Rabu, 05 Oktober 2011

PENDIDIKAN BUDIPEKERTI DAN RANKING SEKOLAH

Ujian Nasional atau UN dalam dekade terakhir nampaknya menjadi masalah tahunan yang muncul di negeri ini. Pro dan kontra sering muncul. Yang Pro beralasan perlu adanya standarisasikompetensi anak didik, sementara yang Kontra mengatakan terlalu dini menetapkan standar nasionalkelulusan ketika disparitas mutu sekolah antar wilayah masih cukup tinggi. Kitapun sering membaca di media cetak atau menyaksikan pada media televisi banyak sekolah yang tingkat kelulusannya rendah bahkan tidak jarang ada yang gagal total. Alias 100% tidak lulus. Bisa dibayangkan dampaknya. Murid menangis, orang tua murka, guru malu,sementara sekolah menjadi kurang marketable. Sementara berapa besar biaya yang dikeluarkan yang menjadi sangat tidak efisiendan tidak efektif penggunaannya akibat banyaknya murid yang tidak lulus. Berapa banyak bangku sekolah tidak bisa dimanfaatkan oleh siswa baru,karena banyak siswa harus mengulang.

RANKING SEKOLAH

Ukuran keberhasilan sekolah menjadi sangat kuantitatif dan kering, karena kriteria sekolah yang baik tereduksi hanya menjadi sekolah yang banyak meluluskan siswanya dan banyak menghasilkan siswa pandai. Penyebabnya antara lain karena setiap tahun pasti ada evaluasi dan pengumuman urtutan sekolah unggulan dan juga murid dengan siswa yang mendapat nilai tertinggi. Sekolah hebat adalah sekolah yang muridnya lulus 100% dan muridnya merajai ranking nilai tertinggi disatu kota, propinsi bahkan nasional. Sekolah unggulan ini yang akan mampu menarik calon siswa yang pandai dari jenjang pendidikan di bawahnya. Sekolah lain menampung 'sisa' siswa yang tidak diterima di sekolah unggulan atau teladan.

Jelas maka sekolah berlomba-lomba menjadi sekolah unggulan demi memperoleh ranking sekolah tersebut. Banyak upaya yang dilakukan, antara lain meningkatkan kualitas guru,menambah pelajaran ekstra, menambah beban materi yang lebih banyak dan selalu memberi banyak pekerjaan rumah PR). Bisa anda bayangkan, betapa seringnya kita melihat siswa2 berjalan dengan membawa ransel atau backpack yang penuh dengan buku pelajaran. Seringkali lebih banyak beban yang dibawanya dibanding dengan mahasiswa. Mereka tidak punya waktu bermain baik dengan teman maupun dengan saudara dan keluarga. Pulang ke rumah belajar, belajar dan belajar. Mengerjakan PR, PR dan PR lagi. Waktu diluar jam sekolah menjadi bagian waktu yang 'terpaksa' harus disisihkan untuk mendukung ranking siswa dan ranking sekolahnya. Kurangnya waktu untu kegiatan yang tidak berbau sekolahan, mungkin dapat menyebabkan siswa menjadi asosial, kuper dan kutu buku. Pinter tapi tidak bisa bergaul. Padahal kemampuan bergaul dan berkomunikasi itu kelak akan dirasakan penting dan manfaatnya.

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN KEBANGSAAN

Bung Karno, founding father NKRI kita seringkali menyatakan perlunya bangsa ini memperhatikan 'nations and character building'Faktanya pelajaran semacam budi pekerti, pendidikan kebangsaan kurang diperhatikan dan kurang mendapat porsi yang berimbang dibadingkan dengan mata ajaran inti seperti Matematika, Fisika, Biologi dan Bahasa. Kurangnya perhatian terhadap endidikan karakter antara lain telah menimbulkan keberingasan, suka tawuran bahkan dari sejak siswa SLP sampai mahasiswa perguruan tinggi. Sulit dibayangkan misalnya mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa melakukan tawuran antar fakultas untuk sesuatumasalah yang sering sangat sepele. Sulit dipahami kalau mahasiswa merusak bahkan membakar laboratorium, perpustakaan dari fakultas yang mahasiswanya bertawuran dengan kelompoknya. Padahal karakter dan nilai (values) seperti integritas, respek, rasa menyayangi dan patriotisme misalnyajuga tak kalah pentingnya dari pada performans akademik yang diukur dengan nilai yang diperoleh untuk mata ajaran inti.

Nampaknya kita perlu berpikir lagi mengenai arah atau kebijakan pendidikan di Indonesia ini. Kita perlu mengembangkan pendidikan yang berorientasi pada anak didik (student-centric) dan pendidikan berdasar nilai (values driven education).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar