Kekawatiran akan hilangnya budaya tradisional nampaknya semakin tinggi, terutama akibat derasnya pengaruh budaya asing di negeri ini. Lihat sampai istilah ayam gorengpun sudah tergeser dengan fried chicken. Penjaja ayam goreng dorongan juga lebih suka memasang nama fried chicken karena katanya terkesan lebih komersial dan modern. Dan itu terjadi diseantero negeri, mulai dari kota sampai ke pelosok gunung sekalipun.
Animo generasi muda untuk menonton pertunjukkan budaya tradisionalpun semakin menyusut. Semakin berkurang jumlah penonton muda yang menonton wayang kulit yang durasinya semalam suntuk (lek-lekan). Jumlahnya bahkan semakin menyusut di daerah perkotaan. Kekecualian tentu ada seperti beberapa dalang terkenal masih mampu menyedot penonton, seperti Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono. Contoh lain, lihat saja matinya pertunjukkan Wayang orang Ngesti Pandowo di Semarang, Tjipto Kawedar di Malang atau ketoprak Srimulat di Surabaya. Wayang orang Barata di Jakarta dan Sriwedari di Solo termasuk yang bisa bertahan, walaupun dalam status memprihatinkan, "mati segan hidup tak mau".
INISIATIF BARU?
Di tengah lesunya apresiasi budaya, muncul inisiatif yang dilakukan para petinggi di ibukota untuk main ketoprak, ludruk atau wayang orang. Pemain profesional bergabung dengan pemain amatir, yang terdiri dari para pejabat pemerintah, manggung bersama dalam satu panggung pertunjukkan. Satu ide yang segar. Namun apakah bentuk apresiasi semacam ini yang kita perlu dorong?
Untuk memberi dukungan moril bahwa para petinggi dangat konsern terhadap budaya tradisional, barangkali cukup memadai. Tapi dalam pembicaraan santai saat reuni SMA 4 Solo 16 oktober lalu di Solo, mbak Ira -seorang penari handal dan pemerhati seni dari Solo yang masih belia- menilai itu bukan cara yang tepat, karena kegiatan tersebut justru meminggirkan (excluded) pemain profesionalnya. Padahal merekalah yang justru harus disemangati dan didukung.
TERUS BAGAIMANA?
Lalu apa yang harus dilakukan? kalau budaya tradisional ini, untuk mudahnya kita asumsikan sebagai "komoditas", maka kita harus menanganinya dari dua sisi. Sisi supply dan sisi demandnya sekaligus. Dari sisi supply adalah menyiapkan pertunjukkan berkualitas yang memperhatikan dinamika perubahan preferensi. Profesionalisme tentu harus senantiasa ditingkatkan. Peranan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan para budayawan sangat fundamental.
Dari sisi demand, pembentukan manusia Indonesia yang apresiatif terhadap budaya bangsa melalui pendidikan dan penyuluhan jangka panjang perlu menjadi program pemerintah. Dalam jangka pendek, kata mbak Ira, hal praktis yang bisa dilakukan adalah membudayakan nonton bareng. Ide ini sangat menarik setidak-tidaknya secara konkrit dapat menghidupkan kegiatan berkesenian dan dapat menjadi solusi jangka pendek yang bisa direalisasikan. Bagaimana mewujudkannya tentunya banyak cara yang bisa dilakukan. Saya lihat ada beberapa cara antara lain, pertama mendorong kelompok masyarakat untuk menonton, baik pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat umum. Pemerintah termasuk pemerintah daerah melalui dana pembinaan budaya, generasi muda dan dana pariwisata mungkin bisa mewujudkan kegiatan ini. Kedua, mendorong pula sektor swasta, BUMN dan BUMD dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility)-nya berpartisipasi dalam kegiatan berkebudayaa. Tidak kalah pentingnya adalah menghimbau para philantropis untuk juga ikut mendukung program peningkatan apresiasi budaya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar