Semua orang tahu bahwa Indonesia dikaruniai bermacam kekayaan sumber alam yang luar biasa, beraneka tambang, hutan dengan keragaman hayatinya, lautan luas dengan kekayaan laut dan marinanya. Tapi orangpun tahu pengelolaan sumberdaya alamnya, sampai saat ini, belum mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konsitusi kita.Potensi untuk menjadi negara besar dan kaya belum termanfaatkan secara optimal, bahkan saat ini kita masih banyak tergantung pada utang untuk menggerakkan roda pembangunan ekonominya.
Pendapatan kotor nasional kita (GNP) pada tahun 2010 masih sekitar 3.000 US$ per kepala per tahun sementara tetangga kita Malaysia sudah mencapai 10.000 US$ dan bahkan Singapura mencapai 23.000 US$. Kalau kita lihat, ternyata Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumberdaya alam justru menjadi salah satu negara kaya. Singapura berkembang melalui bisnis jasa, jasa perdagangan sebagai pelabuhan transit, hub udara, jasa keuangan dan produk jasa lainnya. Dan bisnis jasa ini jelas memerlukan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang handal. Dan disinilah sesungguhnya kekuatan Singapura. Bisa kita bayangkan andaikan kita bisa memadukan dua faktor yaitu kekayaan sumberdaya alam dengan kemampuan SDM, carut marut yang kita hadapi akan dapat kita atasi dan cita-cita untuk menjadi negara yang sejahtera bukan merupakan suatu ilusi.
PROSES KONTINYU VS POTONG GENERASI
Kita mengalami berbagai periode mulai jaman yang kita sebut orde lama, kemudian menjadi orde baru yang dimulai tahun 1967an, lalu muncul orde reformasi ditahun 1990an sampai saat ini. Harus kita akui banyak perbaikan dan capaian positif yang telah dicapai seperti meningkatnya GNP, stabilitas ekonomi, iklim politik yang lebih demokratis, fasilitas umum, kesehatan dan pendidikan yang berkembang. Namun demikian kitapun masih menengarai besarnya disparitas antar kelompok dan wilayah, tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, akses terhadapat fasilitas kesehatan dan pendidikan yang belum merata, kepemerintahan yang belum baik sebagaimana ditunjukkan oleh masih tingginya penyelewengan keuangan negara, kinerja yag belum optimal, disiplin dan etos kerja yang masih perlu ditingkatkan dan masalah--masalah lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah kita.
Banyak yang berpikir untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan mengganti secara total pengelola negara atau pemerintah dengan memilih generasi baru yang lebih fresh dan belum terkontaminasi. Generasi tua sebaiknya secara legowo menyerahkan pada generasi yng lebih muda, idelaisme dan pandai. Ide ini yang sering disebut ide potong generasi, sehingga kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan dan atau dimiliki oleh generasi sebelumnya tidak perlu diulang dan kita bisa memulai dengan susuatu yang baru.
Pertanyaannya adalah mungkinkah itu dilakukan? dan Bagaimana melakukannya? Ide tersebut nampaknya bagus,tapi mari kita lebih realistis melihatnya dengan berguru pada pengalaman yang telah kita lewati. Hidup ini bukanlah sesuatu yang diskrit, tapi ia adalah sesuatu yang kontinyu, alih pengetahuan ketrampilan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berjalan melalui proses ajar dalam lingkungan atau milliu dimana kita hidup dan berinteraksi secara sosial. Ada dua aspek yang minimal harus kita lihat manakala kita bicara SDM. Pertama adalah karakter, kedua adalah ketrampilan atau kompetensi. Karakter pada dasarnya diturunkan secara genetik walaupun pada perjalannya akan pula dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Sementara itu ketrampilan dan kompetensi pada dasarnya dapat dipelajari.
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak tokoh pergerakan dan tokoh mahasiswa yang sangat ideal pada masanya, ternyata kemudian kehilangan orientasi dan terjebak mengikuti sistem yang sudah ada. Mereka tidak berhasil merubah sistem, bahkan larut dalam sistem yang pada awalnya mereka kritisi. Proses ini terjadi pada semua lapisan kekuasaan, eksekutif, legislatif dan judikatif. Bagaimana susahnya melakukan reformasi birokrasi sudah sama-sama kita ketahui. Remunerasi yang dicobakan pada beberapa kementerian nampaknya belum berhasil secara optimal, pelanggaranan aturan dan penyelewengan anggaran masih terjadi. Tentu bukan karena remunerasinya, tetapi lebih karena indikator keberhasilan lembaga dan individu yang tidak jelas beserta mekanisme pengawasan yang tidak berjalan dengan baik merupakan penyebab belum berjalannya reformasi tersebut sebagaimana kita inginkan. Berita di media masa media elektronika memberi gambaran mengenai kualitas governance yang belum baik.
Ketika parlemen diisi oleh generasi yang lebih muda dan lebih berkualitas dari segi latar belakang pendidikan di tahun 2009, ekspektasi bahwa lembaga ini bisa melakukan politik anggaranyang baik sangat tinggi. Bagaimanapun ketika hak anggaran tidak lagi ada pada tangan Bappenas, tapi ada di DPR melalui Hak Budgetnya. Maka harapan bahwa alokasi sumberdaya akan berjalan secara efisien ditumpahkan pada pundak lembaga ini. Kualitas Pemilu 2009 yang lebih baik daripada 2004 antara lain dicirikan dengan semakin matangnya partai mempersiapkan kader berkualitas untuk menjadi wakil rakyat pada lembaga ini. Faktanya, ternyata alokasi sumberdaya secara efisien tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak lebih baik dari pada periode sebelumnya. Kepentingan partai dan kelompok lebih kuat dari pada kepentingan rakyat yang notabene diwakilinya dan ini mempengaruhi efsiensi dan efektivitas alokasi anggaran pembangunan.
Dalam bidang judikatif fenomena yang sama juga ditemui.Kita bisa melihat sebagaimana banyak disampaikan melalui media betapa mafia peradilan, mafia kasus masih merajalela dan ini membuat penagakan hukum menjadi bias,belum berkeadilan dan belum optimal. Tanpa dukungan tim penegak hukum dengan kualitas yang baik dan bersih serta jumlah yang memadai, penegakan hukum sulit dilakukan secara benar dan berkeadilan dan tidak memihak. Kondisi ini, tanpa ketegasan pimpinan, akan menular dari generasi ke generasi tanpa bisa dicegah. Dari uraian ringkas ini dapat disimpulkan bahwa ada kontinuitas dalam proses transfer karakter dan ketrampilan dari satu ke lain generasi. Dengan demikian ide memotong generasi yang dilakukan dengan memangkas generasi yang lebih tua yang tidak bersih dan tidak baik melalui pemilihan atau penetapan generasi pimpinan baru, yangdiharapkan akan lebih baik dam lebih bersih, nampaknya sulit diterapkan ketika transfer perilaku juga terus terjadi secara kontinyu.
Kualitas SDM dan Critical Mass
Jelas bahwa perlu ada alternatif lain selain potong generasi yang nampaknya mustahil. Alternatifnya adalah membangun massa kritikal berkualitas dalam jumlah cukup untuk mempengaruhi warna pembangunan bangsa ke depan. Jumlah yang cukup ini akan menguntungkan karena antara lain: (1). Memudahkan proses implementasi pembangunan yang ideal, karena semua individu relatif memiliki visi, pengalaman dan budaya kerja yang sama; (2). Mampu mengurangi biaya transaksi karena komunikasi diantara mereka menjadi mudah;(3). Terjadi saling memperkuat (self empowering) dan saling mengawasi(self controlling) diantara mereka.
Pendekatan dalam membangun massa kritis perlu dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Pertama, mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswa ke luar negeri untuk program master dan doktor adalah melalui program. Kelompok ini diharapkan kelak akan menjadi pemimpin pada semua kelompok masyarakat baik pada sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat. Lulusan baru perguruan tinggi (fresh graduates) yang diprioritaskan untuk diberangkatkan karena alasan masih panjang usia produktifnya, masih segar dan masih relatif lebih mampu bersaing. Andaikan kita bisa mengirim setiap tahunnya minimal 10 ribu siswa ke luar negeri, dan bila program ini dijalankan selama 10 tahun berturut-turut, maka dalam 5 tahun pertama kita akan memiliki 10 ribu orang dengan sekurang-kurangnya bergelar master dan pada akhir program, yaitu pada tahun ke 15 kita memiliki 100 ribu master dan doktor. Jumlah ini dirasakan cukup memadai untuk kemudian menempati tempat-tempat yang strategis yaitu tempat atau posisi-posisi yang daya pengungkitnya cukup tinggi baik di pemerintahan maupun di swasta.
Pengiriman mahasiswa keluarga negeri sangat perlu untuk membangun nilai dan memperluas cakrawala pandang yang akan mampu melihat persoalan negeri secara lebih jernih dan obyektif. Dengan demikian diharapkan terobosan-terobosan untuk mengatasi kemacetan dan kemandegan pembangunan dapat dilakukan. Sebagaimana seseorang yang selalu di dalam hutan ia hanya akan mengenal pohon dan mungkin tidak pernah mengenal hutan. Tetapi kalau di keluar dari lingkungannya dan naik ke atas semisal naik helikopter ia akan mampu melihat hutan dan kondisi hutan nya dengan lebih baik. Studi banding yang sering dilakukan, mungkin hanya memperoleh pengalaman fisik tetapi belum tentu mengalami pencerahan nilai dan rasa. Dan inilah penting bahwa untuk pendidikan sampai tingkat doktoral, perlu minimal dalam salah satu tahapan nya apakah itu master atau doktor untuk keluar dari negaranya atau kampusnya.
Pengiriman mahasiswa keluar negeri, terutama pada umur-umur muda juga memiliki resiko yang besar, karena lebih memberi peluang bagi timbulnya masalah tidak ingin pulang pada sebagian mahasiswa, karena berbagai alasan. Mendapat pekerjaan yang lebih baik, kawin dengan penduduk setempat, tidak selesai sekolahnya dan memilih bekerja dan seterusnya. Taruhlah 50% persen tak ingin kembali artinya ada 50 ribu yang menetap di luar negeri, hal ini pun tidak sepenuhnya merugikan. Dalam jangka panjang, hal itu bisa menguntungkan, karena mereka akan menjadi pasar produk-produk Indonesia dan sekaligus sebagai agen promosi produk-produknya. Makanan, buah-buahan, tekstil, garmen, film, furniture, barang kerajinan serta produk-produk lain dari Indonesia. Lihatlah film-film bolywood bisa masuk pasaran di London, karena warga negara Inggris keturunan India jumlahnya cukup untuk membangun pasar dan menjadi pemicu permintaan film India di kalangan penduduk asli Inggris.
Walaupun mereka yang enggan pulang karena lebih memilih untuk beralih warga negara karena berbagai alasan, jiwa indonesia nya akan tetap ada dan terpelihara. Lihat lah masyarakat Jawa di Suriname kecintaan nya terhadap tanah jawa masih tetap tinggi sekali. Lihat juga keturunan India yang menduduki posisi tinggi di negara-negara maju baik di pemerintahan, perguruan tinggi, swasta dsb bersepakat untuk membangun fasilitas kesehatan di India dan dokter2 terkenal turunan India sepakat untuk bekerja di RS itu secara bergantian. Lihat berapa jumlah kiriman warga negara Filipina, India dst ke negara nya. Lihat juga remittance TKW ke Indonesia. Jumlahnya cukup besar dan bisa ikut menggerakkan ekonomi di negaranya masing-masing.
Nampaknya kita harus mulai mendefinisikan kembali arti nasionalisme. Lihatlah tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri bisa menjadi duta bangsa memperkenalkan Indonesia ke seluruh dunia. Apalagi bila mereka adalah tenaga kerja terlatih berkeahlian. (masih akan disambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar