Kamis, 30 Desember 2010

HIJAUKAN JAWA BARAT SELATAN

Kalau kita ke Tasik atau Garut dari Bandung, maka kita akan melihat perbukitan di daerah Cicalengka kondisinya gundul tidak bervegetasi pohon yang cukup. Demikian juga kalau kita lihat perbukitan di daerah Nagrek kondisinya juga tidak terlalu ideal untuk suatu wilayah yang dari segi topografinya adalah kawasan lindung. Apalagi kalau kita dari Tasik atau Garut ke arah Bandung dengan menggunakan jalan alternatif Cijapati, kondisinya lebih buruk, bukit-bukit dengan kondisi lahan sangat terbuka dengan tanaman sayuran yang dibudidayakan tanpa mengindahkan kaidah konservasi tanah. Kondisi lahan di Jawa Barat Selatan, seperti di wilayah Bandung, Garut Tasik sangatlah mengkawatirkan atau berdasarkan klasifikasi temen-temen pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS), wilayah ini umumnya termasuk kedalam wilayah DAS Kritis.

Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi tutupan vegetasi di Jateng dan Jatim bagian Selatan terutama wilayah Selatan Jogya, Solo dan Pacitan, yang tutupan vegetasi pepohonannya sangat baik. Bukit menghijau penuh dengan hutan milik rakyat dapat kita lihat sepanjang jalan dari daerah Wonosari, Jogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah sampai ke Pacitan di Jawa Timur. Bahkan pak Presiden SBY menyatakan kekagumannya ketika berkunjung ke Pacitan, melihat hutannya yang bagus sempat terlontar bahwa beliau tidak percaya bahwa ini adalah daerah Pacitan yang dulunya sangat gersang dan hanya berupa bukit-bukit berbatu.

Beberapa faktor penyebab kondisi yang kritis di Jawa Barat Selatan antara lain karena, pertama, kebanyakan lahan tersebut adalah lahan masyarakat. Seringkali kawasan hutan justru berada di bagian bawah, sementara perbukitan adalah lahan milik. Padahal rakyat cenderung memanfaatkannya untuk menanam cash-crop dan tanaman bukan pohon yang umurnya pendek. Ketiga, dibanding daerah Wonosari, Wonogiri dan Pacitan, lapisan solum tanah di daerah Jawa Barat Selatan ini relatif tebal dan subur, sehingga rakyat cenderung menanam sayur-sayuran dan tanaman berumur pendek lainnya seperti kentang, singkong, ketela rambat karena sudah merupakan kebiasaan turun temurun. Mereka juga tidak melakukan upaya konservasi tanah, karena dianggap mahal. Untuk jenis tertentu seperti kentang memerlukan kondisi tanah yang tidak basah sehingga cenderung penanamannya dilakukan dengan memotong kontur. Keempat banyaknya perambahan kawasan hutan, karena ketergantungan pada kegiatan pertanian dan tingginya keinginan untuk mengokupasi lahan apalagi perambahan tersebut seringkali juga merupakan perambahan yang terorganisir.

Untuk memulihkan kondisi Jawa Barat Selatan tentu pemerintah, baik pusat terutama Kementerian terkait seperti Kehutanan, Pertanian, Pekerjaan Umum perlu menjadikan wilayah ini sebagai prioritas. Kementerian Kehutanan melalui kegiatan Gerhan atau gerakan menanam satu miliar pohon, kebun bibit dan sebagainya perlu lebih memperhatikan wilayah ini. Ada satu yang krusial di daerah ini yaitu perilaku pemanfaatan lahan yang cenderung eksploitatif, oleh karena itu kegiatan penyuluhan menjadi sangat penting yang dapat memastikan keberlanjutan kegiatan penanam pohon di wilayah ini. Hal-hal lain yang bersifat teknis seperti pemilihan jenis dan seterusnya merupakan bagian rutin yang tetap harus menjadi komponen penting dari kegiatan menghijaukan wilayah Jawa Barat Selatan tersebut.

Rabu, 29 Desember 2010

STRATEGI DIPLOMASI KEHUTANAN INDONESIA: peluang kerjasama dengan negara-negara Pasific

Indonesia adalah negara berhutan ke tiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Congo (dulu Zaire) dilihat dari luas maupun kekayaan keragaman hayati yang sering disebut salah satu negara Megabiodiversity. Pengalaman pengelolaan hutan tertama hutan tanaman di Jawa telah berlangsung ratusan tahun sejak zaman kolonial Belanda. Pengalaman pengelolaan hutan alam di luar Jawa melalui sistem HPH walaupun tidak seluruhnya berhasil, juga menunjukkan adanya modal pengetahuan (knowledge capital) yang luar biasa. Kita kenal sistem tebang jalur pada hutan alam yang dikembangkan oleh rimbawan yang mengelola areal HPH Saribumi Kusuma di Kalimantan Barat telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, karena ternyata kita bisa mengelola hutan alam tropis dengan baik. Saat ini program yang sering disebut dengan Silin (Sistem Silvikultur Intensif) tersebut sudah dikembangkan di beberapa HPH lainnya.

Pengetahuan teknis praktis mulai dari perbenihan, penanaman, pemeliharaan, penebangan, pengolahan hasil hutan juga merupakan modal pengetahuan yang saat ini menjadi salah satu kurikulum penting di sekolah kehutanan baik tingkat menengah maupun perguruan tinggi. Pengetahuan praktis semacam ini juga disebarluaskan melalui program pendidikan dan latihan yang sifatnya vocational dan jangka pendek. Demikian pula pengetahuan tentang penyuluhan yang efektif dalam melibatkan masyarakat merupakan pengetahuan praktis yang telah terakumulasi dalam jangka waktu yang panjang. Akumulasi pengetahuan praktis ini sesungguhnya merupakan modal yang dapat dijual dalam rangka kerjasama antar bangsa dan negara terutama diantara negara selatan.

Indonesia dengan kekayaan hutan tropisnya dan permasalahan sosial ekonominya yang rumit dan menantang banyak menarik minat luar negeri untuk ikut berkecimpung membantu kegiatan pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Bagi negara maju, Indonesia menjadi wahana untuk melakukan penelitian dan praktek dan tempat kerja bagi tenaga mudanya yang kelak menjadi ahli-ahli kehutanan. Untuk itulah kerja sama bilateral dengan negara maju banyak dilakukan. Pada sisi yang lain, Indonesia dengan banyak pengetahuan praktis dan applicable serta murah juga merupakan daya tarik yang bisa dikapitalisasikan untuk membangun kerja sama dengan negara-negara selatan misalnya dengan negara-negara kepulauan di wilayah Pacific.

Saat ini Kementerian Kehutanan melakukan kerjasama dengan Timor Leste dengan mengundang tenaga kehutanan mereka untuk dididik selama satu bulan di Indonesia tentang pengetahuan praktis kehutanan. Kerjasama tersebut merupakan buah hasil sinergi antara Kementerian Kehutanan dalam hal ini Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (Pusdiklat) dengan Dirjen Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Indonesia. Berdasarkan umpan balik dari peserta, mereka merasa bahwa pelatihan di Indonesia sangat bermanfaat dan langsung bisa diterapkan di negaranya, dibandingkan apabila mereka dididik atau ikut pelatihan dinegara-negara maju. Oleh karena itu mereka lebih berminat untuk mengikuti berbagai pelatihan di Indonesia. Dan pandangan serupa juga kami temui saat kami berbicara denganwarga PNG yang pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk mengikuti latihan di Bandung dan Jogyakarta.

Dengan latar belakang seperti itu tentunya upaya memanfaatkan modal pengetahuan kehutanan tersebut dalam menunjang diplomasi internasional menjadi sangat relevan dan strategis. Apalagi kita pun telah menjadi penggagas terbentuknya forum negara-negara pemelik hutan tropis atau yang biasa kita kenal dengan Forest Eleven Countries(F-11). Salah satu sasaran kerjasama yang bisa kita garap adalah negara-negara pulau di lautan Pacific seperti PNG, Fiji, Palau, Vanuatu, Tonga, Marshall islands, Samoa, Palau, St. Lucia, Barbados dan Kiribati. Selain itu juga kerjasama dengan negara Asean seperti Kamboja, Vietnam, Myanmar perlu pula dijajagi.


Beberapa hal positif yang dapat kita peroleh dari kerjasama dengan negara-negara tersebut antara lain:
1. Memperkuat kemampuan negara-negara tersebut khususnya dalam pengelolaan hutan yang akan bermanfaat dalam mengatasi perubahan iklim.
2. Memberi kesempatan pada pakar Indonesia untuk mengembangkan ilmunya dan memberi pengalaman internasional yang akan bermanfaat ketika berminat untuk berkecimpung dalam organisasi internasional yang sampai saat ini Indonesia masih tergolong under represented.
3. Memberi peluang pertukaran pakar antara negara-negara selatan khususnya negara-negara di wilayah Pacific.
4. Membangun kesetiakawanan global yang akan banyak membantu posisi Indonesia dalam negosiasi internasional. Kita mengerti sekecil apapun suatu negara, dalam forum PBB memiliki satu suara sama seperti negara-negara besar dan negara-negara kaya.
5. Ikut menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, mudah dipelajari dan cukup efektif untuk berkomunikasi baik untuk komunikasi informal maupun komunikasi formal termasuk komunikasi ilmiah.

Selasa, 28 Desember 2010

TERJEBAK DI XIAN MEN

Pengalaman perjalanan ini terjadi di negara Cina ketika mengikuti pertemuan Megaflorestais pada bulan Juni 2010 di kota kecil bernama Wuyishan di propinsi Fujian, RRC. Ceriteranya saya harus pulang duluan karena ada rapat penting di tanah air, oleh karena itu saya percepat perjalanan ini.

Dari tempat pertemuan di Wuyishan saya berangkat ke bandara diantar seorang anggota panitia lokal dengan kemampuan bahasa Inggris yang minimal. Setelah sekitar 30 menit samoailah saya di bandara dan langsung cek ini. Semua sepertinya berjalan lancar, gadis di konter cek ini sudah memberi bording. Namun saya tiba-tiba dipanggil oleh petugas konter dan bording pesawat diminta kembali. Ceriteranya dalam bahasa cina yang diterjemahkan secara terbata-bata, mengatakan bahwa e-tiket saya tidak muncul di layar monitor konter cek in. Nah mulai lah saya di lempar ke meja duty manager yang alhamdulillah tidak bisa berbahasa Inggris. Diapun tidak bisa memberi solusi apapun, selain terus ngoceh tanpa saya mengerti. Bagaimana itu bisa terjadi tidaklah jelas, akan tetapi pada detik-detik terakhir akhirnya saya mendapat juga bording pesawat. Namun begitu sayapun tidak mendapat kartu bording untuk pesawat terusannya. Artinya saya harus ngurus sendiri di Xian Men.

Bandara Xian Men lumayan besar dan dengan hanya waktu tersisa dari keluar pesawat untuk mengejar pesawat berikutnya yang kurang dari 1 jam. Plus mencari-cari konter cek-in yang memusingkan ketika tidak seorangpun yang bisa berbahasa Inggris. Nah, ketika saya temukan konter nya ternyata saya sudah tidak bisa lagi ikut pesawat tersebut, kecuali bila tanpa bagasi. Akhirnya terpaksa saya harus menginap semalam di Xian Men untuk meneruskan perjalanan pada keesokan harinya. Saya segera minta alamat hotel pada konter airlines setelah merubah jadual tiket. Dengan baik hati dia menuliskan dua alamat hotel di bandara dalam huruf cina. Dengan berbekal secarik kertas, saya berkomunikasi dengan supir taksi untuk mengantarkan saya ke salah satu hotel yang tertera pada tulisan itu. Tidak terlalu jauh hanya 10 menit saja dari bandara.

Nah kesulitan mulai muncul lagi ketika resepsionis hotelpun tidak bisa berbahasa inggris. Dengan bahasa tubuh yang sederhana, saya katakan perlu satu kamar untuk menginap. Resepsionis hanya senyum dan berbicara bahasa cina yang tentu saya tidak mengeri, akhirnya saya minta dia telpon ke bosnya. Lalu telpon itu diberikan pada saya. Ternyata orang itu menganjurkan saya datang ke hotelnya, karena tidak begitu jelas juga inggrisnya yang terjadi salah komunikasi juga. Karena saya bilang saya sebenarnya sudah dimuka resepsionis. Adu argumen di telpon ternyata melelahkan untuk suatu masalah yang sepele tapi saling tidak mengerti apa yang dimaksud lawan bicara. Karena lebih dari 20 menit berdiri di depan resepsionis, akhirnya saya putuskan menuju hotel yang satunya. Alhamdulillah di hotel kedua ini, yang jauh lebih baik, resepsionisnya juga lebih bisa berbahasa Inggris sehingga lancarlah urusan menginap tersebut. Namun demikian, dengan segala kerumitan soal bahasa, selera untuk melihat-lihat kota pupuslah sudah.

so what? Jangan berjalan sendiri di negara-negara yang hurufnya bukan latin dan tidak ada-kata dalam bahasa Inggris yang terpampang, menjadikan perjalanan kurang menyenangkan apalagi hanya transit semalam. Perlu ada teman, dalam hal mengikuti rapat internasional, pastikan pengantarnya bisa berbahasa Inggris. Pastikan soal tiket sebelum berangkat ke bandara, diskusi sama orang yang tidak mengerti bahasa yang kita pakai sangatlah melelahkan dan bisa membuat kita frustasi. Belajarlah percakapan dasar bahasa setempat yang mungkin akan berguna.

ANTARA BOS DAN NGEBOSI

Bos adalah pimpinan di suatu unit atau lembaga atau organisasi. Bos biasanya sebelum mencapai kedudukannya sebagai bos pada umumnya merangkak dari bawah, jadi calon pegawai, lalu menjadi staf dulu dan seterusnya. Ada jalan panjang yang harus dilalui, kadang-kadang berhasil tapi bisa juga gagal. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari sepertinya mudah menjadi bos itu. Lihat saja, Pak ogah yang membantu (merepotkan?)kita di persimpangan jalan sering bilang: makasih Bos!, ketika kita beri uang. Demikian juga tukang parkir akan bilang yang sama juga: makasih Bos. Fenomena ini menyiratkan bahwa orang dengan mudah memanggil bos pada orang yang pemurah. Tapi tentunya itu bukan bos yang kita maksudkan.


Nah, sedangkan ngebosi itu perilaku sikap dari seseorang. Bisa saja dia itu Bos asli atau bisa juga orang yang hanya belagak bak seorang bos. Bos sebagai pimpinan secara alami tentu memiliki wibawa, dia akan disegani dengan sendirinya karena memiliki kewenangan dan kekuasaan. Tanpa harus pasang wajah angker dan sikap menjaga jarak pun, orang sebenarnya secara otomatis akan respek sama bos. Tipe Bos ada yang memang jaga jarak tapi ada juga yang bersikap egaliter, tidak berjarak tapi tetap berwibawa.

Kedepan nampaknya Bos yang kompeten, visioner dan lebih egaliter yang diperlukan oleh organisasi modern. Karena tipe Bos seperti ini memiliki kemampuannya untuk beradaptasi dengan situasi lingkungan yang sangat dinamis.

Senin, 27 Desember 2010

MENDENGAR DAN MENGKAPITALISASI IDE DARI BAWAH

Bagi rimbawan, Pulau Jawa merupakan contoh pengelolaan hutan yang telah dipraktekkan sejak lama. Belanda lah yang memulai pengelolaan hutan jati di Jawa yang kemudian terus berlangsung sampai saat ini. Banyak orang berkesan bahwa pengelolaan hutan di Jawa tidak semakin maju malah justru mengalami kemunduran. Saat ini kawasan hutan di pulau Jawa pengelolaannya dipercayakan kepada BUMN yaitu Perum Perhutani berdasarkan PP No. 30 yang diperbaharui dengan PP No. 72 Tahun 2010.

Tegakan jati sebagai andalah utama perusahaan milik negara, saat ini memiliki struktur yang timpang dimana umur muda lebih mendominasi kelas perusahaan jati. Kalau pada tahun 1960an, masih ada daur jati yang sampai 100 tahun. Pada saat ini rata-rata daur hanya mencapai 40 sampai 60 tahun saja. Dari struktur tegakan yang ada kita bisa memperkirakan bahwa sulit menjadikan jati sebagai produk unggulan, karena memerlukan pembenahan. Dan jangka benahnya pun akan memerlukan waktu yang lama.

Dari kondisi tersebut tentu harus ada rencana alternatif yang tetap memungkinkan perusahaan memelihara arus kas nya dan memperoleh keuntungan dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Upaya mendongkrak komoditi selain kayu, yaitu komoditi non kayu dan jasa lingkungan bukanlah hal yang baru dipikirkan sekarang, tetapi sudah cukup lama menjadi wacana dikalangan internal perusahaan. Hasil hutan bukan kayu yang menonjol saat ini adalah produk gondorukem dan terpentin. Namun demikian keberhasilannya belum nyata, karena pendapatan perusahaan masih tetap didominasi oleh kayu jati dan produk olahannya.

Dari pembicaraan di lapangan ternyata banyak ide yang cemerlang yang bisa mendorong upaya memacu komoditi non kayu untuk secara bertahap mengurangi dominasi jati. Masalahnya banyak ide tersebut mengendap lalu perlahan-lahan menguap karena tidak tersalurkan. Sementara pegawai setingkat kepala wilayah atau administratur dan juga general manager lebih bersikap sebagai pelaksana dari semua kebijakan dari atas. Dan ini semuanya nampaknya memang by design dan diwarnai pula oleh kultur Perhutani yang masih lebih berorientasi atas-bawah daripada sebaliknya. Tanpa dibangunnya mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan ide dari bawah didiskusikan, perusahaan akan kehilangan peluang memperoleh pikiran bernas yang mungkin bisa muncul dalam mencari terobosan-terobosan untuk mendongkrak penerimaan dari produk non-kayu dan non-jati. Keyakinan ini didasarkan pada beberapa kesempatan berdiskusi dengan teman-teman di lapangan yang ternyata memiliki energi, semangat dan ide yang sering tidak terkapitalisasi karena terjebak dalam struktur (structural trapped) yang notabene kita bangun sendiri.

Bilamana mekanisme tersebut terbangun, selain produktivitas SDM akan semakin meningkat karena hal tersebut juga akan merupakan insentif non-tangible bagi para pekerja pemikir, akan tetapi juga akan meningkatkan rasa memiliki "ownership", sehingga semua jajaran akan bekerja dengan sungguh-sungguh karena keberhasilan perusahaan merupakan hasil kerja bersama yang juga akan berdampak positif pada setiap SDM perusahaan tersebut.

JANGAN MATIKAN KESEMPATAN ITU

Kadang-kadang kita sebagai bos, agak merah kuping ketika seorang anak buah mengkritik kita dalam suatu rapat terbuka. Apakah kita akan bereaksi negatif seperti marah atau positif dengan berterima kasih, maka akan tergantung pada beberapa hal antara lain tingkat kematangan pribadi, gaya kepemimpinan, kondisi psikologi dan seterusnya.

jadi bos seringkali membuat orang merasa berkuasa, karena pada dasarnya anak buah pasti akan segan. Seringkali rasa segan ini kemudian berubah menjadi rasa takut, ketika bos mulai menggunakan kekuasaannya untuk menekan anak buah. Membuat staf menjadi seperti bodoh adalah hal yang dengan mudah dilakukan antara lain dengan selalu memarahi staf atas segala hasil pekerjaannya. Marah, menyalah kan dan tidak memberi apresiasi pada staf yang dilakukan secara konsisten dan sistematis pada akhirnya akan menyebabkan hilangnya motivasi dan munculnya perasaan tidak mampu.

kalau kita memiliki gaya kepemimpinan seperti itu kita akan banyak kehilangan kesempatan yang baik, karena anak buah akan segan memberi masukan, karena takut dimarahi dan tentu menghindari hal itu terjadi, karena malu dengan kawan sejawat atau bahkan anak buahnya, apalagi bila bos suka sekali memarahi orang di muka umum. Staf menjadi takut dan bukan segan dan mereka akan bahagia dan senang sekali kalau bos tidak ditempat. Sementara bos juga tidak bisa belajar dari anak buah yang seringkali memiliki kemampuan praktis yang tidak kita miliki. Hubungan kerja menjadi kurang nyaman dan yang juga penting diingat, jangan-jangan kita malah menjadi rentan terhadap serangan stroke.

Buat bos atau calon bos, perlu diingat beberapa hal seperti: perlukah marah-marah? Jikalau tanpa marah kita malah sudah bisa menyampaikan pesan atau memotivasi dengan efektif. Perlu malu kah untuk mengakui bahwa kita pun perlu belajar dari staf? Apakah kita termotivasi hanya untuk sekadar menunjukkan bahwa sebagai bos bisa menyulitkan staf atau kita perlu membangun sinergi dengan memotivasi mereka untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan memberi apresiasi kepada mereka manakala mereka melakukan hal yang positip atau membesarkan hati kalau mereka melakukan kesalahan karena ketidak tahuan mereka? Atau memang kita termasuk dalam kelompok yang suka mematikan kesempatan?