Judul ini berasal dari judul artikel di koran Financial Times yang saya baca waktu perjalanan ke China dan isinya antara lain pentingnya Indonesia belajar dari Wikileaks.* Ada yang menarik dari tulisan ini, pertama, ceritera mengenai diplomasi Indonesia versus Singapura soal Selat Malaka. Indonesia merencanakan pengawasan yang ketat atas lalu lintas Laut di Selat Malaka dekat Singapura. Bagi Singapura ini dianggap suatu ancaman karena pengawasan yang berarti additional cost akan mengancam competitiveness singapura sebagai pelabuhan transito. Walaupun pengawasan alur lalu lintas ini adalah hak suatui negara dan berdasarkan hukum internasional diperbolehkan (demikian kata artikel tersebut), namun Singapura berusaha menggagalkan nya dengan meminta dukungan Australia dalam bernegosiasi, sambil mendukung upaya Australia menerapkan apa yang dilakukan Indonesia tersebut di perairannya.
Ceritera kedua adalah soal MoU antara Indonesia dan Singapura mengenai ekstradisi. MoU sudah ditandatangani, tetapi kesepakatan itu ternyata tidak pernah bisa diimplementasikan, karena ternyata diluar MoU sebenarnya masih banyak hambatan2 aturan dan hukum di kedua negara yang harus disesuaikan dan diselesaikan untuk berjalannya MoU tersebut. Dan ini nampaknya tidak atau belum dilakukan oleh Indonesia yang lebih memiliki kepentingan, mengingat banyaknya orang Indonesia yang terlibat kasus dan bersembunyi di negeri singa itu. Tulis artikel tersebut, Indonesia lebih suka mencari popularitas pada tataran politik di permukaan, akan tetapi tidak serius menangani pelaksanaannya. Artinya kita tidak sabar untuk mengurus detail nya yang justru sebenarnya akan membuat MoU itu menjadi lebih operasional.
Benarkah penilaian itu? Jangan-jangan memang benar demikian adanya perangai kita ini. Senang memulai sesuatu yang baru, meluncurkan sesuatu, sesuatu yang fenomenal. Apakah itu bermanfaat atau tidak, kita sebagai penggagas tidak peduli, yang penting kita sudah melakukan sesuatu yang hebat. Akibatnya seringkali kita tidak menyiapkan tindak lanjutnya. Artinya kita sering memiliki keinginan, niat, atau cita-cita yang baik, tetapi kemudian tidak serius menindak lanjutinya. Sebenarnya Tukul Arwana sudah sering mengingatkan kita akan hal tersebut, menurut Tukul:" jangan sekali-kali menilai buku dari sampulnya, tapi lihat isinya." Kenyataannya kita ternyata lebih sering menghargai penampilan luar bukan isinya.
PROGRAM HTR DAN PERKEMBANGANNYA
Coba kita lihat apa yang terjadi di sektor kehutanan, ketika kita memiliki program yang sangat pro rakyat seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pemerintah benar-benar berniat meningkatkan kesejahteraan petani hutan dengan memberi mereka akses terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam kaitan ini pemerintah memberi akses kepada masyarakat. dalam hal ini rumah tangga dan kelompok rumah tangga, berupa akses terhadap lahan seluas 15 HA per keluarga. Untuk itu pemerintah telah menyisihkan kawasan hutan di daerah-daerah konsentrasi penduduk seluas 1,5 juta ha untuk program HTR dan menyiapkan kredit lunak untuk membangun hutan tanaman tersebut dengan membentuk lembaga keuangan yang disebut Badan Layanan Umum (BLU) di Kementerian Kehutanan. Lembaga keuangan BLU ini menyediakan untuk kegiatan biaya penanaman dengan plafond sebesar Rp. 8,5 juta untuk setiap Ha.
Program HTR tersebut telah berjalan dua tahun, teman2 di Kementerian Kehutanan telah bekerja sangat keras untuk mewujudkan HTR tersebut. Sampai saat ini, bulan September 2011, pencadangan dari Menteri Kehutanan mencapai 654,118 Ha, sementara ijin HTR yang dikeluarkan oleh 34 Bupati di seluruh Indonesia mencapai 144,054 Ha (9,6 % dari total area yang dialokasikan atau 22% dari pencadangan yang sudah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan). Sementara ini akad kredit telah mencapai lebih kurang Rp. 30 Milyar sedangkan penyaluran kreditnya mencapai Rp 1,6 Milyar atau 5,2%.
Kalau kita lihat bahwa kebijakan pemerintah berorientasi pada tiga Pro yaitu Pro Growth, pro poor dan pro job, sekarang ditambah Pro lingkungan. Menjadi menarik ketika Kementerian Kehutanan melansir program yang pro rakyat, ternyata animo daerah kurang greget seperti ditunjukkan oleh rendahnya pencapaian pengembangan HTR setelah dua tahun berjalan, yaitu hanya 144 ribu Ha. Itupun baru dalam bentuk surat ijin Bupati dan belum berupa kegiatan riil penanaman hutan di tapak. Rendahnya animo daerah bisa disebabkan oleh berbagai faktor atau kemungkinan, pertama, pemahaman yang kurang atau belum merata mengenai konsep HTR sebagai leverage bagi upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat akibat sosialisasi yang belum optimal. Kedua, karena besarnya resiko kegagalan tanaman di lapangan karena berbagai faktor seperti kebakaran, perambahan, pencurian, hama penyakit dan sebagainya. Ketiga, manajemen dan biaya transaksi yang rumit, karena secara teoritis lebih mudah memberikan satu ijin dengan luasan 15.000 Ha daripada mengeluarkan ijin bagi 1000 keluarga yang masing-masingnya memperoleh ijin seluas 15 Ha.
PERLU TUNTAS
Ketika orang mempertanyakan mengapa capaiannya masih rendah, bisa saja pihak pusat menyatakan bahwa kami sudah berusaha keras tapi di daerah masih lambat prosesnya. Artinya, ketika pemerintah ingin mengimplementasi program yang baik sekalipun, akan tetapi daerah tidak meresponnya dengan baik karena berbagai alasan, maka program itu tidak akan dapat berjalan baik. Dan bahkan bukan mustahil gagal. Artinya harus ada sinergi antara pusat dan daerah.
Kalau kita belajar dari Wikileaks, maka seharusnya ketika pemerintah memiliki program semacam HTR dan harus berhasil, maka tanggung jawab dan peran pusat dan daerah harus terdefinisikan dengan jelas. Ketika pemerintah membuat aturan atau regulasi maka aturan yang mengikat semua pihak sangat penting untuk dibangu, oleh karena itu pusat dan daerah harus duduk bersama dengan semangat yang sama agar HTR berhasil. Dan menyusun aturan yang dapat diimplementasikan serta merupakan milik bersama (common ownership). Semangat saling menyalahkan akan terhindarkan dan yang timbul adalah semangat yang genuine untuk bekerja sama dan sama-sama bekerja mewujudkan HTR yang mensejahterakan masyarakat. Segala sesuatu harus dibuat tuntas agar operasional.
Catatan kaki:
* Tanpa mengurangi rasa hormat, akibat kliping korannya belum saya temukan
kembali, sehingga tdak bisa mencantumkan nama penulis artikel di Financial
Times tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar