Sabtu, 19 Maret 2011

JEPANG DAN BENCANA

Jepang baru saja diguncang gempa bumi besar Richter yang diikuti oleh gelombang Tsunami yang tdak kalah dhsyatnya. Luluh lantak lah beberapa kota di Jepang terutama di sekitar episentrum gempa. Kita pernah mengalami tsunami besar yang datang setelah gempa besar dan itu terjadi di Aceh. Kita lihat melalui layar tivi bagaimana suasana bencana tersebut yang mengharu biru bukan saja para korban, yaitu saudara kita di Aceh, tapi juga hati seluruh bangsa.

Sisi pemerintah
Ada yang menarik dari kejadian di Jepang ini yang nampaknya perlu menjadi teladan yang dapat ditiru oleh manusia Indonesia. Pertama, wilayah terkena tsunami nampaknya memang sudah mempersiapkan diri untuk bencana seperti itu, karenanya mereka membangun tanggul di pantai setinggi sepuluh meter mengelilingi wilayah yang diperhitungkan sangat rentan terhadap tsunami. Kedua, sistem peringatan dini berjalan baik. Ketiga, pelatihan mitigasi bencana termasuk bagaimana menghindari atau menyelamatkan diri serta fasilitas-fasilitas penyelamatan diri dan lokasi pengungsian sudah tersedia dan dapat langsung dimanfaatkan ketika bencana yang sesungguhnya terjadi. Keempat, bangunan di Jepang memang sudah memenuhi kriteria tahan gempa. Terlihat dari media tivi, masyarakat Jepang tetap bertahan pada bangunan yang bergoyang-goyang dan kalau perlu akan bersembuinyi di bawah meja sebagaimana mereka dilatih secara berkala. Bangunan praktis tidak ada yang rusak akibat gempa, tapi gelombang tsunamilah yang berkecepatan di atas 600 km per jam yang memporak porandakan banyak bangunan. Kelima, sistem penanggulangan bencana juga berjalan sangat efektif dan nampak bahwa pemerintah dengan pengalaman yang panjang sudah menyiapkan manakala masa sulit tersebut terjadi. Pimpinan pemerintahan terjun langsung dan berada digaris depan mengatasi bencana tersebut dan berbaur bersama masyarakat dengan segala empatinya.

Individu dan masyarakat
Dari perilaku individu dan masyarakat, kita juga dapat banyak belajar dari manusia Jepang yang tangguh. Pertama, berbeda dengan kejadian bencana di tanah air yang sering terjadi, hampir tidak ada tangisan yang mengharu-biru dari para korban bencana di Jepang, baik anak-anak, remaja maupun orang tua. Semua berjalan seperti biasa saja, karena sadar bahwa mereka memang hidup di daerah yang rentan bencana. Kejadian tersebut nampaknya dianggap sebagai risiko yang memang harus mereka hadapi.
Kedua, tivi Jepang NHK juga memberitakan semua secara lugas dan transparan tanpa dilatar belakangi oleh lagu-lagu atau musik yang sentimentil dan memilukan, hampir tidak ada efek dramatisasi dari kejadian tersebut. Ketiga, berbeda dengan kejadian di negara lain termasuk negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris dan negara-negara berkembang, hampir dipastikan begitu terjadi bencana, maka pada saat pasca bencana akan terjadi penjarahan khususnya ke toko dan warung atau gudang-gudang pangan. Hal tersebut tidak terjadi di Jepang. Keempat, tingginya solidaritas sosial diantara masyarakat Jepang. Pada saat bahan makanan langka, menurut hukum pasar maka harga akan naik karena banyaknya permintaan. Itu pun tidak terjadi di Jepang, ada unsur etika kebersamaan sosial yang mengalahkan hukum pasar yang diagung-agungkan oleh dunia barat. Para pemilik toko malah menurunkan harga dan cenderung berbagi dengan masyarakat yang membutuhkannya. Solidaritas sosial yang luar biasa yang sudah tertanam dalam sanubari setiap anggota masyarakatnya.

Apa yang bisa kita pelajari
Dari kejadian tersebut jelas bahwa apa yang selalu dicanangkan oleh pendiri republik ini yaitu "nation and character building" adalah perlu dan fundamental bagi terciptanya kemandirian suatu bangsa. Nampaknya ini perlu mulai kembali dihidupkan semangat membangun karakter atau istilah yang sempat dipopulerkan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Lembaga pendidikan perlu kembali secara serius menghidupkan dan melaksanakan kembali pelajaran mengenai etika dan etos, semangat mandiri, semangat pantang menyerah dan semangat sosial yang tulus. Kita bisa berlajar dari Jepang, bagaimana bangsa itu membangun karakter yang demikian kuat yang muncul secara otomatis ketika negaranya mengalami kesulitan yang luar biasa. Semangat Bushido, semangat Samurai atau seperti kata Jansen Sinamo yang menulis di koran Kompas (Jumat, 18 Maret 2011)adalah semangat Gambaru. Secara populer Gambaru diterjemahkan sebagai: " berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan, bekerja hingga batas kemampuan terakhir, atau melakukan sesuatu dengan segala daya upaya, bahkan yang terpahit sekalipun untuk mencapai yang terbaik".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar