Banyak budaya kita, khususnya budaya tradisional yang diam-diam menghilang dari persada nusantara karena tidak ada yang peduli, tidak ada yang mengapresiasi bahkan ada yang menilai ketinggalan zaman dan kurang modern. Lihatlah panggung Srimulat di Surabaya akhirnya bubar, walaupun personilnya secara individu terus berkarya. Demikian juga wayang orang Bharata di Jakarta atau wayang orang Sriwedari di Solo, walau masih ada tapi berada pada kondisi mati segan hidup tak mau. Wayang orang Ngesti Pandowo hanya tinggal kenangan. Banyak contoh budaya tradisional lainnya yang saat ini sulit ditemukan karena kurangnya peminat.
Kita semua tahu bahwa budaya tradisional adalah bahan baku terbentuknya budaya nasional Indonesia. Bisa dibayangkan kalau akar budaya itu hilang, akan hilang pula budaya Indonesia atau budaya kita beralih orientasinya pada budaya lain dari luar, terutama budaya barat yang nampak lebih moderen. Apalagi media barat lebih mendominasi dunia pertevean, kecenderungan tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Lihatlah media TV kita hampir semua acaranya adalah "franchise", kalau di AS ada American Idol di Indonesia kita juga punya Indonesian Idol, atau acara Take Me Out atau acara Price is Right a la Indonesia. Juga pengaruh gaya opera sabun dari Amerika Latin dan seterusnya.
Bandingkan bagaimana opera di Broadway, New York yang menawarkan ceritera lama maupun baru selalu dipadati penonton yang rela antri dan membayar harga tiket yang aduhai 100 sampai 150 US$dollar per sekali pertunjukkan. Bagaimana industri seni tersebut menghidupi para senimannya bahkan menghasilan efek ganda (multiplier effects) terhadap kegiatan ekonomi di New York atau bahkan di AS. Sementara penonton pertunjukkan wayang orang di Jakarta atau Solo bisa dihitung dengan jari, kosong melompomg bagai tak berjiwa. Untung senimannya tetap bertahan untuk berkesenian karena kecintaannya terhadap seni dan hobi. Tapi bagaimana mutu berkesenian dapat meningkat kalau semua hidup dalam ketidakberkecukupan, baik personilnya maupun organisasinya. Masalahnya adalah bagimana pemerintah harus ikut bertanggung jawab dan bagaimana pula peran swasta dan masyarakat?
Bagaimana mengembalikan gairah budaya tradisonal melalui peningkatan apresiasi bisa kita lakukan? Sebagai teladan, kita gunakan contoh wayang orang Sriwedari Solo. Menurut hemat saya upaya tersebut harus kita tangani dengan memperhatikan kedua sisi, baik supply maupun sisi permintaannya. Dari sisi supply khususnya produk yang diwarkan antara lain kemasan pertunjukkannya, mulai dari ceritera, penari dan segala asesorinya, panggung dengan tatalampu dan tata suara yang handal, gedung pertunjukkan yang memperhatikan masalah akustik, kursi yang nyaman, ruang berpendingin udara serta organisasi yang solid. Pertunjukkan yang lama tentu membosankan apalagi buat generasi muda, oleh karena itu perlu dikemas ceritera ringkas, misalnya 2 jam, tanpa menghilangkan makna dan keindahan budayanya. Peranan pemerintah dapat dilakukan melalui program Tahun Kunjungan Wisata.
Dari sisi permintaan, perlu dikembangkan apresiasi masyarakat terhadap budaya tradisional. Ini harus dilakukan sejak dini, misalnya menghidupkan kembali pelajaran menari dan karawitan untuk murid-murid SD dan SMP. Lokakarya budaya yang dirancang dengan target yang jelas dan berkelanjutan. Mengadakan kegiatan festival budaya seperti festval dan kompetisi dalang cilik yang dimasukkan sebagai event tahunan. Pemerintah perlu memperhatikan dan mendorong pelajaran budaya ini untuk dimasukkan kedalam kurikulum sekolah. Dunia pendidikan, khususnya SMK dan perguruan tinggi yang memfokuskan pada bidang budaya seperti Sekolah Koservatori Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) akan mampu berperan sebagai smber ide dan kreativitas budaya serta tempat menghasilkan SDM berkessenian dan seniman yang berkualitas yang bisa lebih meningkatkan apresiasi mayarakat terhadap budaya tradisonal dan budaya nasional.
Peranan media cetak elektronik sangatlah penting dalam mebangun kedua sisi tersebut. Perlu ada konsern TV Swasta ikut menggalakkan budaya tradisional yang dikemas menarik sehingga bisa bersaing dengan paket tayangan yang kebanyakan mengadopsi dari negara-negara barat atau berupa waralaba seperti Indonesia Idol, AFI, Mamamia, Take Me Out, Family 100, the Price is Right dsn seterusnya. Dalam hal ini, nampaknya perlu lebih banyak filantropis yang mau mendanani upaya-upaya tersebut. Dari uraian diatas jelas upaya ini memerlukan dukungan semua pihak, pemerintah, swasta dan masyarakat, karena kegiatan tersebut merupakan "gawe bareng" bangsa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar