Sebagai birokrat kita sering harus membuat kebijakan (policy) dan karena bekerja di bidang kehutanan, ya tentunya kebijakan tentang kehutanan yang dibuat. Misalnya kebijakan tentang industri kehutanan atau kebijakan tentang perbenihan atau kebijakan tentang pemanfaatan hutan dan seterusnya. Kebijakan tersebut ada yang betul-betul mengatur kegiatan kehutanan yang cakupan pengaruhnya secara langsung hanya di bidang kehutanan. Namun demikian banyak juga kebijakan kehutanan yang berdampak pada bidang lain, misalnya kebijakan penggunaan kawasan hutan tentu akan mempengaruhi bidang atau sektor lain yang menggunakan kawasan atau lahan. Misal kegiatan pertambangan atau kegiatan perkebunan.
Seringkali kebijakan satu sektor dianggap merugikan sektor lain, atau merugikan karena tidak berdampak positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kita sering mendengar banyaknya peraturan yang bertentangan, tidak konsisten dan atau tumpang tindih. Akibatnya seringkali bukan saja menyebabkan laju kegiatan pembangunan terhambat, akan tetapi sering berkonsekuensi hukum pula. Nah dalam hal ini kebijakan yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan ternyata tidak mendatangkan kebajikan. Padahal kebijakan yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi bijak atau wise tentunya diharapkan akan menghasilkan kebajikan-kebajikan bagi seluruh manusia dan alam lingkungan.
Lalu mengapa sering terjadi ketidakbijakan yang berakibat tidak memberikan kebajikan? Ada beberapa kemungkinan faktor penyebabnya, yaitu pertama, keterbatasan informasi (limited information dan seringkali juga karena information asymetri). Informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan juga informasi yang ada bisa juga tidak akurat, akibatnya tentu dapat diduga. Informasi juga seringkali hanya dikuasai oleh satu pihak dan sulit diakses oleh yang lain, selain masalah transparansi informasi yang asimetri bisa juga disebabkan karena calon pengguna tidak tahu cara mengakses data dan informasi yang diperlukan.
Kedua, penyusunannya yang terfragmentasi dan sektoral. Ego sektoral sering kali dianggap sebagai penyebab keruwetan ini, betapa tidak? Satu sektor menyusun kebijakan yang akan mempengaruhi sektor lain, tetapi sektor yang akan terpengaruh tidak diajak berembug. Padahal sektor lain tersebut justru telah memiliki kebijakan. Jadilah kebijakan-kebijakan tersebut sering berbenturan. Yang lebih repot lagi bila di dalam sektor pun terjadi fragmentasi pengambilan kebijakan dan keputusan. Kejadian tersebut seringkali pula terjadi karena kita sendiri yang menyusun struktur seperti itu. Penyusunan kebiajakan dalam bentuk Undang Undang (UU) dibuat di parlemen tapi masing-masing sektor memiliki mitra komisi di DPR. Kehutanan dengan Komisi IV bersama Kementrian Pertanian, Kementrian DKP dan Kementrian BUMN. UU Kehutanan disusun oleh Komisi IV, padahal undang-undang tersebut akan berdampak terhadap masalah lingkungan hidup, misalnya Kementrian LH dan juga dengan Kementrian ESDM (keduanya pada Komisi VII), demikian pula sebaliknya. Tapi hal seperti ini tidak merupakan hak eksklusif Indonesia. Di lembaga seperti Bank Dunia pun terjadi hal ketidaksinkronan. Misalnya divisi yang menangani kehutanan dan lingkungan berupaya untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, sementara Divisi yang menangani ekonomi justru mendorong dibukanya kawasan hutan untuk perkebunan, energi dan pemukiman dan seterusnya.
Ketiga, seringkali bersifat ad-Hoc dan perlu segera, sehingga terlupa hal-hal yang penting. Dalam kondisi perubahan yang sangat dinamis dan serba cepat sering kebijakan berubah pula dengan cepat. Nah, perubahan yang serba cepat itu seringkali mengabaikan hal-hal seharusnya dipertimbangkan. Kita acapkali mendengar adagium "yang penting ada dulu, nanti perbaikannya dilakukan sambil jalan". Yang menjadi konsern adalah ketika akan diluruskan, ternyata kebijakan yang dibuat secara tergesa-gesa tersebut telah menimbulkan dampak berganda, akibatnya upaya revisinyapun menjadi tidak sederhana lagi. Apalagi ketika ada unsur legalitas yang terlanggar.
Ramadhan adalah bulan melatih orang untuk lebih bijak. Mudah-mudahan dengan sering mengasah rasa bijak ini akan dapat dihasilkan kebijakan yang mendatangkan kebajikan-kebajikan. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar