Jumat, 09 Juli 2010

GROSS NATIONAL HAPPINES: BHUTAN

Bulan Juni 2010, tanggal 9-11 saya bersama beberapa rekan berkesempatan mengikuti pertemuan ke 23 Asia Pasific Forestry Commission (APFC) di kota Thimpu yang tak lain adalah ibukota negara Bhutan. Pertemuan ini diselenggarakan oleh Food and Agricultural Organizatuion (FAO) dan pemerintah Bhutan yang bertindak sebagai tuan rumah. Pertemuan ini diselenggarakan secara periodik dengan tujuan untuk membahas perkembangan serta kecenderungan pembangunan kehutanan di wilayah Asia dan Pasifik. sehari sebelumnya yaitu tanggal 8 Juni 2010 atas inisiatif pemerintah Bhutan dan FAO diselenggarakan seminar mengenai Gross National Happines (GNH) atau secara bebas bisa diterjemahkan sebagai Kebahagiaan Nasional Kotor. Sayangnya teman-teman dan saya tidak nisa mengikuti seminar tersebut, karena baru datang di Thimpu dan masih berusaha beraklimatisasi dengan kondisi Thumpu yang tereletak pada ketinggian 2.300 m dpl.

Berikut catatan yang sifatnya sementara karena hanya didasarkan atas obrolan informal dengan pak Chip Barber, dari AS yang mengikuti seminar GHN, pemahaman saya mengenai istilah GHN, pengetahuan dan kesan tentang Thimpu dan sekitarnya, serta obrolan sepanjang dengan pengemudi bus mini yang membawa kami dari Thimpu ke bandara di Paro. Pengemudi yang ternyata adalah manager suatu perusahaan jasa ekowisata cukup memberikan pemahaman awak mengenai Bhutan dan masyarakatnya.

GHN merupakan akternatif dari konsep penghitungan kekayaan negara yang lebih kita kenal yaitu Gross National Products (GNP). Angka GNP merupakan indikator kemajuan suatu negara atau bangsa. Nakin besar GNP yang dihitung dengan ukuran uang, makin maju negaranya dan makin kaya juga artinya. Kendati demikian, GNP tidak dapat mencerminkan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Bisa saja GNP yang tinggi tersebut dibangun oleh sebagian kecil kelompok masyarakat yang kaya dan super kaya. Artinya sekelompok kecil masyarakat menguasai sebagian besar kue GNP, artinya juga walaupun GNP nya tinggi ternyata masih banayak masyarakatnya yang masih miskin. GNP lebih didasarkan pada ukuran-ukuran yang kuantitatif dan menghindarkan ukuran yang kualitatif karena dianggap sulit dan subyektif. GNP bukan ukuran perasaan, seperti rasa bahagia, rasa berkecukupan, rasa mensyukuri dan seterusnya.

Dalam konteks ini ceramah ustadz Yusuf Mansur di salah satu stasiun TV sepertinya bisa menjelaskan apa yang dimaksud kebahagiaan (happiness) dalam terminologi GHN tersebut. Beliau mengatakan saat ini banyak orang kehilangan rasa bangga diri, ketika orang atau kelompok masyarakat atau negara menyatakan diri sebagai miskin. orang miskin, kelompok miskin dan negara miskin. orang tiba-tiba rela disebut mikin karena ada bantuan dari pemerintah untuk orang miskin misalnya bantuan langsung tunai (BLT) dan beras miskin (raskin) dan seterusnya. Padahal Islam yang mengajarkan kesederhanaan tidak mengajarkan pemeluknya mengeluh, tapi lebih mensyukuri pemberian Tuhan sekecil apapun. Bahkan orang miskin menurut ukuran barat, bukan mustahil dia sangat ringan tangan membantu saudaranya atau tetangganya yang kekurangan dan juga mengeluarkan sedekah sekecil apapun sedekahnya karena keihlasan itu lebih penting. Itu adalah nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ukuran GNP samasekali tidak menyentuh hal tersebut. Itulah kemudian mengapa alternatif ukuran yang disebut GHN dimunculkan.

Nah sekarang bagaimana Bhutan yang sudah menerapkan GHN tersebut. Thimpu sebagai ibukota nampaknya bisa menunjukkan kebahagiaan 'happiness' tersebut. Kota ini tidak besar untuk ukuran suatu ibukota negara, tapi harap dimaklumi bahwa negara Bhutan berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa. Bangunan di kota umumnya bertingkat dua dan tiga dengan arsitektur sederhana dan unik. Kusen jendelanya berukiran khas. Kotanya bersih dan tenang, jalan-jalan cukup rapih dan tidak ada kemacetan seperti di kota-kota besar di negara lain. Karena itu juga, menurut temen Bhutan, jalan-jalan di Thimpu tidak memerlukan "traffic light". Tingkat kriminalitas nihil, itulah juga mengapa berjalan malam di Thimpu terasa sangat nyaman dan aman. Tidak ada kekawatiran sama sekali akan didatangi oleh orang usil. Tidak dijunpai peminta-minta dijalanan di Thimpu, berbeda dengan kota-kota di Indonesia.

Lingkungan yang beriklim moonson nampaknya cukup terjaga. Sebagai contoh, masyarakat dilarang mengambil ikan di sungai yang membelah kota Thimpu yang berair jernih, padahal banyak ikannya seperti bass dan trout. Kebutuhan ikan didatangkan dari India. Daerahnya bergunung-gunung dengan solum tanah yang tipis, praktis berbatu, pepohonan yang umumnya jenis konifer tumbuh menyebar dalam kelompok. Disekitar Thimpu hutannya nampak lebih tebal, dalam hamparan yang lebih luas dan nampak subur.

Penduduknya ramah dan senantia memakai pakaian tradisional Bhutan yang mirip jubah dengan kaos kaki tinggi untuk kaum prianya. Anak sekolah mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi memakai pakaian tradisonal sebagai seragamnya. Menurut keterangan memang ada kewajiban bagi siapapun untuk menggunakan pakaian tradisonal manakala keluar rumah, terlebih lagi kalau pergi ke kantor atau ke tempat-tempat resmi. Semua orang sepertinya "happy" melakukan itu semua. Ketika dalam perjalanan balik ke bandara Paro, 2.5 jam dari Thimpu, ada hal yang menarik yaitu anak-anak SD dan SMP yang berelompok dipinggir jalan menunggu Bus Sekolah artinya pepemerintah menyediaan kebutuhan transport buat anak-anak sekolah. Selain itu juga di kanan jalan nampaknya pemrintah sedang membangun banyak apartemen untuk rakyatnya.

Ada ceritera menarik dari pengemudi yang mengantar kita, bahwa raja dan putera mahkota sangat rajin turun ke desa. seringkali mereka tidur di rumah penduduk, memasak dam mekan bersama sambil mencari masukan dan keluhan masayarakat. Konon kabarnya respek yang tinggi terhadap rajanya juga dikarenakan sikap raja yang sangat merakyat, bahkan raja Bhutan adalah inisiator demokratisasi Bhutan. Negara ini walaupun tidak kaya menurut ukuran GNP, tapi pancaran kebahagiaan dari wajah-wajah masyarakat yang berpapasan cukup menunjukkan inilah ukuran kesejahteraan yang lebih tepat di Bhutan, yaitu GHN.

(Boen)

1 komentar:

  1. kalo mau kesana kira2 habis biaya brapa yaa???tiketnya brapa???

    BalasHapus