Tahun 2000-an tercatat sebagai tahun dimana kegiatan pembalakan liar sangat masif dengan besaran yang luar biasa, sementara pihak kehutanan tidak berdaya mengatasi masalah itu secara sendirian. Pembalakan liar inipun berdimensi internasional karena selain banyak terjadi di daerah-daerah perbatasan, hasil jarahan ini juga dijual ke luar negeri seperti Malaysia dan China. Pembalakan liar telah menjadi masalah organized and trans-national crimes. Tingginya intensitas pembalakan liar ini juga telah menjadi concern internasional antara lain melalui diselenggarakannya lokakarya internasional di Bali tentang Forest Law Enforcement and Governance (FLEG)pada bulan September 2001. Pembalakan liar ini telah menimbulkan rekasi yang keras dari pasar di negara-negara Eropa yang menuntut agar dipastikan bahwa kayu tropis yang dijual dan diperdagangkan di pasar internasional adalah bukan kayu curian.
Pemerintah pun secara proaktif kemudian menerbitkan INPRES Nomor 4 yang meminta semua departemen terkait, kepolisian dan kejaksaan agung untuk bahu membahu mengatasi masalah pembalakan liar tersebut. Pada tahun 2003 pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah menginisiasi untuk menyusun RUU tentang Pemberantasan Ilegal Logging yang kemudian diusulkan melalui Komisi IV DPR-RI. Proses penggodokkan RUU tersebut timbul tenggelam, akan tetapi setiap tahun selalu muncul sebagai salah satu RUU yang harus diselesaikan. Namun demikian perjalanannya ternyata tidak terlalu lancar dan bahkan belum selesai sampai saat ini. Tahun 2010 Komisi IV DPR-RI yang antara lain membidangi Kehutanan mengambil inisiatif untuk mengajukan kembali RUU tersebut. Dan tahun 2011 ini RUU tersebut kembali dibahas di DPR bahkan juga di forum Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Tahun 2010 dan tahun 2011 kondisi dan situasinya sangat berbeda denga tahun 2003 ketika inisiatif untuk menyusun UU tentang Pemberantasan Ilegal Logging muncul pertama kali. Saat ini di dalam negeri kecenderungan kegiatan pembalakan liar ini menurun secara signifikan dan diperkirakan akan semakin menurun dengan semakin tingginya permintaan dari pasar internasional agar kayu dan kayu olahan yang diperdagangkan harus berasal dari tebangan yang legal dan bukan hasil pembalakan liar. Indonesia dengan Uni Eropa menginisiasi skim Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang salah satu komponen utamanya adalah lacak balak atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang saat ini SVLK tersebut telah disetujui oleh Uni Eropa, AS, Jepang dan China sebagai buyer kayu Indonesia. Negara Paman Sam juga telah mengeluarkan Lacey Act yang intinya adalah memastikan kayu yang diperjualbelikan di AS adalah bukan kayu hasil pencurian. Artinya pasar kayu curian menjadi semakin sempit dan kecenderungan pasar yang lebih mementingkan kegiatan ramah lingkungan semakin besar dan semakin meluas, oleh karena itu bisa dipastikan bahwa pencurian kayu akan semakin menurun di masa mendatang ini. Pertanyaannya adalah masih perlukah Undang-Undang tentang Ilegal logging ini?
Kalau substansinya terbatas pada pembalakan liar, maka RUU ini menjadi baju yang terlalu besar. Oleh karena itu, bila memang masih diinginkan untuk diteruskan, maka cakupannya harus diperluas dengan meliputi tindak pidana kehutanan lainnya yang saat ini cukup besar dan trendnya juga cenderung meningkat, yaitu masalah perambahan dan penggunaan kawasan hutan secara tidak syah. Namun demikian beberapa substansi yang sangat perlu untuk dipertimbangkan adalah:
1. Tujuan dari RUU ini yang merupakan dukungan terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah memastikan bahwa Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) atau Sustainable Forest Management (SFM) dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu yang harus menjadi fokus pengaturan adalah: a). Fokusnya harus pada kegiatan yang tidak syah atau ilegal,dan bukan pada kegiatan yang memiliki ijin dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan.; b). Perlunya memperkuat kelembagaan pengelolaan hutan pada tingkat tapak yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
2. Apabila diperlukan suatu badan khusus untuk menangani masalah ilegal logging dan perambahan kawasan hutan, maka badan tersebut harus tetap dalam struktur kementerian Kehutanan dan sesuai dengan tupoksi kementerian. Oleh karena itu memperkuat atau membangun Direktorat Jenderal Perlindungaan Hutan adalah opsi yang justifiable. Dalam kaitan ini PPNS Kehutanan harus menjadi badan yang independen yang bisa mengurus semua masalah tindak pidana kehutanan. Pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa walaupun koordinasi dalam penindakan ilegal logging juga memiliki keunggulan, akan tetapi juga memiliki kelemahan. Seringkali operasi yang seharusnya bersifat rahasia menjadi bocor dan tidak mencapai sasaran ketika koordinasi menjadi prasyarat bagi setiap kegiatan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana kehutanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar