Rabu, 02 Maret 2011

KARBON LAGI: TREND KEDEPAN

Pembicaraan kompensasi karbon melalui skim REDD nampaknya juga akan berakhir antiklimaks, seperti juga Kyoto Protocol yang akan berakhir pada tahun 2012. Pembicaraan yang panjang dan melelahkan mengenai mekanisme pembangunan bersih atau "Clean Development Mechanism" (CDM) pada ujungnya berhenti tanpa pernah diterapkan. Penyebabnya adalah negara-negara Appendix 1, seperti AS, Canada, Jepang dan Rusia tidak berselera menjalankan kesepakatan Internasional tersebut- yang notabene sudah dibahas berbusa-busa dan memakan waktu, tenaga serta dana yang besar- kecuali, kata AS, bila China dan India dimasukkan juga kedalam negara Appendix 1.
Negara Eropa cenderung menggantikan kewajibannya untuk mengurangi konsumsi energi dengan mengalihkan pada kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon dengan mendorong skim REDD di negara-negara berkembang macam Indonesia dengan memberi kompensasi. Contohnya, Norwegia yang menjanjikan uang 1 milyar dollar AS ke Brasil dan Indonesia, itu pun dengan syarat kalau REDD-nya dinilai berhasil.

Mengapa REDD tidak di Negara Maju
Mengapa Eropa dan AS tidak melakukan REDD nya di negara sendiri? Kalau kita lihat luas hutan di Eropa sudah sangat sempit, di bawah 30%. Seorang teman dari Inggris dalam pertemuan UNFF malah bergurau harusnya Inggris juga dimasukkan dalam kategori negara dengan luasan hutan yang kecil(low forest cover countries)seperti negara-negara di Timur Tengah. Demikian juga di negara-negara Eropa lainnya. Hal itu dikarenakan mereka sudah lama membuka dan mengkonversi hutan alamnya dengan menjadikannya sebagai lahan-lahan pertanian. Tentu mereka segan menghutankan kembali lahan pertaniannya, mengingat sektor pertanian adalah sektor yang disubsidi sangat besar. Dan tentunya mereka juga tidak inghin tergantung pangannya dari negara lain. Hutan-hutan tua (old growth forest)di AS dengan pohon-pohon raksasa, seperti giant seqouia, douglas fir dsb. adalah penyimpan karbon yang sangat besar, contoh misalnya data tahun 2009 menunjukkan bahwa pohon Douglas-firs yang memiliki volume terbesar adalah:

Reed Creek Tree (Canada): 349 m3
Queets Fir (AS) : 332 m3
Tichipawa (AS) : 308 m3

Tapi hutan dengan pohon-pohon tersebut karena sudah merupakan hutan klimaks ia tidak mampu lagi menyerap lebih banyak karbon. Andaikata mereka menebangi hutan tua dan menjadikannya furniture dan seterusnya dan tidak membakarnya, maka karbonnya tidak akan lepas ke atmosfir. Dan mereka bisa membuat hutan baru yang mampu menyerap lebih bayak karbon, artinya karbon stok dan karbon yang diserap akan menjadi cadangan karbon yang besar. Tapi mereka tentu lebih suka membangun hutan atau mengkonservasi hutan di negara orang dan memelihara hutan tuanya yang unik itu sebagai obyek wisata yang mendatangkan lebih banyak keuntungan finansial. Oleh karena itu, Strategi mereka adalah membeli karbon atau mengkompensasi negara berkembang yang mau memelihara hutannya untuk tidak dimanfaatkan. Artinya dibiarkan tidak terjamah selalam periode tertentu.

Bagaimana Peran UNFCCC kedepan?
REDD pun yang diusung oleh UNFCCC nampaknya akan bernasib sama, karena komitmen global yang dibicarakan dalam forum internasional tersebut belum juga disepakati oleh semua negara anggota. Perbedaan diantara negara berkembang juga masih cukup kuat antara karbon berbasis kompensasi atau berbasis pasar. Belum lagi kondisi yang berbeda-beda diantara negara berkembang, mengakibatkan sulitnya membangun akses yang merata terhadap sumber pendanaan. Dana yang berkaitan dengan hutan dan lingkungan pada umumnya hanya dinikmati oleh beberapa negara berkembang seperti Brasil, Indnesia, China, Meksiko dan Malaysia, sementara itu banyak negara-negara Afrika dan Amerika Selatan kesulitan mendapatkan dana tersebut. Negara-negara maju pun melihat REDD berbeda-beda. REDD bukan lagi dipandang sebagai sekedar masalah teknis saja, tetapi REDD dilihat juga sebagai masalah politik. Hal ini menjadikan REDD sebagai bagian politik kebijakan energi masa depan bagi negara-negara maju, khususnya dalam bermanuver untuk menyelamatkan kepentingannya masing-masing.

Di masa depan, badan PBB semacam UNFCCC berkecenderungan untuk semakin kecil peranannya, karena sulit dibayangkan forum semacam UNFCCC akan mampu mengawasi perdagangan karbon. PBB tidak mungkin memonopoli karbon. Apalagi saat ini urusan karbon cenderung menjadi persoalan bilateral, antara negara penjual dan negara pembeli. Skim multilateral sulit diterapkan karena akan sangat rumit bila penghasil karbon terdiri dari banyak negara berkembang yang kesiapan dan tingkat pembangunannya berbeda. Akan sulit mencari base line yang dapat digunakan sebagai standar umum dan juga memiliki resiko untuk meng-exclude negara paling terbelakang dalam kelompok multilateral tersebut dari perdagangan karbon.

Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Kanada sudah menyatakan bahwa Protokol Kyoto adalah masa lalu. Sementara pasar karbon cenderung terlokalisasi seperti melalui GATT, WTO, EU, NAFTA, atau Karbon NAFTA yang diajukan oleh Amerika Serikat, Canada dan Meksiko. Jepang dan Amerika misalnya cenderung menggunakan skim jual beli karbon diluar skim PBB.

Apa yang harus kita siapkan?
Pendekatan bukan pasar melalui skim pendanaan (fund-base) harus dilakukan secara hati-hati dan didasarkan perhitungan yang akurat mengenai karbon yang dikompensasi, jangan sampai kita terkunci tidak dapat melakukan apapun (locked up) atas sumber daya hutan kita sementara nilai yang diterima terlalu murah dibanding dengan harga pasar yang mungkin dapat kita peroleh. Misalnya untuk kompensasi 1 Miliar $ dengan memperhitungkan harga pasar yang bisa kita peroleh, bukan mustahil perjanjian dengan Norwegia misalnya dapat kita penuhi dengan luasan hutan yang tidak besar untuk kita moratorium, apalagi kalau kita menggunakan hutan gambut yang kandungan karbonnya sangat tinggi.

Kedepan pasar karbon termasuk karbon REDD akan mendominasi karbon internasional dengan skim yang akan cenderung lebih melalui jual beli bilateral. Oleh karena itu Indonesia harus siap memanfaatkan peluang tersebut dengan mempersiapkan diri dan menjual sendiri karbonnya melalui proses negosiasi yang bermartabat dan seimbang. Untuk perlu dikembangkan sistem sertifikasi karbon nasional yang mencakup pendaftaran (registry), penerbitan dan pencatatan termasuk kelembagaannya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjual karbon yang bersertifikat tersebut ke pasar karbon yang sudah ada maupun yang akan muncul di masa mendatang.

(Catatan dari presentasi Dr. Kwangyul Peck, Climate Change and Forestry Policy Centre, Seoul National University tanggal 28 Februari 20111:" Thought for Indonesia"s Forest Carbon")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar