
Secara spesifik kehutanan tidak masuk dalam sektor yang didorong. Ada beberapa kemungkinan pertimbangan mengapa sektor ini tidak jadi andalan, antara lain, pertama, dalam kerangka mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) sektor ini lebih diharapkan menjadi penyerap karbon sebagaimana terlihat dari program yang saat ini dijalankan maupun adanya perjanjian (Letter of Intent) dengan negara Norwegia untuk melakukan jeda pelepasan kawasan hutan primer dan gambut bagi kegiatan ekonomi selama dua tahun. Kedua, peran kehutanan secara nasional yang lebih dikenal adalah gerakan menanam 1 milyar pohon, sementara program lainnya seperti kegiatan mendorong pemantapan pengelolaan hutan dan revitalisasi industri kehutanan kurang nampak di permukaan. Ketiga, sektor kehutanan sendiri kurang melakukan sosialisasi mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan selama ini, seperti industri pulp dan kertas yang potensinya besar, walaupun sering diserang dari sisi lingkungan. Demikian juga dengan berkembangnya hutan rakyat sebagai alternatif sumber bahan baku industri domestik yang terbukti mampu menggerakan ekonomi rakyat khususnya di Jawa tidak dijadikan promosi ceritera sukses kehutanan.

Selain hal-hal yang disebutkan diatas, peran kehutanan juga penting dalam beberapa hal seperti faktor kawasan yang akan digunakan untuk membangun sektor lain, masalah pangan, air dan energi. Ketersediaan kawasan hutan untuk sektor diluar kehutanan akan memerlukan proses pelepasan dan pinjam pakai dan ini perlu ditangani secara khusus dan simultan dengan rencana koridor ekonomi tersebut. Masalah air untuk keperluan rumah tangga, pertanian dan industri akan semakin krusial. Dalam hal ini masalah pengelolaan hutan, khususnya hutan lindung dan kawasan konservasi menjadi prioritas dalam penanganannya karena akan bisa menjadi faktor kritis dalam mendorong koridor ekonomi tersebut. Dalam masalah energi khususnya energi terbarukan, maka kehutanan memiliki potensi untuk mengembangkan energi biomasa dan bio-fuel. Selain memiliki berbagai jenis phn untuk menghasilkan bimasa yang dapat dilah menjadi pelet sebagaimana sudah dikembangkan di Wonosobo bekerja sama dengan Korea, juga sumber bio-fuel banyak tersedia seperti jarak, nyamplung, sagu dan sebagainya. Dalam masalah pangan, sektor kehutanan memiliki kesempatan luas untuk mendorong produksi sumber karbohidrat alternatif. BUMN Kehutanan seperti Perhutani di Jawa telah sejak lama melalui program tumpang sari atau wanatani juga menghasilkan pangan seperti jagung, ketela pohon, kedelai. Dan saat ini tekah dikembangkan aneka jenis penghasil karbohidrat terutama porang dan garut. Sementara jenis lain seperti suweg, iles-iles, bentul, ganyong dan seterusnya masih belum dimanfaatkan. Kehutanan melalui pengelolaan kawasannya yang luas sangatlah berpotensi untuk berperan dalam program ketahanan pangan nasional.

Banyak yang bisa dikerjakan kehutanan untuk mendukung upaya menggerakan dan mensukseskan koridor ekonomi tersebut. Tapi hal tersebut akan terpulang pada bagaimana sektor kehutanan menyikapi program percepatan dan perluasan ekonomi nasional (PPPEN)ini dan sekaligus menangkap peluang untuk mendorong pembangunan sektor kehutanan itu sendiri.

DoA SEoRANG PENDoA

Ketika kumohon pada Allah kekuatan
Allah memberikan kesulitan agar aku menjadi kuat

Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan
Allah memberikan masalah untuk kupecahkan

Ketika kumohon pada Allah kesejahteraan
Allah memberikan akal untuk berpikir

Ketika kumohon pada Allah keberanian
Allah memberikan bahaya untuk kuatasi

Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
Allah memberikan orang-orang bermasalah untuk kutolong

Ketika kumohon pada Allah bantuan
Allah memberikan kesempatan

Aku tak pernah menerima yang kuminta
Tapi aku menerima segala yang kubutuhkan

…………….Do’aku terjawab sudah

(Puisi ini aku peroleh dari sahabatku Dadang Mishal)

Kamis, 17 Februari 2011

ANTARA KOPI DAN CANGKIR

Sekelompok alumni Universitas California Barkeley (UCB)yang telah mapan dalam karir masing-masing, berkumpul dan mendatangi professor mereka yang sudah tua di kampusnya. Percakapan segera terjadi dan mengarah pada keluhan tentang stress yang dialami dalam pekerjaan dan kehidupan mereka masing-masing.

Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan poci besar berisi kopi dan bermacam-macam jenis cangkir. Dari porselin, plastik, gelas kristal, gelas biasa dan beberapa diantaranya gelas mahal dan sangat indah. Beliau menyilahkan mantan mahasiswanya untuk menuangkan sendiri kopinya.

Setelah semua mantan muridnya mendapat secangkir kopi ditangan masing-masing, professor itu berkata: " Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil, yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja. Meskipun wajar bagi kalian untuk menginginkan yang hanya terbaik bagi diri kalian, tetapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah stress yang kalian alami" Lalu beliau melanjutkan perkataannya:" Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukanlah cangkirnya. Namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain."

"Kehidupan bagai kopi, sedang pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita jalani"

Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita. Tuhan memasak dan membuat kopi, bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya dan bukan cangkirnya."

" SADARILAH BAHWA KEHIDUPAN ANDA ITU JAUH LEBIH PENTING DIBANDING PEKERJAAN ANDA!"

(kiriman dari seorang sahabat saya, Novel Chaniago)

Rabu, 16 Februari 2011

DIVERSIFIKASI PANGAN: KOQ SUSAH BANGET SIH?

Pangan adalah kebutuhan primer kalau tidak ada pangan negara bisa celaka, seperti kata Bung Karno pada saat berpidato di IPB di tahun 1952. Pentingnya pangan juga diungkap oleh tokoh India sejaman dengan Bung Karno, yaitu presiden Jawarhal Nehru yang mengatakan: " Pertanian itu nomor satu, kebutuhan lain baru nomor dua!" Di negara maju apalagi negara berkembang, masalah pangan selalu menjadi komoditi politik yang bisa menggoyahkan penguasa kalau tidak ditangani secara tepat.

Di Indonesia pangan adalah beras, walaupun sebelumnya di beberapa daerah beras bukanlah makanan utama. Di pulau Madura orang cenderung menggunakan jagung sebagai makanan pokoknya, di Maluku dan Papua, sagu menjadi makanan pokok. Tapi makanan pokok kemudian beralih ke beras setelah pada era Presiden Suharto dimulai gerakan swa-sembada pangan yang bertumpu pada peningkatan produksi beras. Perubahan makanan pokok menjadi beras juga antara lain karena adanya kebijakan pembagian beras untuk pegawai negeri dan ABRI pada saat itu, sehingga beras menjadi begitu populer bahkan menjadi pangan yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada jenis karbohidrat lainnya. Citra orang miskin dikaitkan pada jenis pangan pokoknya. Kalau makan singkong, ubi atau apa saja yang non-beras, orang tersebut berarti berstatus sosial ekonomi rendah alias miskin.


Ketergantungan pada beras dan gandum

Ada dua jenis karbohidrat yang saat ini mendominasi sistem pangan nasional yaitu beras dan gandum. Lihatlah hampir semua orang menyukai mie instan yang notabene berbahan baku terigu yang bukan lain berasal dari gandum. Keduanya memiliki kelemahan dari sisi pasokannya. Produksi beras sulit digenjot lagi karena dua hal. Pertama, penelitian padi unggul dalam dekade terakhir hampir tidak ada lagi yang signifikan, sementara areal persawahan semakin menciut karena konversi juga perluasan lahan sawah menjadi tidak mudah karena kebutuhan air untuk menghasilkan 1 kilogram padi yang sekitar 4500 liter menyebabkan perlunya sumber air. Jawa tanahnya yang subur terkendala oleh banyaknya bendungan, waduk untuk irigasi yang hampir mati karena pendangkalan. Sementara padi tanah kering (gogo rancah) juga tidak bisa ditanam secara masif karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, seperti produktifitasnya yang rendah dan rasanya yang kurang enak. Sementara gandum adalah barang impor yang semakin lama semakin menguras devisa negara, selain pasokannya juga di luar kontrol kita.


Sumber karbohidrat melimpah

Indonesia sebenarnya disayangi sama Tuhan. Betapa tidak? Sumber karbohidrat begitu melimpah di Indonesia, ada sekitar 945 jenis tanaman sebagai sumber karbohidrat. Sebut saja sudah biasa dikonsumsi dan cukup dikenal masyarakat seperti jagung, singkong, ubi jalar, talas dan sagu. Ataupun dikenal tapi jarang dikonsumsi seperti bentul, uwi, iles-iles, porang, garut, suweg, kimpul dan seterusnya. Alam juga sepertinya mengajari kita untuk melakukan diversifikasi menurut musim. Misal ketika padi sulit ditanam dimusim kering karena perlu air, maka alam memberi kita jenis umbi-umbian seperti iles-iles. Janis umbi-umbian nini akan muncul dan tumbuh subur pada musim kering seperti banyak kita jumpai didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang relatif lebih kering daripada Jawa Barat. Dan banyak lagi contoh, bagaimana alam mengingatkan kita akan perlunya diversifikasi. Alih-alih mengerti sinyal alam, kita malah semakin tergantung pada pangan impor. Beras kita sering impor dari Thailand dari Vietnam dari India dan seterusnya. Kita juga masih mengimpor jagung sebanyak 4 juta ton/tahun, gandum sekitar 6 juta ton/tahun. Kearifan lokal bahkan mampu meningkatkan produksi singkong melalui upaya pak Mukibat, kita kenal singkong mukibat yang mampu memproduksi lima kali lebih tinggi dari singkong biasa. Tapi nyatanya kita masih mengimpor tepung singkong dari Thailand yang jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.


Lalu bagaimana dong?

Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah pangan sebenarnya sudah cukup banyak, seperti swa-sembada beras melalui program BIMAS pada sektor produksinya, maupun pada sektor petaninya melalui penguatan lembaga petani dengan pembentukan KUT dan KUD. Tapi seperti kata ekonom adanya hukum produksi yang menurun atau Law of Diminishing Return produksi padipun suatu saat akan mencapai titik jenuh. Sayangnya upaya menganeka-ragamkan pangan belum juga berhasil. Namun demikian upaya penyusunan strategi nasional pangan termasuk upaya diversifikasi pangan adalah sangat perlu, kalau tidak. seperti kata Bung Karno: "Kita bisa Celaka!'. Perlu program pangan nasional yang berjangka panjang yang dilakukan dan diimplementasikan secara konsisten dan konsekuen.

Program Ketahanan Pangan perlu terus dijalankan. Beberapa aspek utama dan pendukung perlu dilakukan secara bersamaan yang pada dasarnya menyangkut masalah produksi distribusi dan konsumsinya. Dalam masalah produksi antara lain: upaya peningkatan produksi berbagai jenis produk karbohidrat yang disesuaikan dengan pewilayahan komoditi, pengadaan saprodi, penyuluhan dan pembimbingan dan permodalan. Sektor kehutanan yang memiliki kawasan hutan negara, sebagaimana sudah dilakukan di pulau Jawa melalui model tumpang sari dan kegiatan wanatani dapat lebih ditingkatkan. Dengan keterbatasan lahan sawah di Jawa, kawasan hutan dapat berkontribusi sangat signifikan dalam upaya pemerintah untuk melakukan diversifiksi pangan.

Dalam aspek distribusi yang perlu diperhatikan adalah fasilitasi perdagangan dan pemasaran termasuk harga yang memberi insentif, transportasi, penyimpanan, kualitas dan sebagainya.Peran Bulog dalam stabilisasi supply dan sekaligus stabilisasi harga bisa dimanfaatkan, antara lain melalui pemanfaatan fasilitas yang dimilikinya seperti untuk penyimpanan produk karbohidrat berupa beras buatan sebagai stock yang harus selalu tersedia.

Aspek konsumsi yang nampaknya perlu digarap adalah pembentukan permintaan atau pasar domestik sangat penting. Kegiatan yang perlu dilakukan antara lain: 1). Penyuluhan mengenai pangan alternatif; 2). Penganekaragaman melalui pengembangan berjenis-jenis tepung sebagai substitusi tepung beras dan tepung gandum; 3). pembuatan beras artifisial dengan proses fortified atau pengayaan dengan menambah vitamin. Sementara bentuk butiran berasnya pun dapat diatur apa seperti long grain atau short grain. Demikian pula rasa bisa dibuat apakah mau mirip rasa beras Cianjur atau Rojolele. Rekayasa teknologi ini diperlukan untuk mengatasi hambatan psikologi yang menganggap bahwa karbohidrat yang berasal dari bahan non-beras dan gandum adalah inferior; 4). Menggalakkan gerakan nasional penganekaragaman pangan. Untuk itu teladan dari para pejabat, tokoh masyarakat dalam menganeka-ragamkan pangan akan lebih memudahkan adopsi beras buatan atau sumber karbohidrat selain beras dan gandum. Perubahan makan siang di kantor-kantor, pusat pendidikan pelatihan atau ransum tentara dan seterusnya. Komitmen tokoh masyarakat dan pejabat untuk mengkonsumsi selain beras akan berdampak nyata terhadap perubahan pola konsumsi karbohidrat; 5). Melibatkan sektor industri terutama untuk memproduksi tepung, beras buatan dan sebagainya serta industri yang menggunakan tepung sebagai bahan baku.

Minggu, 13 Februari 2011

REDD: Jangan Lupakan Kewajiban Negara Annex 1 lho!

Peran hutan terutama hutan di wilayah tropis sebagai penyerap karbon sangatlah signifikan, inilah sebabnya mengapa salah satu upaya mengurangi perubahan iklim dilakukan dengan melirik sabuk hijau di katulistiwa ini. Melalui skim Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD)pemanasan global diharapkan akan dapat ditekan setidak-tidaknya tidak melonjak ke tingkat yang membahayakan kehidupan dunia misalnya tidak meningkat diatas level 2%. Indonesia secara sukarela telah berkomitmen untuk menurunkan karbon sebanyak 26% bahkan dengan bantuan pihak luar, Indonesia berkeyakinan mampu mereduksi sampai 41%.

Indonesia bersama dengan Norwegia telah menandatangani Letter of Intent (LoI) yang antara lain kedua pihak setuju untuk bersama-sama menurunkan emisi karbon melalui skim REDD. Norwegia menyediakan pendanaan sebesar 1 Milyar $ dan Indonesia menghentikan sementara selama dua tahun konversi hutan alam primer dan gambut untuk kegiatan ekonomi. Saat ini sedang dibahas draf INPRES mengenai moratorium tersebut yang mudah-mudahan akan segera ditandatangani oleh Bapak Presiden yang kemudian akan menjadi acuan seluruh pihak baik pemerintah pusat, daerah, swasta dan masyarakat serta seluruh para pihak yang berkaitan dengan pengelolaan hutan.

Demam REDD nampaknya sudah melanda dunia, sebagaimana dapat kita ikuti dari berita-berita pertemuan internasional baik yang diselenggarakan oleh organ PBB maupun yang dilakukan oleh negara-negara maju serta organisasi-organisasi internasional. Yang luar biasa adalah kesan bahwa REDD adalah obat mujarab, sementara itu perlahan-lahan orang secara perlahan mulai melupakan obat mujarab yang lain. Yaitu kewajiban negara-negara maju yang masuk Appendix 1 untuk juga menurunkan emisi karbon-nya. Menurunkan emisi karbon yang berarti menurunkan tingkat konsumsi energi yang juga dapat berarti menurunkan pola hidup yang rakus energi. Secara politik, hal ini tentu tidak mudah dilakukan oleh negara-negara maju yang akan berhadapan konsumen energi dalam negeri masing-masing yang jelas memiliki kekuatan politik.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, Brasil dan negara-negara pemilik hutan Tropis yang bergabung dalam F-11, sebaiknya kewajiban negara Annex-1 perlu dijadikan bahan untuk menegosiasikan skim REDD. Negara berkembang tidak sekali-kali menganggap bahwa REDD adalah sesuatu yang terpisah dari skim Penurunan Konsumsi Energi di negara maju dalam agenda besar mengatasi Perubahan Iklim Global. Kita tahu bahwa pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim tersebut, adalah diakibatkan oleh kemajuan ekonomi di negara-negara maju serta pembangunan di negara berkembang yang ingin menggapai kemajuan yang sudah dicapai oleh negara-negara maju tersebut.

Selasa, 08 Februari 2011

PEMBALAKAN LIAR DAN PERAMBAHAN HUTAN: Masih Perlukah UU tentang Pembalakan Liar?

Tahun 2000-an tercatat sebagai tahun dimana kegiatan pembalakan liar sangat masif dengan besaran yang luar biasa, sementara pihak kehutanan tidak berdaya mengatasi masalah itu secara sendirian. Pembalakan liar inipun berdimensi internasional karena selain banyak terjadi di daerah-daerah perbatasan, hasil jarahan ini juga dijual ke luar negeri seperti Malaysia dan China. Pembalakan liar telah menjadi masalah organized and trans-national crimes. Tingginya intensitas pembalakan liar ini juga telah menjadi concern internasional antara lain melalui diselenggarakannya lokakarya internasional di Bali tentang Forest Law Enforcement and Governance (FLEG)pada bulan September 2001. Pembalakan liar ini telah menimbulkan rekasi yang keras dari pasar di negara-negara Eropa yang menuntut agar dipastikan bahwa kayu tropis yang dijual dan diperdagangkan di pasar internasional adalah bukan kayu curian.

Pemerintah pun secara proaktif kemudian menerbitkan INPRES Nomor 4 yang meminta semua departemen terkait, kepolisian dan kejaksaan agung untuk bahu membahu mengatasi masalah pembalakan liar tersebut. Pada tahun 2003 pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah menginisiasi untuk menyusun RUU tentang Pemberantasan Ilegal Logging yang kemudian diusulkan melalui Komisi IV DPR-RI. Proses penggodokkan RUU tersebut timbul tenggelam, akan tetapi setiap tahun selalu muncul sebagai salah satu RUU yang harus diselesaikan. Namun demikian perjalanannya ternyata tidak terlalu lancar dan bahkan belum selesai sampai saat ini. Tahun 2010 Komisi IV DPR-RI yang antara lain membidangi Kehutanan mengambil inisiatif untuk mengajukan kembali RUU tersebut. Dan tahun 2011 ini RUU tersebut kembali dibahas di DPR bahkan juga di forum Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Tahun 2010 dan tahun 2011 kondisi dan situasinya sangat berbeda denga tahun 2003 ketika inisiatif untuk menyusun UU tentang Pemberantasan Ilegal Logging muncul pertama kali. Saat ini di dalam negeri kecenderungan kegiatan pembalakan liar ini menurun secara signifikan dan diperkirakan akan semakin menurun dengan semakin tingginya permintaan dari pasar internasional agar kayu dan kayu olahan yang diperdagangkan harus berasal dari tebangan yang legal dan bukan hasil pembalakan liar. Indonesia dengan Uni Eropa menginisiasi skim Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang salah satu komponen utamanya adalah lacak balak atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang saat ini SVLK tersebut telah disetujui oleh Uni Eropa, AS, Jepang dan China sebagai buyer kayu Indonesia. Negara Paman Sam juga telah mengeluarkan Lacey Act yang intinya adalah memastikan kayu yang diperjualbelikan di AS adalah bukan kayu hasil pencurian. Artinya pasar kayu curian menjadi semakin sempit dan kecenderungan pasar yang lebih mementingkan kegiatan ramah lingkungan semakin besar dan semakin meluas, oleh karena itu bisa dipastikan bahwa pencurian kayu akan semakin menurun di masa mendatang ini. Pertanyaannya adalah masih perlukah Undang-Undang tentang Ilegal logging ini?

Kalau substansinya terbatas pada pembalakan liar, maka RUU ini menjadi baju yang terlalu besar. Oleh karena itu, bila memang masih diinginkan untuk diteruskan, maka cakupannya harus diperluas dengan meliputi tindak pidana kehutanan lainnya yang saat ini cukup besar dan trendnya juga cenderung meningkat, yaitu masalah perambahan dan penggunaan kawasan hutan secara tidak syah. Namun demikian beberapa substansi yang sangat perlu untuk dipertimbangkan adalah:
1. Tujuan dari RUU ini yang merupakan dukungan terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah memastikan bahwa Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) atau Sustainable Forest Management (SFM) dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu yang harus menjadi fokus pengaturan adalah: a). Fokusnya harus pada kegiatan yang tidak syah atau ilegal,dan bukan pada kegiatan yang memiliki ijin dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan.; b). Perlunya memperkuat kelembagaan pengelolaan hutan pada tingkat tapak yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
2. Apabila diperlukan suatu badan khusus untuk menangani masalah ilegal logging dan perambahan kawasan hutan, maka badan tersebut harus tetap dalam struktur kementerian Kehutanan dan sesuai dengan tupoksi kementerian. Oleh karena itu memperkuat atau membangun Direktorat Jenderal Perlindungaan Hutan adalah opsi yang justifiable. Dalam kaitan ini PPNS Kehutanan harus menjadi badan yang independen yang bisa mengurus semua masalah tindak pidana kehutanan. Pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa walaupun koordinasi dalam penindakan ilegal logging juga memiliki keunggulan, akan tetapi juga memiliki kelemahan. Seringkali operasi yang seharusnya bersifat rahasia menjadi bocor dan tidak mencapai sasaran ketika koordinasi menjadi prasyarat bagi setiap kegiatan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana kehutanan.

Senin, 07 Februari 2011

KEKERASAN DI SEKITAR KITA

Tawuran antar warga, tawuran antar kampung, tawuran mahasiswa, tawuran anak sekolah bahkan anak SD pun suka tawuran. Tindak kekerasan bersama ini ada dan bisa terjadi dimana saja di seluruh pelosok negeri baik di kampung maupun di kota-kota besar seperti ibukota dan bisa terjadi kapan saja. seringkali tanpa alasan yang jelas semata-mata mata alasan emosional yang mungkin merupakan pengalihan dari kondisi lain yang membebani masyarakat. Tapi mengapa mesti dengan tawuran? Mengapa mesti dengan kekerasan?

Bukankah bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong-royong yang memiliki falsafah hidup yang menghargai kebhinekaan? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang religius, bangsa yang menjunjung tinggi sopan santun dan adat istiadat? Dimanakan semua itu sekarang? Seribu tanya bisa kita sampaikan, tetapi tidak satupun jawaban yang memuaskan, setidak-tidaknya belum ada jawaban yang memuaskan sampai saat ini.

Jangan-jangan jiwa patriotisme yang sempit yang muncul, solidaritas kampung, solidaritas warga, solidaritas kampus, solidaritas sekolah, solidaritas kelompok kecil dan bukan lagi solidaritas bangsa yang berkembang? Padahal negara ini dibangun untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan bukan kepentingan suku, kelompok atau golongan saja.

Peranan pemerintah, para tokoh baik formal maupun informal sangatlah penting. Hubungan umaro, ulama dan umat yang baik sangatlah penting untuk terus dibina dipelihara dan ditingkatkan mutunya. Peran masing-masing perlu ditunaikan secara baik. Ketika terjadi perselisihan, orang tidak tahu lagi harus berkonsultasi kepada siapa manakala tidak ada lembaga penegak hukum yang memberikan kepastian dan keadilan, sehingga orang cenderung mengambil cara penyelesaian yang bersifat ad-hoc yang sebenarnya melanggar hukum. Tetapi kecenderungan umaro dan ulama serta tokoh masyarakat untuk tidak segera mengambil tindakan ketika api masih kecil, adalah juga kemungkinan penyebab mengapa suatu masalah cepat menjadi besar dan tidak terkendali. Dan melalui jaringan media elektronika peristiwa itu bagai menjadi yurisprudensi atau preseden untuk dijadikan pembenaran dan ditiru serta dipraktekkan di tempat lain.

Mungkin kita telah kehilangan keteladanan. Saat ini misalnya, kita kesulitan untuk mencari idola yang bisa menjadi panutan. Tapi apapun itu nampaknya menjadi sangat penting bagi kita untuk secara bersama-sama membangun karakter yang memiliki ketegasan, konsistensi dan kejujuran. Tokoh dan insan yang lebih banyak mendengar daripada ingin didengarkan yang ringan tangan dan bersifat kesatria yaitu insan yang tidak menghindari tanggung jawab. Saya kira pendiri bangsa benar ketika mengatakan bahwa yang harus kita bangun adalah Nations and characters building.