Senin, 31 Januari 2011

EKONOMI EKSPOR ROTAN: SUSAHNYA MEMBUAT KEBIJAKAN

Masalah mengekspor atau tidak mengekspor rotan mentah nampaknya sudah berlangsung lama. Dan pada hakekatnya dikotomi itu muncul karena setidak-tidaknya ada dua pihak yang berkepentingan dan yang sama-sama memiliki kekuatan untuk memengaruhi kebijakan perdagangan rotan tersebut. Yang pertama adalah kelompok petani penghasil rotan, sedangkan di pihak lain adalah pengusaha/atau pengolah rotan dalam negeri. Kedua kelompok tersebut masing-masing punya asosiasi dan masing-masing juga memiliki suara yang dapat memengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Ekonomi pada dasarnya ilmu yang mempelajari alokasi sumber daya. Secara teori, alokasi yang dilakukan melalui mekanisme pasar bersaing akan menghasilkan alokasi optimal dengan harga keseimbangan yang memberi keuntungan yang cukup memberi insentif pada semua pihak yang terlibat, sehingga pemain akan tetap menekuni bisnis ini.

Kebijakan mengekspor rotan mentah selalu dituduh sebagai dalang kehancuran industri rotan domestik, sebaliknya melarang ekspor juga mematikan produsen rotan mentah karena harga dalam negeri,secara artifisial, menjadi sangat rendah. Karena harga yang terbentuk tidak memberi insentif pada produsen bahan baku, akibatnya pasokan bahan baku rotan jadi menurun. Pengalaman pelarangan ekspor bahan baku untuk meningkatkan industri pengolahan dalam negeri tidak menunjukkan hal yang positif. Pelarangan ekspor kayu bulat yang dimulai sejak tahun 1985 sampai saat ini juga tidak menghasilkan pertumbuhan industri kayu domestik yang tangguh, bahkan banyak kilang kayu yang tutup karena berbagai alasan, seperti mahalnya biaya produksi akibat harga bahan baku energi yang tinggi dan seterusnya.

"Ide membangun suatu sentra industri hasil hutan yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk memperbaiki kinerja industri ini", sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian (Busines Indonesia, 10 Februari 2011) bukan ide yang buruk. Tapi membenahi fundamental alokasi bahan baku antara produsen dan industri menjadi sangat krusial. Kebijakan yang tepat perlu diambil. Pembicaraan antar sektor untuk mengatasi hal tersebut harus dilakukan dan apapun kebijaksanaan terbaik yang diputuskan perlu dijalankan secara konsekuen dan konsisten. Dalam hal ini pemerintah harus firm untuk menjalankan kebijakannya tersebut.

Rabu, 26 Januari 2011

INTEGRASI VERTIKAL: ASLI DAN SEMU

Dalam organisasi industri kita sering dengar istilah integrasi vertikal. Yang dimaksud dengan integrasi vertikal disini adalah penggabungan kegiatan secara vertikal, misalnya unit penghasil bahan baku digabungkan dengan unit pengolahan bahan baku. Integrasi vertikal yang asli(Real Vertical Integration) terjadi kalau dua kegiatan tersebut berada dalam satu perusahaan. Sedangkan yang integrasi vertikal yang semu (Pseudo Vertical Integration) adalah bila kegiatannya tersebut tidak berada dalam satu manajemen perusahaan tapi mungkin berdasarkan kontrak jangka panjang atau bisa juga dengan gentlemen agreement karena dibawah suatu kendali organisasi yang bersifat kartel.

Dalam setiap bentuk integrasi vertikal di kehutanan keluhannya selalu sama yaitu sektor bahan baku merasa selalu dikorbankan, karena tidak pernah memiliki posisi tawar yang cukup baik sehingga harga yang diterima penghasil bahan baku relatif rendah. Seringkali timbul pemeo bahwa bisnis menanam kayu tidaklah menguntungkan. Fenomena saat ini menunjukkan bahwa pemeo tersebut adalah keliru besar dan menyesatkan. Lihatlah berkembangnya hutan rakyat di Jawa yang bereaksi positif terhadap sinyal pasar, kayu jenis cepat tumbuh seperti sengon dan jabon banyak ditanam orang bahkan tanaman jati berumur 5 tahun pun sudah memiliki pasar yang menjanjikan.

Ada upaya perbaikan yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kinerja integrasi vertikal tersebut. Tentunya berbeda berbeda antara integrasi yang asli dan yang palsu. Untuk integrasi yang asli, yaitu integrasi dalam suatu induk perusahaan, seringkali sektor bahan baku dalam posisi keuangan yang sering selalu merugi. Karena industrinya lah yang dijadikan tumpuan yaitu sebagai sektor yang profitable. Dalam hal ini penggunaan pendapatan sebagai ukuran kinerja sektor bahan baku menjadi sangat merugikan. Oleh karena itu, ukuran kinerjanya perlu dirubah menjadi keberhasilan mencapai target produksi lestari tertentu dengan kualitas bahan baku tertentu pula dan bukan ukuran untung rugi.

Sementara untuk yang integrasi vertikalnya semu, maka sektor bahan baku perlu memperoleh harga pasar yang memberi insentif untuk tetap bertahan dalam industri bahan baku. Biasanya karena pasarnya monopsonistis, maka sektor bahan baku terpaksa menerima berapapun harga yang dipasang oleh sektor pengolahnya. Kemampuan negosiasi sangat penting, terutama sektor bahan baku yang telah melakukan kontrak jangka panjang. Tapi pada kurun waktu yang panjang (long-terms), upaya membuka pasar alternatif untuk melempar bahan bakunya akan mampu menaikkan harga dan posisi tawar sektor bahan baku. Dan ini adalah peta jalan yang tepat untuk sektor penghasil bahan baku agar dapat bertahan di bisnis bahan baku ini.