Minggu, 16 Oktober 2011

MENGURANGI EMISI KARBON:PASAR DALAM NEGERI

Pemanasan global adalah sesuatu yang nyata dan orang dimanapun bisa merasakan perubahan yang diakibatkan olehnya. Pemanasan global menyebabkan meningkatnya suhu udara rata-rata di sekeliling kita. Pemanasan itu terjadi karena semakin banyaknya gas rumah kaca (GRK) yang dibuang ke atmosfir sebagai zat buangan dari sebuah proses pembangunan terutama dari proses konsumsi energi. Fenomena ini sudah menjadi kekawatiran global dan bahkan banyak dibahas di forum global khususnya pada konvesi para pihak dalam kerangka the United Nations Convention on Climate Change (UNCCC). Kegiatan mitigasi perubahan iklim lebih banyak menjadi pusat perhatian dan nampaknya lebih maju daripada pembahasan tentang kegiatan adaptasi. Dalam hal pembagian kewajiban mitigasi, maka negara maju diminta untuk mengurangi konsumsi energinya, sementara negara berkembang diminta untuk menurunkan emisi karbon melalui pengurangan kegiatan deforestasi dan kegiatan yang menyebabkan hutan terdegradasi (REDD). ---------------------------------------------------------------------------------------------- MITIGASI IKLIM ---------------------------------------------------------------------------------------------- Indonesia sudah mendeklarasikan akan menurunkan emisi karbon nya sebesar 26% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan negara maju, pada tahun 2020. Berbagai kebijakan untuk menurunkan karbon sudah dicanangkan melalui berbagai kegiatan seperti melakukan konservasi, penambah hutan tanaman dalam berbagai bentuk seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), HutanTanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa dan Hutan Adat. Melakukan gerakan menanam pohon, antara lain Tanam 1 milyar pohon untuk dunia (OBIT), Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM), Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan seterusnnya. Dalam mengatasi emisi karbon tersebut, Indonesia juga melakukan kerjasama dengan beberapa negara seperti Jerman, Inggris, AS, Jepang dan Korea. Terakhir juga mengadakan kerjasama dengan pihak Norwegia dimana negara tersebut menjajnikan memberi Indonesia 1 milyar dolar AS dalam bentuk Letter of Intent (LoI). ----------------------------------------------------------------------------------------------- Dalam kaitannya dengan upaya mitigasi melalui reduksi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan tersebut, Indonesia melakukannya secara bertahap. Sekarang kita berada pada fase pilot proyek yg kita kenal dengan Demonstration Activity (DA). Tahap ini diperlukan mengingat masalah karbon adalah masalah baru bagi kita, dengan DA ini kita dapat belajar bagaimana menghitung karbon, bagaimana kelembagaannya termasuk pembagian tanggung jawab, dan bagaimana mendistribuskan benefit bila pada akhirnya kita mendapatkan kompensasi dari kegiatan memelihara hutan tersebut. Bagaimana mekanisasi verifikasi jumlah karbon sehingga tidak akan ada perselisihan dikemudian hari. ---------------------------------------------------------------------------------------------- ETIKA DALAM MASALAH KARBON --------------------------------------------------------------------------------------------- Mengurangi emisi karbon dalam rangka mengatasi pemanasan global adalah tanggung jawab semua negara, baik negara majumaupuj negara berkembang. Negara maju harus menurunkan emisi karbon melalui pengurangan penggunaan energi yang berarti mengurangi pembangunannya, sementara negara berkembang yang masih ketinggalan pembangunannya terpaksa harus mengurangi niatnya membangun agar tingkat emisi karbonnya tidak meningkat. Artinya negara berkembang yang tertinggal tingkat pembangunannya harus menurunkan animo menggunakan sumberdaya alamnya demi tingkat emisi karbon yang rendah. Sementara itu jargon seperti "low carbon economic development path" masih belum jelas bentuknya walaupun peluangnya mungkin tetap ada. --------------------------------------------------------------------------------------------- Kecenderungan lain yang muncul adalah pengalihan kewajiban negara maju dengan mengkompensasi negara berkembang untuktidak memanfaatkan sumberdaya alamnya. Walaupun tidak sepenuhnya salah, akan tetapi ini tidak harus secara otomatis menghilangkan kewajiban negara maju untuk secara bersama-sama dengan negara berkembang menurunkan emisi karbonnya. Pembicaraan soal perubahan iklim pada forum UNCCC saat ini terus berputar-putar disekitar REDD dan REDD+ plus dan tidak membicarakan kewajiban negara maju. Hutan menjadi satu-satunya obat mujarab, bahkan negara maju cenderung menawarkan atau memaksakan upaya moratorium pemanfaatan hutan, seperti juga yang terjadi di dalam perjanjian antara Indonesia dengan Norwegia. -------------------------------------------------------------------------------------------- PAYMENT TO ENVIRONMENT SERVICES (PES) DAN PASAR DALAM NEGERI -------------------------------------------------------------------------------------------- Dalam kaitannya dengan penurunan emisi karbon, saat ini telah muncul pasar karbon. Banyak pemegang konsesi HPH maupun HTI yang tertarik untuk berjualan karbon sebagai adisionalitas dari pengelolaan hutan secara baik. Bahkan animo mengembangkan konsesi restorasi ekosistem (RE) saat ini meningkat harapannya yang memperoleh dana karbon sampai masanya mereka diijinkan untuk melakukan ekstraksi. Pembeli prospektif diluar negeri nampaknya akan banyak, dan itu bisa berasal baik organisasi pemerintah, swasta maupun dari perusahaan dan pabrik yang mengeluarkan pencemar. Arinya terbuka pasar karbon internasional. -------------------------------------------------------------------------------------------- Sementara itu kita pun melihat adanya mekanisme pembayanan pada jasa lingkungah atau PES yang telah dikembangkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Salah satu PES di Indonesia yang berjalan baik adalah PES di Sungai Wain, Balikpapan, dimana pengusaha pengguna air membayar kompensasi pada manajemen Sungai Wain untuk kemudian dipakai sebagai biaya mengamankan dan memelihara lingkungan Sungai Wain sebagai daerah tangkapan air. -------------------------------------------------------------------------------------------- Kegiatan pertambangan baik tambang umum maupun minyak dan gas bumi pada dasarnya memberikan dampak lingkungan, khususnya dalam kaitannya dengan emisi karbon. Meskipun perusahaan tambang ini sudah membayar pajak, tetapi belum memperhitungkan kerusakan lingkungan dalam pembayaran pajak tersebut. Dengan demikian, perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia pada dasarnya dapat menjadi pasar karbon di dalam negeri. Ada beberapa keuntungan untuk berjualan karbon di dalam negeri. Pertama, kesan industri ekstraktif ini hanya menimbulkan kerugian lingkungan bisa berkurang. Kedua, mekanisme yang bersifat volunter akan mendorong rasa tanggung jawab dari semua pihak. Ketiga, menghindari masalah melanggar kedaulatan nasional dan keempat, semua pihak bisa belajar bersama dan bersepakat bersama tentang besaran karbon yang harus dibayar.

Jumat, 14 Oktober 2011

THE DILEMMA: To Use or Not To Use

Our planet is endangered by the lack of our respect towards the forest and its biodiversity. This is a very real threat: to see it, one just has to observe the pollution of rivers, the transformation of all forest into agricultural and pastor land, the disasters originated from the loss of forest, such as mudslide etc. It is definitely a dilemmatic situation for us, the world citizen. While some of us are irresponsibly using the forest as a mean to their economic goals, some of us are against any act that abuse forest existence. Yet, I believe that there should be an acceptable medium that can be developed based on mutual understanding and respect, with the same goal of proudly passing down our Forest to the next generation with minimal damage. --------------------------------------------------------------------------------------------- THE FACTS --------------------------------------------------------------------------------------------- Many of us, especially in the countries full of rainforest, have the abundance of forest products, among so many forest product, we have teakwood (Tectona Grandis). Indonesia is one of the world teak producers, and at the same time Indonesia is also loosing its teak forest rapidly. The primary use of teak harvested in Indonesia is in the production of outdoor teak furniture for export. Teak is used extensively in boat decks, as it is extremely durable and requires very little maintenance. ----------------------------------------------------------------------------------------------- THE RECOMMENDATION: ------------------------------------------------------------------------------------------------ 1) Use Plantation Teak instead of Forest Teak and study has indicated that Plantation teaks performs as good as old-growth teak in dimensional stability, erosion rate, warping, and surface checking, but is more susceptible to color change from UV exposure. Our responsible purchase teak with The Forest Stewardship Council certification ensures us that the teakwood was grown and harvested from teak plantation. -------------------------------------------------------------------------------------------- 2) Promote the information to the teak product owner that any sanding and oiling will “shorten” the life of teak. Teak tends to wear in to the softer 'summer' growth bands first, forming a natural 'non-slip' surface. Any sanding is therefore only damaging. Use of modern cleaning compounds, oils or preservatives will shorten the life of the teak, as it contains natural teak-oil a very small distance below the white surface. Wooden boat experts will only wash the teak with salt water, and re-caulk when needed. This cleans the deck, and prevents it from drying out and the wood shrinking. The salt helps it absorb and retain moisture, and prevents any mildew and algal growth. People with poor knowledge often over-maintain the teak, and drastically shorten its life. ---------------------------------------------------------------------------------------------- 3) Develop awareness on how to treat teak products respectfully, how is that? Personally I think that if it takes 15 years to grow a tree before the three can be felled, one should strive to create a product that will last longer than 15 years. It is an insult to mother nature when we grow a tree for 15 years and fell the tree, use the tree to create a product that will only survive a few seasons. Outdoor furniture creation is definitely not a respectable way to use our teakwood. On the other hand, we can create various product that will last for more than 15 years or even for generations. One of the sweetest thing in my life is to hear my mother said to me at one time: “This cabinet was pass on to me by my grandmother, and it is made of teak, and I am passing it on to you…if only this cabinet can speak, it will tell you our family history”, and I call that respect. -------------------------------------------------------------------------------------------------- THE CONCLUSION: ------------------------------------------------------------------------------------- Implementing the above recommendation will be a great solution for both ends. It is concerning that This year we reach another milestone in global population growth, 7 billion inhabitants of Earth. It has only taken us 12 years to add an additional 1 billion people to the planet. This kind of rapid population growth puts strains on environmental, political, and financial resources. We all should be aware that the nature capability to nurture a tree in not proportional to the consumption of the tree, we should use use tree and tree product* wisely. (Suliati Boentaran) ------------------------------------------------------------------------------------------------- *) Tree product includes: paper, furniture, wood floor and anything originated from wood of forest and plantation.

Rabu, 12 Oktober 2011

Kahlil Gibran on Love

When love beckons to you, follow him, Though his ways are hard and steep. And when his wings enfold you yield to him, Though the sword hidden among his pinions may wound you. And when he speaks to you believe in him, Though his voice may shatter your dreams as the north wind lays waste the garden. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ For even as love crowns you so shall he crucify you. Even as he is for your growth so is he for your pruning. Even as he ascends to your height and caresses your tenderest branches that quiver in the sun, So shall he descend to your roots and shake them in their clinging to the earth. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Like sheaves of corn he gathers you unto himself. He threshes you to make you naked. He sifts you to free you from your husks. He grinds you to whiteness. He kneads you until you are pliant; And then he assigns you to his sacred fire, that you may become sacred bread for God's sacred feast. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- All these things shall love do unto you that you may know the secrets of your heart, and in that knowledge become a fragment of Life's heart. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- But if in your fear you would seek only love's peace and love's pleasure, Then it is better for you that you cover your nakedness and pass out of love's threshing-floor, Into the seasonless world where you shall laugh, but not all of your laughter, and weep, but not all of your tears. Love gives naught but itself and takes naught but from itself. Love possesses not nor would it be possessed; For love is sufficient unto love. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- When you love you should not say, "God is in my heart," but rather, "I am in the heart of God." And think not you can direct the course of love, for love, if it finds you worthy, directs your course. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Love has no other desire but to fulfill itself. But if you love and must needs have desires, let these be your desires: To melt and be like a running brook that sings its melody to the night. To know the pain of too much tenderness. To be wounded by your own understanding of love; And to bleed willingly and joyfully. To wake at dawn with a winged heart and give thanks for another day of loving; To rest at the noon hour and meditate love's ecstasy; To return home at eventide with gratitude; And then to sleep with a prayer for the beloved in your heart and a song of praise upon your lips. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Kahlil Gibran – Tentang CINTA ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Ketika cinta menjemputmu, ikutilah, walau jalan yang harus kau tempuhcuram dan terjal. Dan ketika sayap cinta merengkuhmu, berserahlah, walau sisi tajam dari sayap itu mungkin akan melukaimu. Dan ketika cinta berbisik padamu, percayalah,
walau suara itu mungkin membuyarkan mimpi-mimpimu bagaikan angin utara yang memporakporandakan tamanmu. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Cinta akan membuat dirimu merasa tersanjung tapi cinta juga yg akan membuat dirimu merasa tersalib. Karena selain cinta membuatmu merasa berbunga cinta juga akan membuatmu merasa luruh. Cinta akan mengawangkanmu dari pijakanmu di bumi ini. Dan cinta juga akan mencengkeram, menggoyang akar-akarmu hingga tercerabut dari bumi ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Bagai seikat gandum ia satukan dirimu dengan dirinya.
Menebahmu hingga telanjang
Menggerusmu agar kau terbebas dari kulit luarmu
Menggilasmu sampai ketulangmu. Melumatmu hingga kau menjadi liat
Kemudian ia membawamu ke dalam api sucinya, hingga engkau menjadi roti suci perjamuan kudus bagi Tuhan. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Semuanya dilakukan cinta pada dirimu hingga kau mengetahui rahasia hatimu sendiri, dan pengetahuan itu menjadi inti kehidupanmu. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Tetapi jika kau hanya mencari kesenangan dan kenikmatan cinta, sebaiknya tutuplah ketelanjangan itu dan berlalulah dari lantai penebahan cinta, dan jelanglah hidup tanpa musim dimana engkau akan tertawa yg bukan tawamu, dan engkau akan menitikkan air mata yang bukan tangismu. Cinta tidak memberi apapun kecuali dirinya sendiri dan tidak meminta apapun selain cinta itu sendiri, Cinta tidak memiliki dan tidak dimiliki Karena cinta hanya untuk cinta itu sendiri ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Ketika engkau mencinta Tuhan, jangan katakan, “Tuhan ada dalam hatiku”; tapi katakan, “Aku ada di dalam hati Tuhan” Dan jangan berpikir engkau mampu mengarahkan cinta karena cinta akan mengarahkanmu kalau kau layak berjalan ditapak cinta itu. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Cinta tidak pernah berhasrat lain, selain pemenuhan cinta itu sendiri. Namun jika engkau mencinta dan berhasrat, biarlah ini yang menjadi hasratmu:
mengalir bak anak sungai yang melantunkan nyanyian malam, merasakan pilunya kelembutan
cinta. Terluka oleh pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Berdarah dengan ikhlas penuh suka cita Terbangun di saat fajar dengan harapan dan ucapan syukur untuk hari-hari yang dipenuhi cinta;
beristirahat di siang hari dan meresapi keagungan cinta. kembali di senja hari dengan mensyukuri cinta…dan beristirahat dimalam hari dengan doa dan pujian bagi yg tercinta. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- (translated by NN)

Jumat, 07 Oktober 2011

Diversifikasi Pangan: Sepertinya perlu gerakan nasional dan promosi gencar dari sisi Permintaasn

Program diversifikasi bukan suatu hal yang baru. Tapi yang pasti kebanyakan orang Indonesia masih mengkonsumsi beras dan makan nasi. Bahkan penduduk yang tadinya makan selain beras, justru beralih ke beras sebagai sumber karbohidratnya. Ada stigma bahwa yang tidak makan nasi,pasti termasuk kedalam kelompok yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Diversifikasi tidak seluruhnya gagal, contohnya konsumsi terigu melesat luar biasa. Sayangnya, gandum sebagai bahan baku terigu tersbut adalah komoditi ekspor. Selain menyerap devisa juga telah menyebabkan ketergantungan pada ekspor. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Padahal sumber karbohidrat lain sangat banyak,singkong, ubi, jagung, sagu,porang, garut dan seterusnya. Teknologi pangan yang merubah bahan-bahan tersebut untuk menjadi tepung sehingga bisa digunakan untuk membuat kue dan penganan, bahkan beras tiruan pub sudah dapat dibuat dengan kialitas dan rasa mendekati beras dan dengan kadar protein yang bisa lebih diatur. Tanaman penghasil karbohidrat tersebut bisa tumbuh dimana-mana dan mudah dibudidayakan. Program penelitian untuk meningkatkan produksi sudah banyak dilakukan. Tapi mengapa program diversifikasi tak kunjung berhasil? ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Sisi Permintaan perlu digarap ---------------------------------------------------------------------------------------- Kalau sisi produksi sudah banyak digarap, bahkan nampaknya selalu menjadi fokus dari program diversifikasi pangan ini, maka sebaliknya sisi permintaasn masih kurang digarap. Penelitian mengenai perilaku untuk menggunakan atau tidak menggunakan sumber pangan selain beras, perlu di eksplore lebih jauh. Program sosialisasi ini antara lain perlu dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti penyuluhan, promosi yang gencar, menetapkan kebijakan untuk menggunakan sumber karbohidrat selain beras di kantor-kantor, misal makan siang pada hari tertentu harus bukan beras. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Program perubahan perilaku penggunaan karbohidrat selain beras harus merupakan program jangka panjang yang disusun secara sistematis dengan memanfaatkan lembaga penelitian dan penyuluhan yang ada, mengoptimalkan penggunaan tenaga penyuluh yang ada. Program KB yang berhasil dimasa lalu perlu dijadikan acuan dan contoh, melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama serta kelembagaan keagamaan yang ada seperti pesantren perlu dipertimbangkan secara lebih serius. Promosi gencar yang dilakukan olehh produsen mie instant perlu dirujuk. Bekerja sama dan menyaratkan penggunaan bahan baku non terigu, harus menjadi salah satu program nasional diversifikasi pangan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Teladan pimpinan, tokoh masyarakat akan lebih menimbulkan efek perayu yang lebih efektif dari pada sekedar demonstrasi makan makanan non-beras pada suatu upacara yang sifatnya lebih seremonial. Yang harus didorong adalah bukan bisa makan makanan non-beras, tetapi harus biasa. Menjadikan kebiasaan untuk menggunakan bahan pangan non-beras inilah yang yang harus menjadi sasaran dari program penanganan sisi permintaan.

Rabu, 05 Oktober 2011

CERITERA DARI SEBUAH RUMAH SAKIT: Siapkah Kita Berbisnis Jasa Pelayanan Kesehatan?

Seringkali kita bertanya mengapa sih kita harus pergi berobat keluar negeri? Jawabannya bisa macam-macam. Ada yang bilang jatuhnya lebih murah daripada biaya berobat di dalam negeri, pelayanannya lebih baik selama maupun pasca penyembuhan, tidak diganggu oleh handai tolan dan relasi yang ingin menjenguk,fasilitasnya lebih lengkap, penerimaannya ramah, dan sambil sekalian berkunjung ke luar negeri. Bisnis kesehatan adalah bisnis jasa, kualitas pelayan sewaktu berobat dan setelah berobat menjadi penting. Pelayanan mulai dari meja resepsion, pelayanan kesehatannya itu sendiri dan loket pembayaran menjadi penting. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman pribadi pada hari selasa dan rabu 4 dan 5 Oktober 2011, di sebuah rumah sakit pemerintah ternama di ibukota.

Resepsionis sebagai pintu depan
Ketika saya merasa perlu untuk mengecek kesehatan yang tiba-tiba di bagian dada sebelah kiri terasa nyeri. Dan saya langsung kontak teman saya yang pernah mengalami sakit jantung, dan akhirnya dia menyarankan saya untuk menghubungi dokter spesialis yang kebetulan teman baik teman saya itu. Dengan senang hati teman saya mengatur dan menghubungi dokter yang bersangkutan. Dan saya diminta datang oleh teman saya setelah mendapat lampu hijau dari dokter, pada hari Selasa sekitar jam 2 atau jam 3, karena dokter tersebut memang praktek sore pada hari itu.

Sesuai dengan informasi tersebut, saya datang jam 14 dan mendaftar di resepsionis dan diterima dengan ramah. Saya beritahu bahwa saya sudah janji dengan dokter tersebut, lalu saya diminta mengisi formulir pendaftaran. Resepsionis mengatakan bahwa dokter sudah kelebihan pasien dan tidak mau menerima pasien baru,karena sudah ada 4 atau lebih pasien yang diminta datang hari lain. Saya jelaskan soal janji tersebut, tetapi petugas resepsionis tetap mengatakan tidak bisa. Lalu saya minta tolong sekali lagi untuk mengecek dokternya. Saya dipersilahkan menunggu dan akhirnya saya dipanggil, dengan ramahnya saya diberitahu bahwa saya adalah pasien ke empat. Lalu sya diminta memasukki ruang EKG dan diperiksa. Setelah itu saya kembali diminta menunggu giliran untuk konsultasi dengan dokter.

Saya diminta ke ruang dokter, ternyata saya dialihkan ke dokter lain tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Lalu saya pun mengajukan protes sambil mengingatkan kembali bahwa saya sudah buat janji dan tentunya tidak fair kalau dialihkan begitu saja ke dokter lain tanpa persetujuan saya. Tentu saja saya tidak mau ngotot, mengingat tensi saya sedang tinggi. Tetapi saya sekali lagi minta mereka untuk mengecek ke dokter yg saya maksud. Kebetulan saya belum pernah bertemu sebelumnya, jadi belum mengenai beliau. Saya kemudian menunggu kembali, sambil menghubungi teman saya kenalan dokter. Dan saya pun mengirim sms kepada dokter tersebut, bahwa saya sudah menunggu diluar.

Rupanya dokter keluar dari ruang kerjanya dan meminta suster untuk memanggil saya. Mendengar nama saya dipanggil, sayapun mendatangi suster tersebut, sementara petugas resepsion pun memberi tahu suster bahwa saya sudah di ruang tunggu dalam. Akhirnya saya sempat juga berkonsultasi. Dan diminta datang kembali keesokan harinya untuk melakukan tread mill, berhubung tensi saya terlalu tinggi pada sore itu.

Sesuai dengan saran dokter saya pun datang pada hari Rabu dengan pengantar dari dokter untuk melakukan treadmill.Saya langsung ke resepsionis dan menyerahkan surat pengantar. Lagi-lagi resepsionis menyarankan saya untuk kembali esoknya, karena hari Rabu memang dokter tidak berpraktek di rumah sakit tersebut. Sudah saya jelaskan bahwa saya diminta dokter datang, untuk melakukan tread mill dan setelah selesai diminta menelpon dokter untuk bertemu disuatu tempat (tentu rumah sakit lain) dengan membawa hasil thread mill untuk bisa menentukan langkah tindak selanjutnya. Kembali petugas resepsion "keukeuh' agar saya datang lagi besok saja, kendatipun sudah saya jelaskan. Karena lagi-lagi saya tidak mau bersitegang, takut tensinya naik lagi, akhirnya saya minta petugas untuk menulis di surat pengantar tersebut, bahwa "pasien sudah datang tapi disarankan untuk datang pada ke esokan harinya, hari Kamis". Lalu saya meninggalkan rumah sakit tersebut.

Kira-kira 10-15 menit kemudian saya ditelpon oleh petugas resepsion bahwa saya boleh treadmill karena katanya, ternyata saya sudah punya 'janji khusus' dengan dokter, sambil berulang kali meminta maaf. Karena sudah jauh dan makan waktu kalau kembali, sementara saya masih ada pekerjaan di kantor, lagi pula suasana hatipun sudah tidak lagi nyaman, maka saya putuskan untuk datang besok saja. Saya heran bahwa mereka tidak pernah berpikir berapa besar usaha, waktu, biaya yang dikeluarkan oleh pasien untuk khusus datang dari luar kota, demi untuk memenuhi janji.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Sepertinya kita belum terlalu siap untuk menggerakan jasa pelayanan (services) secara profesional. Ada "You and me feeling". Ada kesan pasien yang lebih membutuhkan bukan ruma sakit. Melayani barangkali masih dirasakan sebagai bukan pekerjaan yang bergengsi. Dan sikap-sikap yang kurang profesional ini mungkin saja membahayakan pasien, ketika pasien belum sempat tertangani dokter, akibat urusan administrasi yang bertele-tele di pintu depan. Sebetulnya tidak sulit mengecek pada dokter atau suster yang melayani dokter itu, butuh sedikit waktu saja, sehingga janji pasien dengan dokter tidak dipotong oleh petugas resepsion yang seharusnya lincah,ligat dan helpful.

Jangan-jangan hal kecil seperti ini yang juga membuat orang tidak nyaman berobat di sini, dan akhirnya berpaling untuk berobat ke luar negeri. Sayang sekali ya.

Perbaikan kualitas sumber manusia digaris depan ini sangat perlu diperhatikan oleh para pengelola rumah sakit sebagai bagian penting dari bisnis jasa pelayanan kesehatan, kalau tidak ingin ditinggalkan oleh pasien dan pengguna jasa pelayanan kesehatan.

PENDIDIKAN BUDIPEKERTI DAN RANKING SEKOLAH

Ujian Nasional atau UN dalam dekade terakhir nampaknya menjadi masalah tahunan yang muncul di negeri ini. Pro dan kontra sering muncul. Yang Pro beralasan perlu adanya standarisasikompetensi anak didik, sementara yang Kontra mengatakan terlalu dini menetapkan standar nasionalkelulusan ketika disparitas mutu sekolah antar wilayah masih cukup tinggi. Kitapun sering membaca di media cetak atau menyaksikan pada media televisi banyak sekolah yang tingkat kelulusannya rendah bahkan tidak jarang ada yang gagal total. Alias 100% tidak lulus. Bisa dibayangkan dampaknya. Murid menangis, orang tua murka, guru malu,sementara sekolah menjadi kurang marketable. Sementara berapa besar biaya yang dikeluarkan yang menjadi sangat tidak efisiendan tidak efektif penggunaannya akibat banyaknya murid yang tidak lulus. Berapa banyak bangku sekolah tidak bisa dimanfaatkan oleh siswa baru,karena banyak siswa harus mengulang.

RANKING SEKOLAH

Ukuran keberhasilan sekolah menjadi sangat kuantitatif dan kering, karena kriteria sekolah yang baik tereduksi hanya menjadi sekolah yang banyak meluluskan siswanya dan banyak menghasilkan siswa pandai. Penyebabnya antara lain karena setiap tahun pasti ada evaluasi dan pengumuman urtutan sekolah unggulan dan juga murid dengan siswa yang mendapat nilai tertinggi. Sekolah hebat adalah sekolah yang muridnya lulus 100% dan muridnya merajai ranking nilai tertinggi disatu kota, propinsi bahkan nasional. Sekolah unggulan ini yang akan mampu menarik calon siswa yang pandai dari jenjang pendidikan di bawahnya. Sekolah lain menampung 'sisa' siswa yang tidak diterima di sekolah unggulan atau teladan.

Jelas maka sekolah berlomba-lomba menjadi sekolah unggulan demi memperoleh ranking sekolah tersebut. Banyak upaya yang dilakukan, antara lain meningkatkan kualitas guru,menambah pelajaran ekstra, menambah beban materi yang lebih banyak dan selalu memberi banyak pekerjaan rumah PR). Bisa anda bayangkan, betapa seringnya kita melihat siswa2 berjalan dengan membawa ransel atau backpack yang penuh dengan buku pelajaran. Seringkali lebih banyak beban yang dibawanya dibanding dengan mahasiswa. Mereka tidak punya waktu bermain baik dengan teman maupun dengan saudara dan keluarga. Pulang ke rumah belajar, belajar dan belajar. Mengerjakan PR, PR dan PR lagi. Waktu diluar jam sekolah menjadi bagian waktu yang 'terpaksa' harus disisihkan untuk mendukung ranking siswa dan ranking sekolahnya. Kurangnya waktu untu kegiatan yang tidak berbau sekolahan, mungkin dapat menyebabkan siswa menjadi asosial, kuper dan kutu buku. Pinter tapi tidak bisa bergaul. Padahal kemampuan bergaul dan berkomunikasi itu kelak akan dirasakan penting dan manfaatnya.

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN KEBANGSAAN

Bung Karno, founding father NKRI kita seringkali menyatakan perlunya bangsa ini memperhatikan 'nations and character building'Faktanya pelajaran semacam budi pekerti, pendidikan kebangsaan kurang diperhatikan dan kurang mendapat porsi yang berimbang dibadingkan dengan mata ajaran inti seperti Matematika, Fisika, Biologi dan Bahasa. Kurangnya perhatian terhadap endidikan karakter antara lain telah menimbulkan keberingasan, suka tawuran bahkan dari sejak siswa SLP sampai mahasiswa perguruan tinggi. Sulit dibayangkan misalnya mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa melakukan tawuran antar fakultas untuk sesuatumasalah yang sering sangat sepele. Sulit dipahami kalau mahasiswa merusak bahkan membakar laboratorium, perpustakaan dari fakultas yang mahasiswanya bertawuran dengan kelompoknya. Padahal karakter dan nilai (values) seperti integritas, respek, rasa menyayangi dan patriotisme misalnyajuga tak kalah pentingnya dari pada performans akademik yang diukur dengan nilai yang diperoleh untuk mata ajaran inti.

Nampaknya kita perlu berpikir lagi mengenai arah atau kebijakan pendidikan di Indonesia ini. Kita perlu mengembangkan pendidikan yang berorientasi pada anak didik (student-centric) dan pendidikan berdasar nilai (values driven education).

Selasa, 13 September 2011

BELAJAR DARI WIKILEAKS: SEBUAH RENUNGAN

Judul ini berasal dari judul artikel di koran Financial Times yang saya baca waktu perjalanan ke China dan isinya antara lain pentingnya Indonesia belajar dari Wikileaks.* Ada yang menarik dari tulisan ini, pertama, ceritera mengenai diplomasi Indonesia versus Singapura soal Selat Malaka. Indonesia merencanakan pengawasan yang ketat atas lalu lintas Laut di Selat Malaka dekat Singapura. Bagi Singapura ini dianggap suatu ancaman karena pengawasan yang berarti additional cost akan mengancam competitiveness singapura sebagai pelabuhan transito. Walaupun pengawasan alur lalu lintas ini adalah hak suatui negara dan berdasarkan hukum internasional diperbolehkan (demikian kata artikel tersebut), namun Singapura berusaha menggagalkan nya dengan meminta dukungan Australia dalam bernegosiasi, sambil mendukung upaya Australia menerapkan apa yang dilakukan Indonesia tersebut di perairannya.

Ceritera kedua adalah soal MoU antara Indonesia dan Singapura mengenai ekstradisi. MoU sudah ditandatangani, tetapi kesepakatan itu ternyata tidak pernah bisa diimplementasikan, karena ternyata diluar MoU sebenarnya masih banyak hambatan2 aturan dan hukum di kedua negara yang harus disesuaikan dan diselesaikan untuk berjalannya MoU tersebut. Dan ini nampaknya tidak atau belum dilakukan oleh Indonesia yang lebih memiliki kepentingan, mengingat banyaknya orang Indonesia yang terlibat kasus dan bersembunyi di negeri singa itu. Tulis artikel tersebut, Indonesia lebih suka mencari popularitas pada tataran politik di permukaan, akan tetapi tidak serius menangani pelaksanaannya. Artinya kita tidak sabar untuk mengurus detail nya yang justru sebenarnya akan membuat MoU itu menjadi lebih operasional.

Benarkah penilaian itu? Jangan-jangan memang benar demikian adanya perangai kita ini. Senang memulai sesuatu yang baru, meluncurkan sesuatu, sesuatu yang fenomenal. Apakah itu bermanfaat atau tidak, kita sebagai penggagas tidak peduli, yang penting kita sudah melakukan sesuatu yang hebat. Akibatnya seringkali kita tidak menyiapkan tindak lanjutnya. Artinya kita sering memiliki keinginan, niat, atau cita-cita yang baik, tetapi kemudian tidak serius menindak lanjutinya. Sebenarnya Tukul Arwana sudah sering mengingatkan kita akan hal tersebut, menurut Tukul:" jangan sekali-kali menilai buku dari sampulnya, tapi lihat isinya." Kenyataannya kita ternyata lebih sering menghargai penampilan luar bukan isinya.

PROGRAM HTR DAN PERKEMBANGANNYA
Coba kita lihat apa yang terjadi di sektor kehutanan, ketika kita memiliki program yang sangat pro rakyat seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pemerintah benar-benar berniat meningkatkan kesejahteraan petani hutan dengan memberi mereka akses terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam kaitan ini pemerintah memberi akses kepada masyarakat. dalam hal ini rumah tangga dan kelompok rumah tangga, berupa akses terhadap lahan seluas 15 HA per keluarga. Untuk itu pemerintah telah menyisihkan kawasan hutan di daerah-daerah konsentrasi penduduk seluas 1,5 juta ha untuk program HTR dan menyiapkan kredit lunak untuk membangun hutan tanaman tersebut dengan membentuk lembaga keuangan yang disebut Badan Layanan Umum (BLU) di Kementerian Kehutanan. Lembaga keuangan BLU ini menyediakan untuk kegiatan biaya penanaman dengan plafond sebesar Rp. 8,5 juta untuk setiap Ha.

Program HTR tersebut telah berjalan dua tahun, teman2 di Kementerian Kehutanan telah bekerja sangat keras untuk mewujudkan HTR tersebut. Sampai saat ini, bulan September 2011, pencadangan dari Menteri Kehutanan mencapai 654,118 Ha, sementara ijin HTR yang dikeluarkan oleh 34 Bupati di seluruh Indonesia mencapai 144,054 Ha (9,6 % dari total area yang dialokasikan atau 22% dari pencadangan yang sudah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan). Sementara ini akad kredit telah mencapai lebih kurang Rp. 30 Milyar sedangkan penyaluran kreditnya mencapai Rp 1,6 Milyar atau 5,2%.

Kalau kita lihat bahwa kebijakan pemerintah berorientasi pada tiga Pro yaitu Pro Growth, pro poor dan pro job, sekarang ditambah Pro lingkungan. Menjadi menarik ketika Kementerian Kehutanan melansir program yang pro rakyat, ternyata animo daerah kurang greget seperti ditunjukkan oleh rendahnya pencapaian pengembangan HTR setelah dua tahun berjalan, yaitu hanya 144 ribu Ha. Itupun baru dalam bentuk surat ijin Bupati dan belum berupa kegiatan riil penanaman hutan di tapak. Rendahnya animo daerah bisa disebabkan oleh berbagai faktor atau kemungkinan, pertama, pemahaman yang kurang atau belum merata mengenai konsep HTR sebagai leverage bagi upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat akibat sosialisasi yang belum optimal. Kedua, karena besarnya resiko kegagalan tanaman di lapangan karena berbagai faktor seperti kebakaran, perambahan, pencurian, hama penyakit dan sebagainya. Ketiga, manajemen dan biaya transaksi yang rumit, karena secara teoritis lebih mudah memberikan satu ijin dengan luasan 15.000 Ha daripada mengeluarkan ijin bagi 1000 keluarga yang masing-masingnya memperoleh ijin seluas 15 Ha.

PERLU TUNTAS
Ketika orang mempertanyakan mengapa capaiannya masih rendah, bisa saja pihak pusat menyatakan bahwa kami sudah berusaha keras tapi di daerah masih lambat prosesnya. Artinya, ketika pemerintah ingin mengimplementasi program yang baik sekalipun, akan tetapi daerah tidak meresponnya dengan baik karena berbagai alasan, maka program itu tidak akan dapat berjalan baik. Dan bahkan bukan mustahil gagal. Artinya harus ada sinergi antara pusat dan daerah.

Kalau kita belajar dari Wikileaks, maka seharusnya ketika pemerintah memiliki program semacam HTR dan harus berhasil, maka tanggung jawab dan peran pusat dan daerah harus terdefinisikan dengan jelas. Ketika pemerintah membuat aturan atau regulasi maka aturan yang mengikat semua pihak sangat penting untuk dibangu, oleh karena itu pusat dan daerah harus duduk bersama dengan semangat yang sama agar HTR berhasil. Dan menyusun aturan yang dapat diimplementasikan serta merupakan milik bersama (common ownership). Semangat saling menyalahkan akan terhindarkan dan yang timbul adalah semangat yang genuine untuk bekerja sama dan sama-sama bekerja mewujudkan HTR yang mensejahterakan masyarakat. Segala sesuatu harus dibuat tuntas agar operasional.

Catatan kaki:
* Tanpa mengurangi rasa hormat, akibat kliping korannya belum saya temukan
kembali, sehingga tdak bisa mencantumkan nama penulis artikel di Financial
Times tersebut.

Sabtu, 10 September 2011

Jawaban untuk Indonesia yang Lebih Baik: SDM

Semua orang tahu bahwa Indonesia dikaruniai bermacam kekayaan sumber alam yang luar biasa, beraneka tambang, hutan dengan keragaman hayatinya, lautan luas dengan kekayaan laut dan marinanya. Tapi orangpun tahu pengelolaan sumberdaya alamnya, sampai saat ini, belum mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konsitusi kita.Potensi untuk menjadi negara besar dan kaya belum termanfaatkan secara optimal, bahkan saat ini kita masih banyak tergantung pada utang untuk menggerakkan roda pembangunan ekonominya.

Pendapatan kotor nasional kita (GNP) pada tahun 2010 masih sekitar 3.000 US$ per kepala per tahun sementara tetangga kita Malaysia sudah mencapai 10.000 US$ dan bahkan Singapura mencapai 23.000 US$. Kalau kita lihat, ternyata Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumberdaya alam justru menjadi salah satu negara kaya. Singapura berkembang melalui bisnis jasa, jasa perdagangan sebagai pelabuhan transit, hub udara, jasa keuangan dan produk jasa lainnya. Dan bisnis jasa ini jelas memerlukan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang handal. Dan disinilah sesungguhnya kekuatan Singapura. Bisa kita bayangkan andaikan kita bisa memadukan dua faktor yaitu kekayaan sumberdaya alam dengan kemampuan SDM, carut marut yang kita hadapi akan dapat kita atasi dan cita-cita untuk menjadi negara yang sejahtera bukan merupakan suatu ilusi.


PROSES KONTINYU VS POTONG GENERASI

Kita mengalami berbagai periode mulai jaman yang kita sebut orde lama, kemudian menjadi orde baru yang dimulai tahun 1967an, lalu muncul orde reformasi ditahun 1990an sampai saat ini. Harus kita akui banyak perbaikan dan capaian positif yang telah dicapai seperti meningkatnya GNP, stabilitas ekonomi, iklim politik yang lebih demokratis, fasilitas umum, kesehatan dan pendidikan yang berkembang. Namun demikian kitapun masih menengarai besarnya disparitas antar kelompok dan wilayah, tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, akses terhadapat fasilitas kesehatan dan pendidikan yang belum merata, kepemerintahan yang belum baik sebagaimana ditunjukkan oleh masih tingginya penyelewengan keuangan negara, kinerja yag belum optimal, disiplin dan etos kerja yang masih perlu ditingkatkan dan masalah--masalah lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah kita.

Banyak yang berpikir untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan mengganti secara total pengelola negara atau pemerintah dengan memilih generasi baru yang lebih fresh dan belum terkontaminasi. Generasi tua sebaiknya secara legowo menyerahkan pada generasi yng lebih muda, idelaisme dan pandai. Ide ini yang sering disebut ide potong generasi, sehingga kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan dan atau dimiliki oleh generasi sebelumnya tidak perlu diulang dan kita bisa memulai dengan susuatu yang baru.

Pertanyaannya adalah mungkinkah itu dilakukan? dan Bagaimana melakukannya? Ide tersebut nampaknya bagus,tapi mari kita lebih realistis melihatnya dengan berguru pada pengalaman yang telah kita lewati. Hidup ini bukanlah sesuatu yang diskrit, tapi ia adalah sesuatu yang kontinyu, alih pengetahuan ketrampilan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berjalan melalui proses ajar dalam lingkungan atau milliu dimana kita hidup dan berinteraksi secara sosial. Ada dua aspek yang minimal harus kita lihat manakala kita bicara SDM. Pertama adalah karakter, kedua adalah ketrampilan atau kompetensi. Karakter pada dasarnya diturunkan secara genetik walaupun pada perjalannya akan pula dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Sementara itu ketrampilan dan kompetensi pada dasarnya dapat dipelajari.

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak tokoh pergerakan dan tokoh mahasiswa yang sangat ideal pada masanya, ternyata kemudian kehilangan orientasi dan terjebak mengikuti sistem yang sudah ada. Mereka tidak berhasil merubah sistem, bahkan larut dalam sistem yang pada awalnya mereka kritisi. Proses ini terjadi pada semua lapisan kekuasaan, eksekutif, legislatif dan judikatif. Bagaimana susahnya melakukan reformasi birokrasi sudah sama-sama kita ketahui. Remunerasi yang dicobakan pada beberapa kementerian nampaknya belum berhasil secara optimal, pelanggaranan aturan dan penyelewengan anggaran masih terjadi. Tentu bukan karena remunerasinya, tetapi lebih karena indikator keberhasilan lembaga dan individu yang tidak jelas beserta mekanisme pengawasan yang tidak berjalan dengan baik merupakan penyebab belum berjalannya reformasi tersebut sebagaimana kita inginkan. Berita di media masa media elektronika memberi gambaran mengenai kualitas governance yang belum baik.

Ketika parlemen diisi oleh generasi yang lebih muda dan lebih berkualitas dari segi latar belakang pendidikan di tahun 2009, ekspektasi bahwa lembaga ini bisa melakukan politik anggaranyang baik sangat tinggi. Bagaimanapun ketika hak anggaran tidak lagi ada pada tangan Bappenas, tapi ada di DPR melalui Hak Budgetnya. Maka harapan bahwa alokasi sumberdaya akan berjalan secara efisien ditumpahkan pada pundak lembaga ini. Kualitas Pemilu 2009 yang lebih baik daripada 2004 antara lain dicirikan dengan semakin matangnya partai mempersiapkan kader berkualitas untuk menjadi wakil rakyat pada lembaga ini. Faktanya, ternyata alokasi sumberdaya secara efisien tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak lebih baik dari pada periode sebelumnya. Kepentingan partai dan kelompok lebih kuat dari pada kepentingan rakyat yang notabene diwakilinya dan ini mempengaruhi efsiensi dan efektivitas alokasi anggaran pembangunan.

Dalam bidang judikatif fenomena yang sama juga ditemui.Kita bisa melihat sebagaimana banyak disampaikan melalui media betapa mafia peradilan, mafia kasus masih merajalela dan ini membuat penagakan hukum menjadi bias,belum berkeadilan dan belum optimal. Tanpa dukungan tim penegak hukum dengan kualitas yang baik dan bersih serta jumlah yang memadai, penegakan hukum sulit dilakukan secara benar dan berkeadilan dan tidak memihak. Kondisi ini, tanpa ketegasan pimpinan, akan menular dari generasi ke generasi tanpa bisa dicegah. Dari uraian ringkas ini dapat disimpulkan bahwa ada kontinuitas dalam proses transfer karakter dan ketrampilan dari satu ke lain generasi. Dengan demikian ide memotong generasi yang dilakukan dengan memangkas generasi yang lebih tua yang tidak bersih dan tidak baik melalui pemilihan atau penetapan generasi pimpinan baru, yangdiharapkan akan lebih baik dam lebih bersih, nampaknya sulit diterapkan ketika transfer perilaku juga terus terjadi secara kontinyu.

Kualitas SDM dan Critical Mass

Jelas bahwa perlu ada alternatif lain selain potong generasi yang nampaknya mustahil. Alternatifnya adalah membangun massa kritikal berkualitas dalam jumlah cukup untuk mempengaruhi warna pembangunan bangsa ke depan. Jumlah yang cukup ini akan menguntungkan karena antara lain: (1). Memudahkan proses implementasi pembangunan yang ideal, karena semua individu relatif memiliki visi, pengalaman dan budaya kerja yang sama; (2). Mampu mengurangi biaya transaksi karena komunikasi diantara mereka menjadi mudah;(3). Terjadi saling memperkuat (self empowering) dan saling mengawasi(self controlling) diantara mereka.

Pendekatan dalam membangun massa kritis perlu dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Pertama, mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswa ke luar negeri untuk program master dan doktor adalah melalui program. Kelompok ini diharapkan kelak akan menjadi pemimpin pada semua kelompok masyarakat baik pada sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat. Lulusan baru perguruan tinggi (fresh graduates) yang diprioritaskan untuk diberangkatkan karena alasan masih panjang usia produktifnya, masih segar dan masih relatif lebih mampu bersaing. Andaikan kita bisa mengirim setiap tahunnya minimal 10 ribu siswa ke luar negeri, dan bila program ini dijalankan selama 10 tahun berturut-turut, maka dalam 5 tahun pertama kita akan memiliki 10 ribu orang dengan sekurang-kurangnya bergelar master dan pada akhir program, yaitu pada tahun ke 15 kita memiliki 100 ribu master dan doktor. Jumlah ini dirasakan cukup memadai untuk kemudian menempati tempat-tempat yang strategis yaitu tempat atau posisi-posisi yang daya pengungkitnya cukup tinggi baik di pemerintahan maupun di swasta.

Pengiriman mahasiswa keluarga negeri sangat perlu untuk membangun nilai dan memperluas cakrawala pandang yang akan mampu melihat persoalan negeri secara lebih jernih dan obyektif. Dengan demikian diharapkan terobosan-terobosan untuk mengatasi kemacetan dan kemandegan pembangunan dapat dilakukan. Sebagaimana seseorang yang selalu di dalam hutan ia hanya akan mengenal pohon dan mungkin tidak pernah mengenal hutan. Tetapi kalau di keluar dari lingkungannya dan naik ke atas semisal naik helikopter ia akan mampu melihat hutan dan kondisi hutan nya dengan lebih baik. Studi banding yang sering dilakukan, mungkin hanya memperoleh pengalaman fisik tetapi belum tentu mengalami pencerahan nilai dan rasa. Dan inilah penting bahwa untuk pendidikan sampai tingkat doktoral, perlu minimal dalam salah satu tahapan nya apakah itu master atau doktor untuk keluar dari negaranya atau kampusnya.

Pengiriman mahasiswa keluar negeri, terutama pada umur-umur muda juga memiliki resiko yang besar, karena lebih memberi peluang bagi timbulnya masalah tidak ingin pulang pada sebagian mahasiswa, karena berbagai alasan. Mendapat pekerjaan yang lebih baik, kawin dengan penduduk setempat, tidak selesai sekolahnya dan memilih bekerja dan seterusnya. Taruhlah 50% persen tak ingin kembali artinya ada 50 ribu yang menetap di luar negeri, hal ini pun tidak sepenuhnya merugikan. Dalam jangka panjang, hal itu bisa menguntungkan, karena mereka akan menjadi pasar produk-produk Indonesia dan sekaligus sebagai agen promosi produk-produknya. Makanan, buah-buahan, tekstil, garmen, film, furniture, barang kerajinan serta produk-produk lain dari Indonesia. Lihatlah film-film bolywood bisa masuk pasaran di London, karena warga negara Inggris keturunan India jumlahnya cukup untuk membangun pasar dan menjadi pemicu permintaan film India di kalangan penduduk asli Inggris.

Walaupun mereka yang enggan pulang karena lebih memilih untuk beralih warga negara karena berbagai alasan, jiwa indonesia nya akan tetap ada dan terpelihara. Lihat lah masyarakat Jawa di Suriname kecintaan nya terhadap tanah jawa masih tetap tinggi sekali. Lihat juga keturunan India yang menduduki posisi tinggi di negara-negara maju baik di pemerintahan, perguruan tinggi, swasta dsb bersepakat untuk membangun fasilitas kesehatan di India dan dokter2 terkenal turunan India sepakat untuk bekerja di RS itu secara bergantian. Lihat berapa jumlah kiriman warga negara Filipina, India dst ke negara nya. Lihat juga remittance TKW ke Indonesia. Jumlahnya cukup besar dan bisa ikut menggerakkan ekonomi di negaranya masing-masing.

Nampaknya kita harus mulai mendefinisikan kembali arti nasionalisme. Lihatlah tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri bisa menjadi duta bangsa memperkenalkan Indonesia ke seluruh dunia. Apalagi bila mereka adalah tenaga kerja terlatih berkeahlian. (masih akan disambung)

Selasa, 26 Juli 2011

FAO "TERNYATA" BUKAN UNTUK KITA

Setelah melalui proses panjang pencalonan Direktur Jenderal FAO, akhirnya sampai juga ke hari penentuan yaitu Pemilu Dirjen yang dinanti-nanti. Itu terjadi pada hari Selasa, 26 Juni 2011. Pada putaran pertama, kandidat Indonesia mendapat 13 suara, sementara Spanyol dan Brasil memperoleh angka di atas 70 suara, sementara Austria, Iran dan Irak mendapat suara lebih kecil dari perolehan Indonesia. Kenyataan ini membuat kubu Indonesia memutuskan untuk mundur dan mengalihkan suaranya untuk kandidat dari Brasil. Pada putaran kedua, Brasil menang tipis dari Spanyol, dengan demikian kandidat Dirjen dari Brasil, resmi menjadi Dirjen FAO yang baru yang akan memulai jabatannya pada bulan Januari 2012. Optimisme di kubu Indonesia ternyata tidak menjadi kenyataan. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi?

KANDIDAT DAN KRITERIA FAO
Ada enam kandidat yang mengajukan diri sebagai calon Dirjen FAO, yaitu dari Indonesia, Iran, Iran, Brasil, Austria dan Spanyol. Latar belakang kandidat antara lain untuk Brasil, Austria dan Spanyol adalah mantan Menteri. Selainnya seperti Iran,Irak dan Indonesia adalah setingkat dirjen. Kandidat Indonesia adalah Eselon I yang masih aktif, sementara kandidat lainnya adalah para mantan pejabat. Berbeda dengan Indonesia, kandidat lainnya pada umumnya familiar dan pernah berasosiasi dengan FAO dan umumnya mereka secara langsung pernah berkiprah dalam kegiatan dibidang pertanian di negaranya masing-masing.

FAO adalah organisasi internasional yang sudah lama berdiri yang mendedikasikan dirinya untuk kemajuan bidang pertanian secara umum bagi kemaslahatan anggota dan umat manusia secara umum. Pada saat ini lembaga ini merasakan perlunya melakukan reformasi internal agar lebih mampu merespon dinamika perkembangan dunia. Masalah kemiskinan dan pangan adalah dua topik besar yang akan selalu menjadi bisnis yang mereka tangani. Dari sisi ini, disamping kriteria yang dijadikan dasar formal pemilihan kandidat, saya lihat ada dua point besar yang dijadikan kriteria penting calon Dirjen baru. Pertama, kandidat tersebut tentu diharapkan memiliki kompetensi di bidang pertanian. Bukan terlalu latar belakang pendidikan pertanian yang nampaknya menjadi penting disini, akan tetapi lebih pada pengalaman dan 'success story' dalam menangani masalah-masalah pertanian.

Kedua, dalam organisasi lama yang sudah "established" selalu ada kecenderungan untuk mempertahankan status quo, kalaupun ada keinginan berubah tentu perubahan yang tidak akan merubah total organisasi tersebut. Oleh karena itu kecenderungan untuk memilih orang-orang yang dikenal oleh organisasi tersebut dan dikenal oleh orang-orang di dalam organisasi tersebut, nampaknya menjadi sangat kuat. Teori menghindar dari resiko "risks avoider" nampaknya menjadi semangat yang cukup kuat didalam arena pemilihan kandidat tersebut.

LANGKAH KEDEPAN YANG REALISTIS
Nampaknya kita perlu punya rencana jangka panjang untuk pengisian jabatan2 pada organisasi internasional tersebut. Kesan pendadakan harus sangat dihindari. Pemetaan kekuatan, pesaing dan posisi yang strategis untuk diisi sangat diperlukan.
Kedua, pengkaderan calon-calon perlu dilakukan, diperkuat dan dipantau. Program pengisian ini harus menjadi kebijakan nasional, sehingga penempatan kader pada posisi dimorganisasi internasional harus diperhitungkan sebagai penugasan yang masuk dalam kerangka jenjang karier kepegawaian. Penguatan kader, selain substansi dan managemen, juga kemampuan berbahasa asing perlu diperkaya. Kemampuan berbahasa Inggris saja tidaklah memadai, kader harus memilki kemampuan berbahasa internasional resmi lainnya, sekurang-kurangnya satu bahasa di luar Inggris, seperti Prancis, Spanyol, China, Arab dan Rusia.
Ketiga, pembimbingan dari senior sangat diperlukan. Kemampuan bernegosiasi melalui penugasan pada sidang-sidang internasional dengan pengawasan dan bimbingan diplomat dan para senior. Kegiatan pembimbingan perlu dikaukan untuk mematangkan kader-kader kita. Cara-cara Brasil menempa kader-kadernya perlu ditiru.
Keempat, koordinasi internal antar sektor perlu dibangun sehingga penjaringan calon dapat dilakukan secara optimal. Sektor melalui kegiatan pembinaan internal dapat menyiapkan kadernya yang kemudian dikonsultasikan dan dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri.
Kelima, penjajagan diplomasi melalui upaya pemnbinaan kerjasama jangka panjang perlu dilakukan untuk membangun rekan yang loyal. Penggalangan melalui Kelompok G-77 Plus China dan Jepang perlu dilakukan. Kerjasana selatan-selatan perlu dibangun. Dalam kasus pemilihan Dirjen FAO yang baru lalu, kita melihat betapa kuatnya pengaruh Brasil di Afrika, melalui berbagai bantuan dan kerjasama teknis yang dirancang sejak lama oleh pemerintah Brasil. Suara Afrika jelas masuk ke kandidat Brasil. Kita memiliki peluang untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara Pacific melalui pendidikan dan bantuan teknis. Kehutanan saat ini memiliki kerjasama dengan Republik Timor Leste dan bukan mustahil kita bisa memperluas kerjasama ini dengan negara-negara PNG, Fiji, Vanuatu, Tonga, Samoa dan sebagainya. Masalahnya, apakah kita serius untuk memiliki program internasional yang lebih po aktif dan 'high profile'?

Selasa, 17 Mei 2011

ILIR ILIR

lir-ilir, Ilir-ilir, tandure (hu)wus sumilir
(BI) Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi
(MS) Kanjeng Sunan mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun
dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang
telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah
kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam
dari para wali.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
BI) Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
( MS) Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini
digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang
melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.

Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
(BI) Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu.
(MS) Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan
belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima
rukun Islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan
oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan
menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima
rukun Islam dan sholat lima waktu.

Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
(BI) Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu.
(MS) Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya
digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah
belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan
sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap
awet. Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam
untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima
waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu
diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut
orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan
sembarang pakaian biasa.

Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
(BI) Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek
(MS) Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang
meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka
digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.

Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
(BI) Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore
(MS) Seba artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh
karena itu disebut 'paseban' yaitu tempat menghadap raja. Di sini
Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan
beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama
Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT di hari nanti.

Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
(BI) Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
(MS) Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan,
perbaikilah kehidupan beragamamu.

Ya suraka, surak hiya
(BI) Ya, bersoraklah, berteriak-lah IYA
(MS) Di saatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti,
sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan

(Kiriman Suli Boentaran, San Fransisco)

Minggu, 15 Mei 2011

FATWA PUJANGGA

Ketika aku meminta kepada Allah SWT setangkai bunga segar
DIA memberiku kaktus yang berduri
Ketika aku meminta pada Allah binatang kecil yang cantik
DIA memberiku ulat berbulu

Aku memprotes karena kecewa

Tak lama kemudian Kaktus itu pun berbunga dan bunganya pun teramat indah, Ulat itu pun berubah menjadi seekor kupu-kupu yang amat cantik

Akhirnya ku sadari, bahwa pada waktunya DIA akan memberikan sesuatu yang lebih daripada yang kita minta

DIA tidak memberi apa yang kita minta, tapi Dia memberi apa yang kita butuhkan

Kadang-kadang kita sedih dan kecewa, namun jauh di atas segalanya.... DIA sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita
DIA YANG MAHA BESAR........

Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bersyukur atas segala nikmat dan karunia NYA.

Sabtu, 23 April 2011

MENDORONG KANDIDAT INDONESIA UNTUK DIRJEN FAO

Dirjen FAO saat ini, Pak Diouf akan menyelesaikan termnya pada akhir Desember 2011, dengan demikian perlu segera dipilih Dirjen FAO yang baru. Saat ini tercatat enam orang kandidat Dirjen yang berminat mengisi lowongan terPrsebut, salah satunya adalah kandidat dari Indonesia yaitu Prof. Dr. Indroyono Susilo, Sekretaris Menko Kesejahteraan Rakyat. Lima kandidat lainnya berasal dari Spanyol, Austria, Brazil, Iran dan Irak.

Presentasi kandidat
Sebagai bagian dari seleksi kandidat Dirjen FAO, maka sebagai salah satu Agenda Pertemuan Council FAO yang ke 141 di Roma, maka pada tanggal 13 April 2011 dilakukan persentasi oleh masing-masing kandidat Dirjen dihadapan sidang pleno council. Urutan pembicara dilakukan secara acak melalui undian yang dilakukan oleh ketua Sidang Council ke 141.

Masing-masing kandidat diberi waktu selama 15 menit untuk menyajikan visi dan misinya dan kemudian 15 menit tanya jawab dengan audiens yang diwakili oleh masing-masing region yaitu Amerika Utara, Amerika Latin dan Karibea, Australia dan Pacifik, Asia, Afrika dan Timur Dekat. Penanya yang mewakili region juga diberi waktu masing-masing selama dua menit secara bergiliran. Pada dasarnya setiap kandidat ditanya mengenai apa yang akan dilakukan sebagai Dirjen FAO dan apa prioritasnya serta pandangan kandidat tentang perlunya reformasi dalam organisasi FAO.

Sesi tanya jawab merupakan kesempatan dari setiap kandidat untuk meyakinkan khalayak bahwa kandidat memiiki kekuatan yang menyebabkan yang bersangkutan laik menjadi Dirjen baru FAO. Dalam kaitannya dengan upaya reformasi, kandidat Indonesia memiliki keuntungan komparatif karena berasal dari luar FAO, sehingga rasa segan dan 'ewuh pakewuh' relatif tidak dimilikinya dibanding dengan kandidat lain yang sudah pernah berasosiasi dengan organisasi FAO dan atau dengan kegiatan FAO. Selain itu, dari sisi umur, kandidat Indonesia adalah kandidat termuda, yang ini tentunya juga akan memiliki keuntungan dari sisi progresivitas. Secara teoritis, pemimpin yang lebih muda akan lebih progresif dibanding kandidat lain yang lebih senior yang biasanya lebih menyukai kemapanan. Namun demikian, seperti juga pemilihan American Idol, popularitas akan berperan penting. Oleh karena itu tim Indonesia perlu bekerja keras untuk melakukan pendekatan-pendekatan (lobbies)internasional untuk meyakinkan negara-negara kunci anggota FAO, bahwa kandidat Indonesia sangat layak untuk menjadi Dirjen FAO yang baru.


Unsur Politik dalam kandidasi Dirjen
Politik berperan dalam pemilihan-pemilihan pimpinan pada lembaga atau organisasi internasional, termasuk FAO. Negara-negara maju yang merupakan penymbang besar tentu ingin meyakinkan bahwa dana yang dikucurkannya akan digunakan secara efektif dan efisien, oleh karena itu penting untuk memilih calon yang dapat memuaskan agenda politik internasionalnya. Hubungan bilateral antara negara-negara kunci dengan negara-negara asal kandidat perlu diperhitungkan dalam 'positioning' Indonesia vis a vis kandidat dari lima negara lainnya.

Pemilihan Dirjen baru akan dilakukan pada akhir Juni 2011 di Roma. Ini berarti masih ada cukup waktu untuk melakukan lobi-lobi internasional ke negara-negara kunci yang akan mempengaruhi secara nyata arah pemilihan Dirjen FAO tersebut. Negara-negara maju seperti AS, Jepang, Inggris atau Norwegia perlu diperhitungkan. Region Asia melalui Asean perlu dipelihara dukungannya untuk kandidat kita, demikian juga kelompok Afrika serta Australia dan Pasific.

Keterkaitan AS dengan Indonesia, melalui Presiden Obarack yang besar di Indonesia, tentunya perlu diperhitungkan dan dikapitalisasikan secara baik. Norwegia memiliki kerjasama dengan Indonesia yang dapat dimanfaatkan dalam kaitan denga kandidasi Indonesia tersebut. Demikian juga dengan pemerintah Jepang yang banyak berkerja sama dengan Indonesia, bahkan rakyat di kedua negara selalu memiliki ikatan emosional yang sangat kuat. Korea pun tidak dapat dinafikkan perannya untuk ikut mendukung kandidat Indonsia.

Peran Indonesia sebagai ketua ASEAN dapat bermanfaat dalam penggalangan dukungan dari negara-negara Asean dan Asia pada umumnya. Banyak pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan oleh Tim Indonesia sejak saat ini sampai ke detik-detik pemeilihan Dirjen FAO yang baru pada akhir Juni yang akan datang.

Kerikil Politik dihari pertama sidang Council FAO yang ke 141

Sidang hari pertama council ke 141 yang dibuka pada tanggal 11 April 2011 membahas Agenda Sidang council. Pembahasan agenda, pada umumnya berlangsung cepat, karena semua peserta cenderung menyetujui agenda yang sudah disiapkan oleh sekretariat sidang FAO. Tetapi hal tersebut ternyata tidak terjadi kali ini. Alasannya adalah munculnya usulan agenda tambahan untuk acara lain-lain (other matters) yang disisipkan oleh Dirjen Diouf, yaitu persetujuan usul nama pengganti Deputi Dirjen, Mr. Duneja yang berasal dari India. Negara-negara maju seperti Eropa menolak usulan itu demikian juga beberapa negara besar serta kelompok negara berkembang lainnya, karena merasa di 'fait acomply' ole Dirjen Diouf.

Delegasi Indonesia, malam sebelumnya, juga telah membahas masalah ini yang dianggap mungkin jadi batu sandungan calon Indonesia, karena dapat saja ini menjadi isu politik dalam seleksi Dirjen baru. Isu sentimen pewilayahan (regional sentiment) yang bisa digunakan untk menekan calon dari wilayah Asia yang kebetulan diwakili oleh Indonesia, karena baik calon Dirjen dan Deputi Dirje yang baru, keduanya akan berasal dari region Asia. Malam itu diputuskan Indonesia tidak mengambil sikap dalam isu sensitif ini dan juga mempertimbangkan solidaritas Asia, terutama 'no hurting somebody policy'. Dalam hal ini Indonesia lebih suka berkonsultasi dengan juru bicara Asia, yang kali ini diwakili oleh Filipina.

Beberapa kali sidang diskors untuk memberi waktu masing-masing region berkoordinasi dan berkonsolidasi, yang kahirnya tepat jam 16:00 sore waktu setempat disepakati untuk menyetujui agenda endorsement Deputi Dirjen FAO dengan catatan penetapan Deputi Dirjen tersebut, tidak berkaitan dengan atau independen terhadap proses pemilihan Dirjen baru FAO. Keputsan ini secara politik menghilangkan kekawatiran Indonesia atas kemungkinan politisasi isu deputi Dirjen yang kebetulan berasal dari Asia juga.

Semoga Indonesia berhasil menempatkan kadidatnya pada posisi Dirjen satu organisasi internasioanl yang bergengsi seperti FAO ini. Amiin.

Sabtu, 02 April 2011

KEKAYAAN, KESUKSESAN DAN CINTA

Pada suatu hari, ketika seorang ibu pulang dari pasar, ia melihat ada tiga orang pria berjanggut di halaman rumahnya. Ketiga pria yang nampak letih dan lapar. ibu itupun mengajak mereka masuk untuk makan, tetapi mereka bertanya:" Apakah suamimu sudah pulang?". "Belum!" jawab si ibu. "Kalau begitu kami tidak bisa masuk".

Ketika suaminya pulang si ibu berceritera pada suaminya tentang tiga orang tersebut, dan suaminya menyuruh si ibu untuk mengajak mereka makan. Ketika si ibu mempersilahkan mereka masuk, salah satu dari mereka berkata: "Yang itu bernama KEKAYAAN, yang ini KESUKSESAN dan nama saya sendiri adalah CINTA". "Kalian harus memilih salah satu dari kami untuk masuk ke dalam rumahmu, karena kami tidak bisa masuk bersama-sama".

Si ibu masuk kembali kedalam dan menceriterakannya kepada suami apa yang dikatakan orang itu, suaminya berkata:" Suruh KEKAYAAN masuk, saya ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan". Tapi si ibu berkata: " Lebih baik KESUKSESAN, biar semua pekerjaan kita selalu penuh dengan Kesuksesan". Anak-anak mereka berpendapat: Lebih baik CINTA, biar rumah ini penuh dengan Cinta". Akhirnya semua setuju untuk mengajak CINTA masuk.

Ibu pun kembali keluar menemui mereka dan berkata: " Yang bernama CINTA silahkan masuk!". Ketika orang yang bernama CINTA tersebut masuk, kedua orang yang lainnya ternyata mengikutinya. Si ibu heran dan bertanya: " Kami hanya mengundang CINTA, mengapa kalian ikut?" Lalu orang itu berkata:" Kalau ibu memilih Kekayaan atau Kesuksesan, kami hanya bisa berjalan sendiri-sendiri. Tapi karena ibu memilih CINTA, kami berdua akan selalu mengikutinya kemanapun dia berjalan. Sebenarnya kami berdua ini buta, hanya CINTA yang dapat melihat dan menuntun kami kemanapun dan kapanpun juga..."

"RENUNGAN" jalani hidup ini dengan Cinta..." Dan bersyukurlah bahwa kita masih berada di sekitar orang-orang yang selalu kita cintai"

(Dikirimkan oleh sahabatku, mas nDaru)

Selasa, 22 Maret 2011

Karbon: komoditi kah?

Orang di mana-mana, terutama di kalangan elite baik di tingkat nasional maupun internasional ramai membicarakan jual beli atau perdagangan karbon tersebut. Bisa berdasar dana kompensasi (fund base) atau dapat pula melalui pasar (market base). Pembicaraan itu tidak terjadi di kalangan bawah maupun di pasar-pasar tradisional. Dan memang transaksi itu, kalau pun ada, tidak akan pernah terjadi di pasar-pasar tradisional. Salah satu masalah mendasar adalah "komoditi" yang diperjualbelikan disini adalah karbon yang tidak berwujud, tidak berwarna, tidak dapat diraba tapi bisa terhirup.

Komoditi itu apa?
Mari kita lihat definisi komoditi. Salah satunya menyebut bahwa komoditi adalah barang fisik seperti pangan, biji-bijian dan logam yang dapat dipertukarkan dengan produk lain yang sejenis dengan tipe yang sama. Dalam hal ini, komoditi diartikan sebagai barang yang diperjual belikan.

Dari definisi yang menyatakan bahwa komoditi atau barang adalah benda fisik, maka karbon atau dalam hal ini CO2 yang berbentuk gas tentu tidak termasuk ke dalam kelompok komoditi. Dalam praktek sehari-hari, kita juga bisa menjual gas, tapi tentu gas yang sudah dikemas dalam tabung, seperti gas elpiji atau O2 yang dapat kita beli bebas dimana-mana. Dengan menempatkan gas tersebut dalam tabung, maka kita bisa memperjual-belikannya. Artinya sulit bagi kita menganggap CO2 sebagai komoditi atau barang dalam wujud aslinya.

Dalam hal mengurangi emisi karbon yang dibicarakan dalam konteks perubahan iklim adalah bagaimana upaya untuk mempertahankan karbon agar tetap dalam pepohonan hutan mendapat kompensasi atau dihargai, baik melalui skim dana maupun skim perdagangan karbon. Dalam konteks ini maka karbon kita taruh dalam bentuk tegakan hutan bukan dalam bentuk tabung.

Komplikasi penyimpanan Karbon dalam bentuk tegakan hutan
Dari sisi penghitungan besarnya kandungan karbon, nampaknya secara teoritis tidak terlalu sulit. Pertama, kita harus menghitung berapa kandungan karbon dari pohon pada berbagai umur dan jenis. Secara teoritis dapat kita lakukan. Kedua, kita harus menginventarisasi semua pohon dan memilahnya dalam kelompok jenis dan ukuran (diamater, tinggi pohon atau volume pohon) sebagai proxy umur, sehingga dari perhitungan pertama dan kedua kita dapat menghitung berapa besar kandungan karbon dari satu hamparan tegakan hutan tertentu dalam bentuk ton karbon/hektar.

Komplikasi mulai muncul ketika kita menghitung lahirnya pohon dan kematian pohon yang sangat dinamis. Kita tahu bahwa pada fase pertumbuhan daya serapan cenderung meningkat seperti kurva S yang secara bertahap menurun kapasitas serap karbonnya dengan semakin tua umur pohon tersebut. Dinamika ini lebih sulit diikutinya, walaupun tetap bisa. Tetapi tentunya memerlukan resource (waktu, tenaga dan biaya) yang lebih besar untuk melakukannya.

Faktor yang paling sulit adalah ketika property right tidak terdefinisikan dengan baik. Karakteristik properti right yang benar adalah terspesifikasi dengan jelas, ini bisa saja berupa tegakan yang batas wilayahnya jelas. Enforceable, artinya semua pihak menghormati kepemilikan pemerintah atau privat atas sebidang hutan tersebut, sehingga pihak lain merasa tidak berhak untuk memanfaatkannya, karena akan berujung pada masalah hukum. Tapi dalam hal ini tentu pemerintah melalui kepastian dan penegakan hukum harus bisa menjamin hak tersebut. Bisa saja hutan milik pemerintah atau milik privat, tetapi tanpa jaminan hukum tersebut, maka pencurian dan kerusakan hutan bisa terjadi kapan saja. Artinya "komoditi" karbon yang terbungkus dalam bentuk tegakan menjadi tidak terjamin baik kualitas maupun kuantitasnya. Agar jual beli karbon dalam tegakan ini dapat memberi insentif bagi pemilik tegakan, maka tentu saja karbon yang ada dalam tegakan harus diberi harga yang nilainya lebih besar dari alternatif lain dan lebih besar dari biaya penjagaan yang harus dilakukan.

Sabtu, 19 Maret 2011

JEPANG DAN BENCANA

Jepang baru saja diguncang gempa bumi besar Richter yang diikuti oleh gelombang Tsunami yang tdak kalah dhsyatnya. Luluh lantak lah beberapa kota di Jepang terutama di sekitar episentrum gempa. Kita pernah mengalami tsunami besar yang datang setelah gempa besar dan itu terjadi di Aceh. Kita lihat melalui layar tivi bagaimana suasana bencana tersebut yang mengharu biru bukan saja para korban, yaitu saudara kita di Aceh, tapi juga hati seluruh bangsa.

Sisi pemerintah
Ada yang menarik dari kejadian di Jepang ini yang nampaknya perlu menjadi teladan yang dapat ditiru oleh manusia Indonesia. Pertama, wilayah terkena tsunami nampaknya memang sudah mempersiapkan diri untuk bencana seperti itu, karenanya mereka membangun tanggul di pantai setinggi sepuluh meter mengelilingi wilayah yang diperhitungkan sangat rentan terhadap tsunami. Kedua, sistem peringatan dini berjalan baik. Ketiga, pelatihan mitigasi bencana termasuk bagaimana menghindari atau menyelamatkan diri serta fasilitas-fasilitas penyelamatan diri dan lokasi pengungsian sudah tersedia dan dapat langsung dimanfaatkan ketika bencana yang sesungguhnya terjadi. Keempat, bangunan di Jepang memang sudah memenuhi kriteria tahan gempa. Terlihat dari media tivi, masyarakat Jepang tetap bertahan pada bangunan yang bergoyang-goyang dan kalau perlu akan bersembuinyi di bawah meja sebagaimana mereka dilatih secara berkala. Bangunan praktis tidak ada yang rusak akibat gempa, tapi gelombang tsunamilah yang berkecepatan di atas 600 km per jam yang memporak porandakan banyak bangunan. Kelima, sistem penanggulangan bencana juga berjalan sangat efektif dan nampak bahwa pemerintah dengan pengalaman yang panjang sudah menyiapkan manakala masa sulit tersebut terjadi. Pimpinan pemerintahan terjun langsung dan berada digaris depan mengatasi bencana tersebut dan berbaur bersama masyarakat dengan segala empatinya.

Individu dan masyarakat
Dari perilaku individu dan masyarakat, kita juga dapat banyak belajar dari manusia Jepang yang tangguh. Pertama, berbeda dengan kejadian bencana di tanah air yang sering terjadi, hampir tidak ada tangisan yang mengharu-biru dari para korban bencana di Jepang, baik anak-anak, remaja maupun orang tua. Semua berjalan seperti biasa saja, karena sadar bahwa mereka memang hidup di daerah yang rentan bencana. Kejadian tersebut nampaknya dianggap sebagai risiko yang memang harus mereka hadapi.
Kedua, tivi Jepang NHK juga memberitakan semua secara lugas dan transparan tanpa dilatar belakangi oleh lagu-lagu atau musik yang sentimentil dan memilukan, hampir tidak ada efek dramatisasi dari kejadian tersebut. Ketiga, berbeda dengan kejadian di negara lain termasuk negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris dan negara-negara berkembang, hampir dipastikan begitu terjadi bencana, maka pada saat pasca bencana akan terjadi penjarahan khususnya ke toko dan warung atau gudang-gudang pangan. Hal tersebut tidak terjadi di Jepang. Keempat, tingginya solidaritas sosial diantara masyarakat Jepang. Pada saat bahan makanan langka, menurut hukum pasar maka harga akan naik karena banyaknya permintaan. Itu pun tidak terjadi di Jepang, ada unsur etika kebersamaan sosial yang mengalahkan hukum pasar yang diagung-agungkan oleh dunia barat. Para pemilik toko malah menurunkan harga dan cenderung berbagi dengan masyarakat yang membutuhkannya. Solidaritas sosial yang luar biasa yang sudah tertanam dalam sanubari setiap anggota masyarakatnya.

Apa yang bisa kita pelajari
Dari kejadian tersebut jelas bahwa apa yang selalu dicanangkan oleh pendiri republik ini yaitu "nation and character building" adalah perlu dan fundamental bagi terciptanya kemandirian suatu bangsa. Nampaknya ini perlu mulai kembali dihidupkan semangat membangun karakter atau istilah yang sempat dipopulerkan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Lembaga pendidikan perlu kembali secara serius menghidupkan dan melaksanakan kembali pelajaran mengenai etika dan etos, semangat mandiri, semangat pantang menyerah dan semangat sosial yang tulus. Kita bisa berlajar dari Jepang, bagaimana bangsa itu membangun karakter yang demikian kuat yang muncul secara otomatis ketika negaranya mengalami kesulitan yang luar biasa. Semangat Bushido, semangat Samurai atau seperti kata Jansen Sinamo yang menulis di koran Kompas (Jumat, 18 Maret 2011)adalah semangat Gambaru. Secara populer Gambaru diterjemahkan sebagai: " berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan, bekerja hingga batas kemampuan terakhir, atau melakukan sesuatu dengan segala daya upaya, bahkan yang terpahit sekalipun untuk mencapai yang terbaik".

Jumat, 11 Maret 2011

12 kata JANGAN yang perlu dihindari

1. Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu akan semakin bahagia.

2. Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah, maka kamu akan semakin kaya.

3. Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah maka kamu akan termotivasi.

4. Jangan menunggu dipedulikan orang, baru kamu peduli, tapi pedulilah pada orang lain, maka orang akan mempedulikanmu.

5. Jangan menunggu orang memahamimu, baru kamu memahami orang, tapi pahamilah orang lain, maka orang akan memahamimu.

6. Jangan menunggu terinspirasi baru menulis, tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.

7. Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi mualilah bekerja, maka proyek akan menunggumu.

8. Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai, maka kamu akan dicintai.

9. Jangan menunggu uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah bukan hanya uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.

10. Jangan menunggu contoh baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.

11. Jangan menunggu sukses baru bersyukur. Tapi bersyukurlah, maka akan bertambah kesuksesanmu.

12. Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah. Kamu pasti bisa!


(Kiriman seorang sahabat: Awriya Ibrahim)

Selasa, 08 Maret 2011

PERLU DIBACA

Berikut ini ada pidato 30 detik dari Pak Bryan Dyson, CEO Coca Cola yang nampaknya menarik untuk disimak:

" Bayangkan bahwa kehidupan ini seperti main lempar bola dengan 5 bola ke udara (juggling). Bola-bola itu adalah Pekerjaan, Keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat dan anda berusaha agar kelima bola tersebut tidak terjatuh.

Anda akan segera mengerti bahwa pekerjaan adalah bola karet. Kalau anda menjatuhkannya dia akan memantul kembali. Akan tetapi empat bola lainnya yaitu keluarga, Kesehatan, Teman dan Semangat adalah bola yang terbuat dari kaca. Jika anda menjatuhkan salah satu bola tersebut, maka bola tersebut akan tergores, retak atau pecah dan sulit kembali seperti sediakala. Anda harus mengerti ini dan berusaha keras agar hal itu tidak terjadi.

Bekerjalah secara efisien pada waktu jam kerja dan tinggalkan tepat waktu. Berilah cukup waktu untuk keluarga, teman dan istirahat yang cukup.

Nilai hanya akan bermakna bila nilai tersebut diberi makna (Value has a value if its value valued)"

Rabu, 02 Maret 2011

KARBON LAGI: TREND KEDEPAN

Pembicaraan kompensasi karbon melalui skim REDD nampaknya juga akan berakhir antiklimaks, seperti juga Kyoto Protocol yang akan berakhir pada tahun 2012. Pembicaraan yang panjang dan melelahkan mengenai mekanisme pembangunan bersih atau "Clean Development Mechanism" (CDM) pada ujungnya berhenti tanpa pernah diterapkan. Penyebabnya adalah negara-negara Appendix 1, seperti AS, Canada, Jepang dan Rusia tidak berselera menjalankan kesepakatan Internasional tersebut- yang notabene sudah dibahas berbusa-busa dan memakan waktu, tenaga serta dana yang besar- kecuali, kata AS, bila China dan India dimasukkan juga kedalam negara Appendix 1.
Negara Eropa cenderung menggantikan kewajibannya untuk mengurangi konsumsi energi dengan mengalihkan pada kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon dengan mendorong skim REDD di negara-negara berkembang macam Indonesia dengan memberi kompensasi. Contohnya, Norwegia yang menjanjikan uang 1 milyar dollar AS ke Brasil dan Indonesia, itu pun dengan syarat kalau REDD-nya dinilai berhasil.

Mengapa REDD tidak di Negara Maju
Mengapa Eropa dan AS tidak melakukan REDD nya di negara sendiri? Kalau kita lihat luas hutan di Eropa sudah sangat sempit, di bawah 30%. Seorang teman dari Inggris dalam pertemuan UNFF malah bergurau harusnya Inggris juga dimasukkan dalam kategori negara dengan luasan hutan yang kecil(low forest cover countries)seperti negara-negara di Timur Tengah. Demikian juga di negara-negara Eropa lainnya. Hal itu dikarenakan mereka sudah lama membuka dan mengkonversi hutan alamnya dengan menjadikannya sebagai lahan-lahan pertanian. Tentu mereka segan menghutankan kembali lahan pertaniannya, mengingat sektor pertanian adalah sektor yang disubsidi sangat besar. Dan tentunya mereka juga tidak inghin tergantung pangannya dari negara lain. Hutan-hutan tua (old growth forest)di AS dengan pohon-pohon raksasa, seperti giant seqouia, douglas fir dsb. adalah penyimpan karbon yang sangat besar, contoh misalnya data tahun 2009 menunjukkan bahwa pohon Douglas-firs yang memiliki volume terbesar adalah:

Reed Creek Tree (Canada): 349 m3
Queets Fir (AS) : 332 m3
Tichipawa (AS) : 308 m3

Tapi hutan dengan pohon-pohon tersebut karena sudah merupakan hutan klimaks ia tidak mampu lagi menyerap lebih banyak karbon. Andaikata mereka menebangi hutan tua dan menjadikannya furniture dan seterusnya dan tidak membakarnya, maka karbonnya tidak akan lepas ke atmosfir. Dan mereka bisa membuat hutan baru yang mampu menyerap lebih bayak karbon, artinya karbon stok dan karbon yang diserap akan menjadi cadangan karbon yang besar. Tapi mereka tentu lebih suka membangun hutan atau mengkonservasi hutan di negara orang dan memelihara hutan tuanya yang unik itu sebagai obyek wisata yang mendatangkan lebih banyak keuntungan finansial. Oleh karena itu, Strategi mereka adalah membeli karbon atau mengkompensasi negara berkembang yang mau memelihara hutannya untuk tidak dimanfaatkan. Artinya dibiarkan tidak terjamah selalam periode tertentu.

Bagaimana Peran UNFCCC kedepan?
REDD pun yang diusung oleh UNFCCC nampaknya akan bernasib sama, karena komitmen global yang dibicarakan dalam forum internasional tersebut belum juga disepakati oleh semua negara anggota. Perbedaan diantara negara berkembang juga masih cukup kuat antara karbon berbasis kompensasi atau berbasis pasar. Belum lagi kondisi yang berbeda-beda diantara negara berkembang, mengakibatkan sulitnya membangun akses yang merata terhadap sumber pendanaan. Dana yang berkaitan dengan hutan dan lingkungan pada umumnya hanya dinikmati oleh beberapa negara berkembang seperti Brasil, Indnesia, China, Meksiko dan Malaysia, sementara itu banyak negara-negara Afrika dan Amerika Selatan kesulitan mendapatkan dana tersebut. Negara-negara maju pun melihat REDD berbeda-beda. REDD bukan lagi dipandang sebagai sekedar masalah teknis saja, tetapi REDD dilihat juga sebagai masalah politik. Hal ini menjadikan REDD sebagai bagian politik kebijakan energi masa depan bagi negara-negara maju, khususnya dalam bermanuver untuk menyelamatkan kepentingannya masing-masing.

Di masa depan, badan PBB semacam UNFCCC berkecenderungan untuk semakin kecil peranannya, karena sulit dibayangkan forum semacam UNFCCC akan mampu mengawasi perdagangan karbon. PBB tidak mungkin memonopoli karbon. Apalagi saat ini urusan karbon cenderung menjadi persoalan bilateral, antara negara penjual dan negara pembeli. Skim multilateral sulit diterapkan karena akan sangat rumit bila penghasil karbon terdiri dari banyak negara berkembang yang kesiapan dan tingkat pembangunannya berbeda. Akan sulit mencari base line yang dapat digunakan sebagai standar umum dan juga memiliki resiko untuk meng-exclude negara paling terbelakang dalam kelompok multilateral tersebut dari perdagangan karbon.

Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Kanada sudah menyatakan bahwa Protokol Kyoto adalah masa lalu. Sementara pasar karbon cenderung terlokalisasi seperti melalui GATT, WTO, EU, NAFTA, atau Karbon NAFTA yang diajukan oleh Amerika Serikat, Canada dan Meksiko. Jepang dan Amerika misalnya cenderung menggunakan skim jual beli karbon diluar skim PBB.

Apa yang harus kita siapkan?
Pendekatan bukan pasar melalui skim pendanaan (fund-base) harus dilakukan secara hati-hati dan didasarkan perhitungan yang akurat mengenai karbon yang dikompensasi, jangan sampai kita terkunci tidak dapat melakukan apapun (locked up) atas sumber daya hutan kita sementara nilai yang diterima terlalu murah dibanding dengan harga pasar yang mungkin dapat kita peroleh. Misalnya untuk kompensasi 1 Miliar $ dengan memperhitungkan harga pasar yang bisa kita peroleh, bukan mustahil perjanjian dengan Norwegia misalnya dapat kita penuhi dengan luasan hutan yang tidak besar untuk kita moratorium, apalagi kalau kita menggunakan hutan gambut yang kandungan karbonnya sangat tinggi.

Kedepan pasar karbon termasuk karbon REDD akan mendominasi karbon internasional dengan skim yang akan cenderung lebih melalui jual beli bilateral. Oleh karena itu Indonesia harus siap memanfaatkan peluang tersebut dengan mempersiapkan diri dan menjual sendiri karbonnya melalui proses negosiasi yang bermartabat dan seimbang. Untuk perlu dikembangkan sistem sertifikasi karbon nasional yang mencakup pendaftaran (registry), penerbitan dan pencatatan termasuk kelembagaannya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjual karbon yang bersertifikat tersebut ke pasar karbon yang sudah ada maupun yang akan muncul di masa mendatang.

(Catatan dari presentasi Dr. Kwangyul Peck, Climate Change and Forestry Policy Centre, Seoul National University tanggal 28 Februari 20111:" Thought for Indonesia"s Forest Carbon")

BELAJAR DARI ALAM

Dari AIR kita belajar KETENANGAN
Dari BATU kita belajar KETEGARAN
Dari TANAH kita belajar KEHIDUPAN
Dari KUPU-KUPU kira belajar MENYESUAIKAN DIRI
Dari PADI kita belajar RENDAH HATI
Dari ALLAH kita belajar SEMUANYA dalam hal kasih sayang yang sempurna

Melihat keatas, memperoleh semangat untuk maju
Melihat kebawah, kita bersyukur atas semua yang ada
Melihat kesamping , belajar semangat kebersamaan
Melihat kebelakang, sebagai pengalaman berharga kedalam untuk introspeksi
Melihat kedepan, untuk lebih maju


(Dari temanku Budi Santosa)

Minggu, 27 Februari 2011

DILEMMA JUAL BELI KARBON

Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim, ternyata membuka peluang baru dalam kaitannya dengan upaya mengurangi pemanasan global. Sebagaimana kita ketahui pemanasan global ini disebabkan karena banyaknya gas rumah kaca, seperti karbon, methan, dan sebagainya yang dibuang ke atmosfir akibat banyaknya pembakaran energi yang meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan ekonomi, terutama di negara-negara maju. Nah, hutan ternyata merupakan sumber daya alam yang terbarukan yang mampu menyerap karbon, sehingga keberadaannya diharapkan akan mampu mengurangi pemanasan global. Disinilah peran hutan sebagai penyerap dan sekaligus karbon membuka peluang baru, yaitu jual beli karbon.

Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada dua pihak yang terlibat. Pertama, yaitu negara maju yang tingkat konsumsi energinya sudah terlanjur tinggi, dan tentunya akan mengalami kesulitan untuk mengurangi emisi karbonnya, kecuali dengan jalan menurunkan standar hidupnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah negara-negara yang dalam Protokol Kyoto masuk dalam kelompok negara Appendix 1. Kelompok kedua, adalah negara-negara berkembang terutama di wilayah tropis yang memiliki hutan yang dapat dipertahankan sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Negara berkembang menjual kemampuan menyerap karbon dan negara maju membeli kemampuan tersebut baik dalam skim pasar karbon (carbon market) atau dana kompensasi karbon (Carbon fund).


Karbon:Barang gaib yang tak jelas penampakannya
Yang menarik disini, barang yang diperjual belikan adalah karbon, komoditi yang secara fisik tidak terjamah. Berbeda bila kita membeli kayu, getah, damar, meja, nbuah, daging beras dan seterusnya, barangnya nampak dan semua orang bisa melihatnya. Sementara karbon berupa gas yang tidak kasat mata. Tapi pembeli dan penjualnya yakin bahwa karbon yang diperdagangkan tersebut ada dan tersimpan didalam tegakan hutan. Masalahnya adalah berapa besar karbon yang tersimpan dalam tegakan hutan yang kemudian menjadi "komoditi" yang diperjual belikan. Dan jumlah karbon tersebut harus dihitung oleh para ahli. Kandungan karbon tentunya akan berbeda dari satu ke lain jenis tanaman, berbeda menurut umur tanaman, berbeda dari satu bagian ke bagian lain dari tanaman, berapa jumlah tanaman setiap jenis tersebut dalam hamparan dan seterusnya. Para ahli sedang mencari metode penghitungan yang simpel, sehingga kelak pengukurannya akan mudah dilakukan oleh semua pihak.

Bayar tapi Keri (tertinggal)
Yang membeli, tidak pernah memebawa barangnya pulang ke rumah atau kenegaranya. Tetapi membiarkan tegakan yang mengandung karbon tersebut ditempatnya. Jadi tidak ada istilah cash and carry tapi bayar dan barangnya ditinggal ditempat semula atau "keri". Lalu setiap saat pembeli merasa was-was apakah barangnya tetap ada atau hilang. Sehingga pembayaran dimuka (upfront)bisa menyebabkan penyakit gelisah karena pembeli selalu kepikiran barangnya yang gaib itu jangan-jangan hilang, karena tegakannya hilang atau memang barangnya menguap.

Sementara penjual tetap berkewajiban menjaga agar tegakannya tetap ada tidak tercuri, karena bila tegakan rusak yang berarti karbon nya menghilang, maka pembayaran atas karbon bisa menjadi berkurang atau dikurangkan dari kesepakatan awal. Akibatnya sebagian besar atau mungkin sebagian besar dana kompensasi atau uang pembayaran karbon yang diterima hanya cukup untuk menjaga tegakan atau hutan yang "dijualnya" tersebut. Tapi kurangnya pohon karena tercuri misalnya tidak selalu berarti karbon total nya berkurang, mungkin saja pertumbuhan pohon-pohon lain dalam hamparan yang sama, telah meningkatkan jumlah karbon melalui proses pertumbuhan. Tapi sebaliknya pembeli bisa mengklaim bahwa karbon total nya berkurang. Dalam hal ini tentu diperlukan pihak ketiga netral yang terpercaya yang bisa menghitung apakah barang 'gaib' yang dipermasalahkan tersebut tetap atau berkurang jumlahnya.

Harga yang disepakati bisa juga menjadi masalah ketika penjual memiliki daya tawar yang lebih rendah dari pada pembeli yang lebih menguasai permasalahan perkarbonan. Akibatnya biaya kesempatan (opportunity cost) bagi penjual karbon menjadi terlalu besar dalam arti ada kegiatan ekonomi lainnya yang jauh lebih menguntungkan dari pada menjual karbon dan menjaga hutan. Tetapi kegiatan ekonomi lain yang lebih menguntungkan dan menyehatkan. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran melalui demonstration activities mutlak perlu, kalau tidak kita tetap bak membeli kucing dalam karung.

Selasa, 22 Februari 2011

BIROKRASI MENGHAMBAT (KAH?)

Birokrasi Menghambat. Itu judul di harian Kompas, Selasa 22 Februari 2011 pada halaman 2. Dalam berita yang dikutip harian tersebut, Presiden mengatakan:"Pemerintah Pusat, terutama birokrasi, sering lambat dan bahkan tidak sejalan dengan perencanaan". Pernyataan presiden tersebut tentu berkaitan dengan banyaknya keputusan yang diambil pada rapat kabinet yang tidak ada tindak lanjutnya. Dan ini memang penting ketika banyak kebijakan pemerintah dalam upaya membuat terobosan yang tujuannya untuk mempercepat pembangunan atau mendorong percepatan kegiatan ekonomi ternyata tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Kerisauan ini tentu beralasan ketika pemerintah merancang Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (PPEI) yang antara lain akan menggerakkan BUMN untuk mendanai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang akan membutuhkan investasi sebesar 90 Miliar dollar AS.

Citra lambat dan menghambat tersebut lebih jelas lagi ketika menyimak pernyataan Sekretaris Kabinet pak Dipo Alam yang mengatakan, "Jika eselon 2 dan 1 menghambat itu urusan saya'....Kalau mereka menghambat, mereka akan terus dilibas". ,

Lha..ada apa toch dengan Birokrasi?

Sebelum kita bicara jauh, perlu terlebih dahulu memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan birokrasi itu. Pengertian birokrasi sesungguhnya memiliki konotasi organisasi yang rasional dan efisien. Logikanya mirip dengan logika suatu pabrik yang memiliki tahapan-tahapan produksi, dimana ada hirarki kewenangan dan spesialisasi yang memungkinkan terselesaikannya pekerjaan besar dan kompleks secara efisien. Dengan demikian, pada dasarnya tujuan birokrasi adalah bagaimana kita mengimplementasikan tindakan atau kegiatan dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan dan misi organisasi tersebut secara efisien dan efektif.

Birokrasi tidak bisa berjalan kalau tidak ada yang menjalankannya. Yang menjalankan birokrasi tersebut adalah orang atau kelompok orang yang disebut birokrat. Siapa birokrat itu? Menurut sosiolog Jerman yang bernama Max Weber, birokrat adalah orang yang memiliki perilaku, kompetensi teknis, loyalitas untuk menjalankan tugas sesuai dengan aturan; dan yang dibutuhkan oleh organisasi untuk menduduki suatu jabatan tertentu pada jenjang hirarki tertentu. Dia harus bekerja penuh waktu (full-time), oleh karena itu dia tidak boleh memiliki pekerjaan sambilan. Sebagai kompensasinya, birokrat berhak atas insentif berupa gaji yang memadai dan kepastian atas jenjang karier sepanjang masa kerjanya.

Nah masih menurut Weber, seorang birokrat harus melakukan penilaian (judgment) dan menerapkan keahliannya, tetapi tetap dalam kerangka melayani otoritas yang lebih tinggi (a higher authority). Tanggung jawab birokrat adalah terbatas pada menjalankan sebagian kewenangan dan tugas yang dibebankan padanya serta harus mengorbankan penilaian pribadinya, ketika penilaian pribadinya itu berbeda atau bertentangan dengan tugas dari organisasi yang dia emban.

Hal lain yang juga penting adalah pengawasan birokratis yang meliputi kepatuhan terhadap hukum, aturan dan otoritas resmi sebagai pedoman kerja, Termasuk ke dalam pengawasan ini adalah semua yang berkaitan dengan anggaran, laporan pekerjaan (statistical reports) dan penilaian kinerja yang amat penting untuk mengatur perilaku dan memastikan hasil.

Dari uraian mengenai birokrasi dan birokrat tersebut, secara teori, sebenarnya tidak perlu muncul keluhan bahwa birokrasi lambat dan menghambat. Tapi prakteknya ternyata berkata lain. Lalu mengapa masalah itu terjadi? Mari untuk menyederhanakannya kita fokus saja pada dua hal besar, yaitu pertama birokrasi sebagai mesin penggerak, dan kedua adalah operator yaitu birokratnya.


ANALOGI: antara Mesin dan operator
Percepatan atau akselerasi tentu membutuhkan mesin yang memiliki kemampuan lari yang cepat bak mobil formula (F-1). Pertanyaannya apakah mesin birokrasi saat ini masih bisa dipacu? Tentu pertanyaan ini harus segera dijawab dengan melakukan analisis cepat dan segera memperbaiki atau menyempurnakan komponen-komponennya apabila ternyata ditemukan kelemahan-kelemahan tersebut. Apakah koordinasi antara komponen mesin berjalan baik? Disinilah peraturan dan mekanisme tata hubungan kerja menjadi sangat penting untuk dikaji, jangan-jangan ada kabel penghubung antara komponen yang sudah tidak memadai, obselete dan rusak yang perlu segera diganti. Mungkin saja komponen mesin masih berfungsi baik tetapi spesifikasinya tidak pas, maka ketika dirakit menjadi satu kesatuan yang seharusnya dapat bersinergi dan diharapkan menjadi sebuah orkestra yang indah, ternyata yang munculk adalah suara musik yang tidak menentramkan. Artinya tidak berjalan optimal.

Bayangkan, suatu sektor tentu akan bekerja sesuai dengan mandatnya dan tentu pula akan berlandaskan pada Undang-Undang sektornya serta peraturan-peraturan sebagai penjabaran dari UU tersebut. Lalu bagaimana dengan aturan pada sektor lain yang berkaitan? Walau masing-masing Undang-undang telah mengatur sektornya dengan baik, tapi jangan-jangan tidak kompatibel dengan sektor lain, kalau tidak ingin mengatakan bertentangan. Ini salah satu hal yang krusial untuk dikaji secara cepat dan dicarikan solusinya. Bila tidak, maka tidak akan ada yang berani mengambil keputusannya. Akibatnya jelas, kendaraan ekonomi kita tidak akan bergerak kemana-mana.

Mari sekarang kita bicara operatornya. Seperti kata Weber, birokrat adalah orang yang harus kompeten dan memiliki keahlian teknis yang diperlukan pada posisinya masing-masing. Dia harus mampu melakukan penilaian sesuai dengan kewenangannya dan patuh pada atasannya. Disini harus ada pembagian tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang posisi. Apakah itu tanggung jawab teknis, administrasi ataupun tanggung jawab atas kebijakan. Keterbatasan kewenangan dan tanggung jawab ini harus menjadi perhatian ketika suatu penilaian kinerja diterapkan. Birokrat yang tidak mampu perlu digeser ke tempat yang lebih pas melalui mekanisme karier yang baku. Birokrat yang nakal dan tidak bertanggung jawab yang sengaja melambat-lambatkan pekerjaan karena sesuatu hal yang tidak benar (abuse of power, rent seeker dan seterusnya), walaupun sebenarnya mampu, harus diganti dan ditindak sesuai dengan peraturan yang ada serta tidak ditempatkan pada jabatan penting, karena akan mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan. Mungkin birokrat semacam ini yang menurut Sekretaris Negara perlu dilibas.

Apa yang sebenarnya terjadi?
Banyak terobosan yang penting yang harus dilakukan ternyata menyentuh beberapa peraturan perundangan dari berbagai sektor yang seringkali pula peraturan-peraturan tersebut tidak sinkron. Dari pengalaman, seringkali kebijakan terobosan yang berkaitan dengan perundangan-undangan beberapa sektor yang harus diambil, tidak cukup dipayungi oleh baju hukum yang jelas dan tegas, sehingga birokrat tidak dapat dengan nyaman berani meng-excercise kewenangannya tanpa rasa khawatir bahwa di satu hari kelak -baik ketika masih menjabat, apalagi bila sudah pensiun -tindakannya yang diambil karena mengikuti perintah atau otoritas yang lebih tinggi tidak akan akan bermasalah secara hukum. Yang paling krusial untuk dilakukan pada saat membuat terobosan-terobosan adalah segera membuat payung hukum agar dapat dihindari kemungkinan terlanggarnya ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman yang riil adalah ketika pemerintah tidak berani mengambil keputusan untuk mengizinkan 13 perusahaan tambang yang sesungguhnya sudah memiliki kontrak karya untuk beroperasi di kawasan hutan lindung yang diterbitkan sebelum diterbitkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka akhirnya dibawa ke DPR. Melalui pproses yang cukup panjang dan makan waktu, DPR akhirnya memutuskan bahwa ke 13 perusahaan tersebut diizinkan untuk beroperasi di hutan lindung.

Lalu?
Untuk hal-hal yang sangat urgent sebagimana diulas sebelumnya, maka payung hukum dari setiap terobosan yang akan dilakukan oleh pemerintah nampaknya perlu dibuat, karena selama ini hambatan yang paling sering terjadi adalah ketika birokrat tidak berani mengambil tindakan bilamana diperhitungkan bahwa terobosan itu mengandung risiko hukum. Oleh karena itu untuk hal-hal yang demikian maka otoritas yang lebih tinggi harus turun tangan dan kedua, dalam proses pengambilan keputusan nampaknya perlu melibatkan pihak penegak hukum, sehingga sejak dini legal aspeknya sudah dapat diselesaikan. Bilamana hal ini bisa diatasi hal teknis lainnya nampaknya bisa lebih mudah diatasi dan upaya percepatan bisa segera diwujudkan.