Minggu, 16 Oktober 2011

MENGURANGI EMISI KARBON:PASAR DALAM NEGERI

Pemanasan global adalah sesuatu yang nyata dan orang dimanapun bisa merasakan perubahan yang diakibatkan olehnya. Pemanasan global menyebabkan meningkatnya suhu udara rata-rata di sekeliling kita. Pemanasan itu terjadi karena semakin banyaknya gas rumah kaca (GRK) yang dibuang ke atmosfir sebagai zat buangan dari sebuah proses pembangunan terutama dari proses konsumsi energi. Fenomena ini sudah menjadi kekawatiran global dan bahkan banyak dibahas di forum global khususnya pada konvesi para pihak dalam kerangka the United Nations Convention on Climate Change (UNCCC). Kegiatan mitigasi perubahan iklim lebih banyak menjadi pusat perhatian dan nampaknya lebih maju daripada pembahasan tentang kegiatan adaptasi. Dalam hal pembagian kewajiban mitigasi, maka negara maju diminta untuk mengurangi konsumsi energinya, sementara negara berkembang diminta untuk menurunkan emisi karbon melalui pengurangan kegiatan deforestasi dan kegiatan yang menyebabkan hutan terdegradasi (REDD). ---------------------------------------------------------------------------------------------- MITIGASI IKLIM ---------------------------------------------------------------------------------------------- Indonesia sudah mendeklarasikan akan menurunkan emisi karbon nya sebesar 26% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan negara maju, pada tahun 2020. Berbagai kebijakan untuk menurunkan karbon sudah dicanangkan melalui berbagai kegiatan seperti melakukan konservasi, penambah hutan tanaman dalam berbagai bentuk seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), HutanTanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa dan Hutan Adat. Melakukan gerakan menanam pohon, antara lain Tanam 1 milyar pohon untuk dunia (OBIT), Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM), Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan seterusnnya. Dalam mengatasi emisi karbon tersebut, Indonesia juga melakukan kerjasama dengan beberapa negara seperti Jerman, Inggris, AS, Jepang dan Korea. Terakhir juga mengadakan kerjasama dengan pihak Norwegia dimana negara tersebut menjajnikan memberi Indonesia 1 milyar dolar AS dalam bentuk Letter of Intent (LoI). ----------------------------------------------------------------------------------------------- Dalam kaitannya dengan upaya mitigasi melalui reduksi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan tersebut, Indonesia melakukannya secara bertahap. Sekarang kita berada pada fase pilot proyek yg kita kenal dengan Demonstration Activity (DA). Tahap ini diperlukan mengingat masalah karbon adalah masalah baru bagi kita, dengan DA ini kita dapat belajar bagaimana menghitung karbon, bagaimana kelembagaannya termasuk pembagian tanggung jawab, dan bagaimana mendistribuskan benefit bila pada akhirnya kita mendapatkan kompensasi dari kegiatan memelihara hutan tersebut. Bagaimana mekanisasi verifikasi jumlah karbon sehingga tidak akan ada perselisihan dikemudian hari. ---------------------------------------------------------------------------------------------- ETIKA DALAM MASALAH KARBON --------------------------------------------------------------------------------------------- Mengurangi emisi karbon dalam rangka mengatasi pemanasan global adalah tanggung jawab semua negara, baik negara majumaupuj negara berkembang. Negara maju harus menurunkan emisi karbon melalui pengurangan penggunaan energi yang berarti mengurangi pembangunannya, sementara negara berkembang yang masih ketinggalan pembangunannya terpaksa harus mengurangi niatnya membangun agar tingkat emisi karbonnya tidak meningkat. Artinya negara berkembang yang tertinggal tingkat pembangunannya harus menurunkan animo menggunakan sumberdaya alamnya demi tingkat emisi karbon yang rendah. Sementara itu jargon seperti "low carbon economic development path" masih belum jelas bentuknya walaupun peluangnya mungkin tetap ada. --------------------------------------------------------------------------------------------- Kecenderungan lain yang muncul adalah pengalihan kewajiban negara maju dengan mengkompensasi negara berkembang untuktidak memanfaatkan sumberdaya alamnya. Walaupun tidak sepenuhnya salah, akan tetapi ini tidak harus secara otomatis menghilangkan kewajiban negara maju untuk secara bersama-sama dengan negara berkembang menurunkan emisi karbonnya. Pembicaraan soal perubahan iklim pada forum UNCCC saat ini terus berputar-putar disekitar REDD dan REDD+ plus dan tidak membicarakan kewajiban negara maju. Hutan menjadi satu-satunya obat mujarab, bahkan negara maju cenderung menawarkan atau memaksakan upaya moratorium pemanfaatan hutan, seperti juga yang terjadi di dalam perjanjian antara Indonesia dengan Norwegia. -------------------------------------------------------------------------------------------- PAYMENT TO ENVIRONMENT SERVICES (PES) DAN PASAR DALAM NEGERI -------------------------------------------------------------------------------------------- Dalam kaitannya dengan penurunan emisi karbon, saat ini telah muncul pasar karbon. Banyak pemegang konsesi HPH maupun HTI yang tertarik untuk berjualan karbon sebagai adisionalitas dari pengelolaan hutan secara baik. Bahkan animo mengembangkan konsesi restorasi ekosistem (RE) saat ini meningkat harapannya yang memperoleh dana karbon sampai masanya mereka diijinkan untuk melakukan ekstraksi. Pembeli prospektif diluar negeri nampaknya akan banyak, dan itu bisa berasal baik organisasi pemerintah, swasta maupun dari perusahaan dan pabrik yang mengeluarkan pencemar. Arinya terbuka pasar karbon internasional. -------------------------------------------------------------------------------------------- Sementara itu kita pun melihat adanya mekanisme pembayanan pada jasa lingkungah atau PES yang telah dikembangkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Salah satu PES di Indonesia yang berjalan baik adalah PES di Sungai Wain, Balikpapan, dimana pengusaha pengguna air membayar kompensasi pada manajemen Sungai Wain untuk kemudian dipakai sebagai biaya mengamankan dan memelihara lingkungan Sungai Wain sebagai daerah tangkapan air. -------------------------------------------------------------------------------------------- Kegiatan pertambangan baik tambang umum maupun minyak dan gas bumi pada dasarnya memberikan dampak lingkungan, khususnya dalam kaitannya dengan emisi karbon. Meskipun perusahaan tambang ini sudah membayar pajak, tetapi belum memperhitungkan kerusakan lingkungan dalam pembayaran pajak tersebut. Dengan demikian, perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia pada dasarnya dapat menjadi pasar karbon di dalam negeri. Ada beberapa keuntungan untuk berjualan karbon di dalam negeri. Pertama, kesan industri ekstraktif ini hanya menimbulkan kerugian lingkungan bisa berkurang. Kedua, mekanisme yang bersifat volunter akan mendorong rasa tanggung jawab dari semua pihak. Ketiga, menghindari masalah melanggar kedaulatan nasional dan keempat, semua pihak bisa belajar bersama dan bersepakat bersama tentang besaran karbon yang harus dibayar.

Jumat, 14 Oktober 2011

THE DILEMMA: To Use or Not To Use

Our planet is endangered by the lack of our respect towards the forest and its biodiversity. This is a very real threat: to see it, one just has to observe the pollution of rivers, the transformation of all forest into agricultural and pastor land, the disasters originated from the loss of forest, such as mudslide etc. It is definitely a dilemmatic situation for us, the world citizen. While some of us are irresponsibly using the forest as a mean to their economic goals, some of us are against any act that abuse forest existence. Yet, I believe that there should be an acceptable medium that can be developed based on mutual understanding and respect, with the same goal of proudly passing down our Forest to the next generation with minimal damage. --------------------------------------------------------------------------------------------- THE FACTS --------------------------------------------------------------------------------------------- Many of us, especially in the countries full of rainforest, have the abundance of forest products, among so many forest product, we have teakwood (Tectona Grandis). Indonesia is one of the world teak producers, and at the same time Indonesia is also loosing its teak forest rapidly. The primary use of teak harvested in Indonesia is in the production of outdoor teak furniture for export. Teak is used extensively in boat decks, as it is extremely durable and requires very little maintenance. ----------------------------------------------------------------------------------------------- THE RECOMMENDATION: ------------------------------------------------------------------------------------------------ 1) Use Plantation Teak instead of Forest Teak and study has indicated that Plantation teaks performs as good as old-growth teak in dimensional stability, erosion rate, warping, and surface checking, but is more susceptible to color change from UV exposure. Our responsible purchase teak with The Forest Stewardship Council certification ensures us that the teakwood was grown and harvested from teak plantation. -------------------------------------------------------------------------------------------- 2) Promote the information to the teak product owner that any sanding and oiling will “shorten” the life of teak. Teak tends to wear in to the softer 'summer' growth bands first, forming a natural 'non-slip' surface. Any sanding is therefore only damaging. Use of modern cleaning compounds, oils or preservatives will shorten the life of the teak, as it contains natural teak-oil a very small distance below the white surface. Wooden boat experts will only wash the teak with salt water, and re-caulk when needed. This cleans the deck, and prevents it from drying out and the wood shrinking. The salt helps it absorb and retain moisture, and prevents any mildew and algal growth. People with poor knowledge often over-maintain the teak, and drastically shorten its life. ---------------------------------------------------------------------------------------------- 3) Develop awareness on how to treat teak products respectfully, how is that? Personally I think that if it takes 15 years to grow a tree before the three can be felled, one should strive to create a product that will last longer than 15 years. It is an insult to mother nature when we grow a tree for 15 years and fell the tree, use the tree to create a product that will only survive a few seasons. Outdoor furniture creation is definitely not a respectable way to use our teakwood. On the other hand, we can create various product that will last for more than 15 years or even for generations. One of the sweetest thing in my life is to hear my mother said to me at one time: “This cabinet was pass on to me by my grandmother, and it is made of teak, and I am passing it on to you…if only this cabinet can speak, it will tell you our family history”, and I call that respect. -------------------------------------------------------------------------------------------------- THE CONCLUSION: ------------------------------------------------------------------------------------- Implementing the above recommendation will be a great solution for both ends. It is concerning that This year we reach another milestone in global population growth, 7 billion inhabitants of Earth. It has only taken us 12 years to add an additional 1 billion people to the planet. This kind of rapid population growth puts strains on environmental, political, and financial resources. We all should be aware that the nature capability to nurture a tree in not proportional to the consumption of the tree, we should use use tree and tree product* wisely. (Suliati Boentaran) ------------------------------------------------------------------------------------------------- *) Tree product includes: paper, furniture, wood floor and anything originated from wood of forest and plantation.

Rabu, 12 Oktober 2011

Kahlil Gibran on Love

When love beckons to you, follow him, Though his ways are hard and steep. And when his wings enfold you yield to him, Though the sword hidden among his pinions may wound you. And when he speaks to you believe in him, Though his voice may shatter your dreams as the north wind lays waste the garden. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ For even as love crowns you so shall he crucify you. Even as he is for your growth so is he for your pruning. Even as he ascends to your height and caresses your tenderest branches that quiver in the sun, So shall he descend to your roots and shake them in their clinging to the earth. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Like sheaves of corn he gathers you unto himself. He threshes you to make you naked. He sifts you to free you from your husks. He grinds you to whiteness. He kneads you until you are pliant; And then he assigns you to his sacred fire, that you may become sacred bread for God's sacred feast. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- All these things shall love do unto you that you may know the secrets of your heart, and in that knowledge become a fragment of Life's heart. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- But if in your fear you would seek only love's peace and love's pleasure, Then it is better for you that you cover your nakedness and pass out of love's threshing-floor, Into the seasonless world where you shall laugh, but not all of your laughter, and weep, but not all of your tears. Love gives naught but itself and takes naught but from itself. Love possesses not nor would it be possessed; For love is sufficient unto love. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- When you love you should not say, "God is in my heart," but rather, "I am in the heart of God." And think not you can direct the course of love, for love, if it finds you worthy, directs your course. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Love has no other desire but to fulfill itself. But if you love and must needs have desires, let these be your desires: To melt and be like a running brook that sings its melody to the night. To know the pain of too much tenderness. To be wounded by your own understanding of love; And to bleed willingly and joyfully. To wake at dawn with a winged heart and give thanks for another day of loving; To rest at the noon hour and meditate love's ecstasy; To return home at eventide with gratitude; And then to sleep with a prayer for the beloved in your heart and a song of praise upon your lips. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Kahlil Gibran – Tentang CINTA ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Ketika cinta menjemputmu, ikutilah, walau jalan yang harus kau tempuhcuram dan terjal. Dan ketika sayap cinta merengkuhmu, berserahlah, walau sisi tajam dari sayap itu mungkin akan melukaimu. Dan ketika cinta berbisik padamu, percayalah,
walau suara itu mungkin membuyarkan mimpi-mimpimu bagaikan angin utara yang memporakporandakan tamanmu. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Cinta akan membuat dirimu merasa tersanjung tapi cinta juga yg akan membuat dirimu merasa tersalib. Karena selain cinta membuatmu merasa berbunga cinta juga akan membuatmu merasa luruh. Cinta akan mengawangkanmu dari pijakanmu di bumi ini. Dan cinta juga akan mencengkeram, menggoyang akar-akarmu hingga tercerabut dari bumi ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Bagai seikat gandum ia satukan dirimu dengan dirinya.
Menebahmu hingga telanjang
Menggerusmu agar kau terbebas dari kulit luarmu
Menggilasmu sampai ketulangmu. Melumatmu hingga kau menjadi liat
Kemudian ia membawamu ke dalam api sucinya, hingga engkau menjadi roti suci perjamuan kudus bagi Tuhan. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Semuanya dilakukan cinta pada dirimu hingga kau mengetahui rahasia hatimu sendiri, dan pengetahuan itu menjadi inti kehidupanmu. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Tetapi jika kau hanya mencari kesenangan dan kenikmatan cinta, sebaiknya tutuplah ketelanjangan itu dan berlalulah dari lantai penebahan cinta, dan jelanglah hidup tanpa musim dimana engkau akan tertawa yg bukan tawamu, dan engkau akan menitikkan air mata yang bukan tangismu. Cinta tidak memberi apapun kecuali dirinya sendiri dan tidak meminta apapun selain cinta itu sendiri, Cinta tidak memiliki dan tidak dimiliki Karena cinta hanya untuk cinta itu sendiri ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Ketika engkau mencinta Tuhan, jangan katakan, “Tuhan ada dalam hatiku”; tapi katakan, “Aku ada di dalam hati Tuhan” Dan jangan berpikir engkau mampu mengarahkan cinta karena cinta akan mengarahkanmu kalau kau layak berjalan ditapak cinta itu. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Cinta tidak pernah berhasrat lain, selain pemenuhan cinta itu sendiri. Namun jika engkau mencinta dan berhasrat, biarlah ini yang menjadi hasratmu:
mengalir bak anak sungai yang melantunkan nyanyian malam, merasakan pilunya kelembutan
cinta. Terluka oleh pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Berdarah dengan ikhlas penuh suka cita Terbangun di saat fajar dengan harapan dan ucapan syukur untuk hari-hari yang dipenuhi cinta;
beristirahat di siang hari dan meresapi keagungan cinta. kembali di senja hari dengan mensyukuri cinta…dan beristirahat dimalam hari dengan doa dan pujian bagi yg tercinta. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- (translated by NN)

Jumat, 07 Oktober 2011

Diversifikasi Pangan: Sepertinya perlu gerakan nasional dan promosi gencar dari sisi Permintaasn

Program diversifikasi bukan suatu hal yang baru. Tapi yang pasti kebanyakan orang Indonesia masih mengkonsumsi beras dan makan nasi. Bahkan penduduk yang tadinya makan selain beras, justru beralih ke beras sebagai sumber karbohidratnya. Ada stigma bahwa yang tidak makan nasi,pasti termasuk kedalam kelompok yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Diversifikasi tidak seluruhnya gagal, contohnya konsumsi terigu melesat luar biasa. Sayangnya, gandum sebagai bahan baku terigu tersbut adalah komoditi ekspor. Selain menyerap devisa juga telah menyebabkan ketergantungan pada ekspor. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Padahal sumber karbohidrat lain sangat banyak,singkong, ubi, jagung, sagu,porang, garut dan seterusnya. Teknologi pangan yang merubah bahan-bahan tersebut untuk menjadi tepung sehingga bisa digunakan untuk membuat kue dan penganan, bahkan beras tiruan pub sudah dapat dibuat dengan kialitas dan rasa mendekati beras dan dengan kadar protein yang bisa lebih diatur. Tanaman penghasil karbohidrat tersebut bisa tumbuh dimana-mana dan mudah dibudidayakan. Program penelitian untuk meningkatkan produksi sudah banyak dilakukan. Tapi mengapa program diversifikasi tak kunjung berhasil? ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Sisi Permintaan perlu digarap ---------------------------------------------------------------------------------------- Kalau sisi produksi sudah banyak digarap, bahkan nampaknya selalu menjadi fokus dari program diversifikasi pangan ini, maka sebaliknya sisi permintaasn masih kurang digarap. Penelitian mengenai perilaku untuk menggunakan atau tidak menggunakan sumber pangan selain beras, perlu di eksplore lebih jauh. Program sosialisasi ini antara lain perlu dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti penyuluhan, promosi yang gencar, menetapkan kebijakan untuk menggunakan sumber karbohidrat selain beras di kantor-kantor, misal makan siang pada hari tertentu harus bukan beras. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Program perubahan perilaku penggunaan karbohidrat selain beras harus merupakan program jangka panjang yang disusun secara sistematis dengan memanfaatkan lembaga penelitian dan penyuluhan yang ada, mengoptimalkan penggunaan tenaga penyuluh yang ada. Program KB yang berhasil dimasa lalu perlu dijadikan acuan dan contoh, melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama serta kelembagaan keagamaan yang ada seperti pesantren perlu dipertimbangkan secara lebih serius. Promosi gencar yang dilakukan olehh produsen mie instant perlu dirujuk. Bekerja sama dan menyaratkan penggunaan bahan baku non terigu, harus menjadi salah satu program nasional diversifikasi pangan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Teladan pimpinan, tokoh masyarakat akan lebih menimbulkan efek perayu yang lebih efektif dari pada sekedar demonstrasi makan makanan non-beras pada suatu upacara yang sifatnya lebih seremonial. Yang harus didorong adalah bukan bisa makan makanan non-beras, tetapi harus biasa. Menjadikan kebiasaan untuk menggunakan bahan pangan non-beras inilah yang yang harus menjadi sasaran dari program penanganan sisi permintaan.

Rabu, 05 Oktober 2011

CERITERA DARI SEBUAH RUMAH SAKIT: Siapkah Kita Berbisnis Jasa Pelayanan Kesehatan?

Seringkali kita bertanya mengapa sih kita harus pergi berobat keluar negeri? Jawabannya bisa macam-macam. Ada yang bilang jatuhnya lebih murah daripada biaya berobat di dalam negeri, pelayanannya lebih baik selama maupun pasca penyembuhan, tidak diganggu oleh handai tolan dan relasi yang ingin menjenguk,fasilitasnya lebih lengkap, penerimaannya ramah, dan sambil sekalian berkunjung ke luar negeri. Bisnis kesehatan adalah bisnis jasa, kualitas pelayan sewaktu berobat dan setelah berobat menjadi penting. Pelayanan mulai dari meja resepsion, pelayanan kesehatannya itu sendiri dan loket pembayaran menjadi penting. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman pribadi pada hari selasa dan rabu 4 dan 5 Oktober 2011, di sebuah rumah sakit pemerintah ternama di ibukota.

Resepsionis sebagai pintu depan
Ketika saya merasa perlu untuk mengecek kesehatan yang tiba-tiba di bagian dada sebelah kiri terasa nyeri. Dan saya langsung kontak teman saya yang pernah mengalami sakit jantung, dan akhirnya dia menyarankan saya untuk menghubungi dokter spesialis yang kebetulan teman baik teman saya itu. Dengan senang hati teman saya mengatur dan menghubungi dokter yang bersangkutan. Dan saya diminta datang oleh teman saya setelah mendapat lampu hijau dari dokter, pada hari Selasa sekitar jam 2 atau jam 3, karena dokter tersebut memang praktek sore pada hari itu.

Sesuai dengan informasi tersebut, saya datang jam 14 dan mendaftar di resepsionis dan diterima dengan ramah. Saya beritahu bahwa saya sudah janji dengan dokter tersebut, lalu saya diminta mengisi formulir pendaftaran. Resepsionis mengatakan bahwa dokter sudah kelebihan pasien dan tidak mau menerima pasien baru,karena sudah ada 4 atau lebih pasien yang diminta datang hari lain. Saya jelaskan soal janji tersebut, tetapi petugas resepsionis tetap mengatakan tidak bisa. Lalu saya minta tolong sekali lagi untuk mengecek dokternya. Saya dipersilahkan menunggu dan akhirnya saya dipanggil, dengan ramahnya saya diberitahu bahwa saya adalah pasien ke empat. Lalu sya diminta memasukki ruang EKG dan diperiksa. Setelah itu saya kembali diminta menunggu giliran untuk konsultasi dengan dokter.

Saya diminta ke ruang dokter, ternyata saya dialihkan ke dokter lain tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Lalu saya pun mengajukan protes sambil mengingatkan kembali bahwa saya sudah buat janji dan tentunya tidak fair kalau dialihkan begitu saja ke dokter lain tanpa persetujuan saya. Tentu saja saya tidak mau ngotot, mengingat tensi saya sedang tinggi. Tetapi saya sekali lagi minta mereka untuk mengecek ke dokter yg saya maksud. Kebetulan saya belum pernah bertemu sebelumnya, jadi belum mengenai beliau. Saya kemudian menunggu kembali, sambil menghubungi teman saya kenalan dokter. Dan saya pun mengirim sms kepada dokter tersebut, bahwa saya sudah menunggu diluar.

Rupanya dokter keluar dari ruang kerjanya dan meminta suster untuk memanggil saya. Mendengar nama saya dipanggil, sayapun mendatangi suster tersebut, sementara petugas resepsion pun memberi tahu suster bahwa saya sudah di ruang tunggu dalam. Akhirnya saya sempat juga berkonsultasi. Dan diminta datang kembali keesokan harinya untuk melakukan tread mill, berhubung tensi saya terlalu tinggi pada sore itu.

Sesuai dengan saran dokter saya pun datang pada hari Rabu dengan pengantar dari dokter untuk melakukan treadmill.Saya langsung ke resepsionis dan menyerahkan surat pengantar. Lagi-lagi resepsionis menyarankan saya untuk kembali esoknya, karena hari Rabu memang dokter tidak berpraktek di rumah sakit tersebut. Sudah saya jelaskan bahwa saya diminta dokter datang, untuk melakukan tread mill dan setelah selesai diminta menelpon dokter untuk bertemu disuatu tempat (tentu rumah sakit lain) dengan membawa hasil thread mill untuk bisa menentukan langkah tindak selanjutnya. Kembali petugas resepsion "keukeuh' agar saya datang lagi besok saja, kendatipun sudah saya jelaskan. Karena lagi-lagi saya tidak mau bersitegang, takut tensinya naik lagi, akhirnya saya minta petugas untuk menulis di surat pengantar tersebut, bahwa "pasien sudah datang tapi disarankan untuk datang pada ke esokan harinya, hari Kamis". Lalu saya meninggalkan rumah sakit tersebut.

Kira-kira 10-15 menit kemudian saya ditelpon oleh petugas resepsion bahwa saya boleh treadmill karena katanya, ternyata saya sudah punya 'janji khusus' dengan dokter, sambil berulang kali meminta maaf. Karena sudah jauh dan makan waktu kalau kembali, sementara saya masih ada pekerjaan di kantor, lagi pula suasana hatipun sudah tidak lagi nyaman, maka saya putuskan untuk datang besok saja. Saya heran bahwa mereka tidak pernah berpikir berapa besar usaha, waktu, biaya yang dikeluarkan oleh pasien untuk khusus datang dari luar kota, demi untuk memenuhi janji.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Sepertinya kita belum terlalu siap untuk menggerakan jasa pelayanan (services) secara profesional. Ada "You and me feeling". Ada kesan pasien yang lebih membutuhkan bukan ruma sakit. Melayani barangkali masih dirasakan sebagai bukan pekerjaan yang bergengsi. Dan sikap-sikap yang kurang profesional ini mungkin saja membahayakan pasien, ketika pasien belum sempat tertangani dokter, akibat urusan administrasi yang bertele-tele di pintu depan. Sebetulnya tidak sulit mengecek pada dokter atau suster yang melayani dokter itu, butuh sedikit waktu saja, sehingga janji pasien dengan dokter tidak dipotong oleh petugas resepsion yang seharusnya lincah,ligat dan helpful.

Jangan-jangan hal kecil seperti ini yang juga membuat orang tidak nyaman berobat di sini, dan akhirnya berpaling untuk berobat ke luar negeri. Sayang sekali ya.

Perbaikan kualitas sumber manusia digaris depan ini sangat perlu diperhatikan oleh para pengelola rumah sakit sebagai bagian penting dari bisnis jasa pelayanan kesehatan, kalau tidak ingin ditinggalkan oleh pasien dan pengguna jasa pelayanan kesehatan.

PENDIDIKAN BUDIPEKERTI DAN RANKING SEKOLAH

Ujian Nasional atau UN dalam dekade terakhir nampaknya menjadi masalah tahunan yang muncul di negeri ini. Pro dan kontra sering muncul. Yang Pro beralasan perlu adanya standarisasikompetensi anak didik, sementara yang Kontra mengatakan terlalu dini menetapkan standar nasionalkelulusan ketika disparitas mutu sekolah antar wilayah masih cukup tinggi. Kitapun sering membaca di media cetak atau menyaksikan pada media televisi banyak sekolah yang tingkat kelulusannya rendah bahkan tidak jarang ada yang gagal total. Alias 100% tidak lulus. Bisa dibayangkan dampaknya. Murid menangis, orang tua murka, guru malu,sementara sekolah menjadi kurang marketable. Sementara berapa besar biaya yang dikeluarkan yang menjadi sangat tidak efisiendan tidak efektif penggunaannya akibat banyaknya murid yang tidak lulus. Berapa banyak bangku sekolah tidak bisa dimanfaatkan oleh siswa baru,karena banyak siswa harus mengulang.

RANKING SEKOLAH

Ukuran keberhasilan sekolah menjadi sangat kuantitatif dan kering, karena kriteria sekolah yang baik tereduksi hanya menjadi sekolah yang banyak meluluskan siswanya dan banyak menghasilkan siswa pandai. Penyebabnya antara lain karena setiap tahun pasti ada evaluasi dan pengumuman urtutan sekolah unggulan dan juga murid dengan siswa yang mendapat nilai tertinggi. Sekolah hebat adalah sekolah yang muridnya lulus 100% dan muridnya merajai ranking nilai tertinggi disatu kota, propinsi bahkan nasional. Sekolah unggulan ini yang akan mampu menarik calon siswa yang pandai dari jenjang pendidikan di bawahnya. Sekolah lain menampung 'sisa' siswa yang tidak diterima di sekolah unggulan atau teladan.

Jelas maka sekolah berlomba-lomba menjadi sekolah unggulan demi memperoleh ranking sekolah tersebut. Banyak upaya yang dilakukan, antara lain meningkatkan kualitas guru,menambah pelajaran ekstra, menambah beban materi yang lebih banyak dan selalu memberi banyak pekerjaan rumah PR). Bisa anda bayangkan, betapa seringnya kita melihat siswa2 berjalan dengan membawa ransel atau backpack yang penuh dengan buku pelajaran. Seringkali lebih banyak beban yang dibawanya dibanding dengan mahasiswa. Mereka tidak punya waktu bermain baik dengan teman maupun dengan saudara dan keluarga. Pulang ke rumah belajar, belajar dan belajar. Mengerjakan PR, PR dan PR lagi. Waktu diluar jam sekolah menjadi bagian waktu yang 'terpaksa' harus disisihkan untuk mendukung ranking siswa dan ranking sekolahnya. Kurangnya waktu untu kegiatan yang tidak berbau sekolahan, mungkin dapat menyebabkan siswa menjadi asosial, kuper dan kutu buku. Pinter tapi tidak bisa bergaul. Padahal kemampuan bergaul dan berkomunikasi itu kelak akan dirasakan penting dan manfaatnya.

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN KEBANGSAAN

Bung Karno, founding father NKRI kita seringkali menyatakan perlunya bangsa ini memperhatikan 'nations and character building'Faktanya pelajaran semacam budi pekerti, pendidikan kebangsaan kurang diperhatikan dan kurang mendapat porsi yang berimbang dibadingkan dengan mata ajaran inti seperti Matematika, Fisika, Biologi dan Bahasa. Kurangnya perhatian terhadap endidikan karakter antara lain telah menimbulkan keberingasan, suka tawuran bahkan dari sejak siswa SLP sampai mahasiswa perguruan tinggi. Sulit dibayangkan misalnya mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa melakukan tawuran antar fakultas untuk sesuatumasalah yang sering sangat sepele. Sulit dipahami kalau mahasiswa merusak bahkan membakar laboratorium, perpustakaan dari fakultas yang mahasiswanya bertawuran dengan kelompoknya. Padahal karakter dan nilai (values) seperti integritas, respek, rasa menyayangi dan patriotisme misalnyajuga tak kalah pentingnya dari pada performans akademik yang diukur dengan nilai yang diperoleh untuk mata ajaran inti.

Nampaknya kita perlu berpikir lagi mengenai arah atau kebijakan pendidikan di Indonesia ini. Kita perlu mengembangkan pendidikan yang berorientasi pada anak didik (student-centric) dan pendidikan berdasar nilai (values driven education).

Selasa, 13 September 2011

BELAJAR DARI WIKILEAKS: SEBUAH RENUNGAN

Judul ini berasal dari judul artikel di koran Financial Times yang saya baca waktu perjalanan ke China dan isinya antara lain pentingnya Indonesia belajar dari Wikileaks.* Ada yang menarik dari tulisan ini, pertama, ceritera mengenai diplomasi Indonesia versus Singapura soal Selat Malaka. Indonesia merencanakan pengawasan yang ketat atas lalu lintas Laut di Selat Malaka dekat Singapura. Bagi Singapura ini dianggap suatu ancaman karena pengawasan yang berarti additional cost akan mengancam competitiveness singapura sebagai pelabuhan transito. Walaupun pengawasan alur lalu lintas ini adalah hak suatui negara dan berdasarkan hukum internasional diperbolehkan (demikian kata artikel tersebut), namun Singapura berusaha menggagalkan nya dengan meminta dukungan Australia dalam bernegosiasi, sambil mendukung upaya Australia menerapkan apa yang dilakukan Indonesia tersebut di perairannya.

Ceritera kedua adalah soal MoU antara Indonesia dan Singapura mengenai ekstradisi. MoU sudah ditandatangani, tetapi kesepakatan itu ternyata tidak pernah bisa diimplementasikan, karena ternyata diluar MoU sebenarnya masih banyak hambatan2 aturan dan hukum di kedua negara yang harus disesuaikan dan diselesaikan untuk berjalannya MoU tersebut. Dan ini nampaknya tidak atau belum dilakukan oleh Indonesia yang lebih memiliki kepentingan, mengingat banyaknya orang Indonesia yang terlibat kasus dan bersembunyi di negeri singa itu. Tulis artikel tersebut, Indonesia lebih suka mencari popularitas pada tataran politik di permukaan, akan tetapi tidak serius menangani pelaksanaannya. Artinya kita tidak sabar untuk mengurus detail nya yang justru sebenarnya akan membuat MoU itu menjadi lebih operasional.

Benarkah penilaian itu? Jangan-jangan memang benar demikian adanya perangai kita ini. Senang memulai sesuatu yang baru, meluncurkan sesuatu, sesuatu yang fenomenal. Apakah itu bermanfaat atau tidak, kita sebagai penggagas tidak peduli, yang penting kita sudah melakukan sesuatu yang hebat. Akibatnya seringkali kita tidak menyiapkan tindak lanjutnya. Artinya kita sering memiliki keinginan, niat, atau cita-cita yang baik, tetapi kemudian tidak serius menindak lanjutinya. Sebenarnya Tukul Arwana sudah sering mengingatkan kita akan hal tersebut, menurut Tukul:" jangan sekali-kali menilai buku dari sampulnya, tapi lihat isinya." Kenyataannya kita ternyata lebih sering menghargai penampilan luar bukan isinya.

PROGRAM HTR DAN PERKEMBANGANNYA
Coba kita lihat apa yang terjadi di sektor kehutanan, ketika kita memiliki program yang sangat pro rakyat seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pemerintah benar-benar berniat meningkatkan kesejahteraan petani hutan dengan memberi mereka akses terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam kaitan ini pemerintah memberi akses kepada masyarakat. dalam hal ini rumah tangga dan kelompok rumah tangga, berupa akses terhadap lahan seluas 15 HA per keluarga. Untuk itu pemerintah telah menyisihkan kawasan hutan di daerah-daerah konsentrasi penduduk seluas 1,5 juta ha untuk program HTR dan menyiapkan kredit lunak untuk membangun hutan tanaman tersebut dengan membentuk lembaga keuangan yang disebut Badan Layanan Umum (BLU) di Kementerian Kehutanan. Lembaga keuangan BLU ini menyediakan untuk kegiatan biaya penanaman dengan plafond sebesar Rp. 8,5 juta untuk setiap Ha.

Program HTR tersebut telah berjalan dua tahun, teman2 di Kementerian Kehutanan telah bekerja sangat keras untuk mewujudkan HTR tersebut. Sampai saat ini, bulan September 2011, pencadangan dari Menteri Kehutanan mencapai 654,118 Ha, sementara ijin HTR yang dikeluarkan oleh 34 Bupati di seluruh Indonesia mencapai 144,054 Ha (9,6 % dari total area yang dialokasikan atau 22% dari pencadangan yang sudah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan). Sementara ini akad kredit telah mencapai lebih kurang Rp. 30 Milyar sedangkan penyaluran kreditnya mencapai Rp 1,6 Milyar atau 5,2%.

Kalau kita lihat bahwa kebijakan pemerintah berorientasi pada tiga Pro yaitu Pro Growth, pro poor dan pro job, sekarang ditambah Pro lingkungan. Menjadi menarik ketika Kementerian Kehutanan melansir program yang pro rakyat, ternyata animo daerah kurang greget seperti ditunjukkan oleh rendahnya pencapaian pengembangan HTR setelah dua tahun berjalan, yaitu hanya 144 ribu Ha. Itupun baru dalam bentuk surat ijin Bupati dan belum berupa kegiatan riil penanaman hutan di tapak. Rendahnya animo daerah bisa disebabkan oleh berbagai faktor atau kemungkinan, pertama, pemahaman yang kurang atau belum merata mengenai konsep HTR sebagai leverage bagi upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat akibat sosialisasi yang belum optimal. Kedua, karena besarnya resiko kegagalan tanaman di lapangan karena berbagai faktor seperti kebakaran, perambahan, pencurian, hama penyakit dan sebagainya. Ketiga, manajemen dan biaya transaksi yang rumit, karena secara teoritis lebih mudah memberikan satu ijin dengan luasan 15.000 Ha daripada mengeluarkan ijin bagi 1000 keluarga yang masing-masingnya memperoleh ijin seluas 15 Ha.

PERLU TUNTAS
Ketika orang mempertanyakan mengapa capaiannya masih rendah, bisa saja pihak pusat menyatakan bahwa kami sudah berusaha keras tapi di daerah masih lambat prosesnya. Artinya, ketika pemerintah ingin mengimplementasi program yang baik sekalipun, akan tetapi daerah tidak meresponnya dengan baik karena berbagai alasan, maka program itu tidak akan dapat berjalan baik. Dan bahkan bukan mustahil gagal. Artinya harus ada sinergi antara pusat dan daerah.

Kalau kita belajar dari Wikileaks, maka seharusnya ketika pemerintah memiliki program semacam HTR dan harus berhasil, maka tanggung jawab dan peran pusat dan daerah harus terdefinisikan dengan jelas. Ketika pemerintah membuat aturan atau regulasi maka aturan yang mengikat semua pihak sangat penting untuk dibangu, oleh karena itu pusat dan daerah harus duduk bersama dengan semangat yang sama agar HTR berhasil. Dan menyusun aturan yang dapat diimplementasikan serta merupakan milik bersama (common ownership). Semangat saling menyalahkan akan terhindarkan dan yang timbul adalah semangat yang genuine untuk bekerja sama dan sama-sama bekerja mewujudkan HTR yang mensejahterakan masyarakat. Segala sesuatu harus dibuat tuntas agar operasional.

Catatan kaki:
* Tanpa mengurangi rasa hormat, akibat kliping korannya belum saya temukan
kembali, sehingga tdak bisa mencantumkan nama penulis artikel di Financial
Times tersebut.